Beberapa waktu lalu polisi menemukan vaksin palsu dari sindikat yang sudah beroperasi sejak tahun 2003. Pelaksana tugas Kepala BPOM, Tengku Bahdar Johan Hamid, mengatakan lima vaksin palsu yang ditemukan antara lain: Tubercullin untuk vaksin penyakit TBC, Pediacel dan Triacel untuk vaksin penyakit tetanus, Bioset untuk penyakit yang disebabkan alergi, dan Hafren untuk hepatitis A.  BPOM mengetahui vaksin palsu sudah diedarkan di pusat pelayanan kesehatan seperti puskemas, rumah sakit dan klinik. Harga vaksin palsu dibanderol 10 -15 persen lebih murah dari yang asli.

Penemuan polisi ini mempelihakan bagaimana canggihnya cara kerja  para pelaku pemalsu vaksin dengan memanfaatkan kelemahan regulasi pemerintah. Terbongkarnya vaksin palsu ini, mestinya tidak hanya dipahami sebagai upaya menghukum para pelaku, lebih dari itu, bagaimana menghentikan dan memotong mata rantai beredarnya vaksin palsu yang sudah digunakan khalayak ramai. Lebih jauh, penanganan vaksin palsu mesti menjadi titik tolak pemberantasan obat palsu. Sebab vaksin palsu dan obat palsu memiliki motif dan sistem operasi yang sama.

Tulisan ini akan membahas bagaimana akar masalah dan cara memberantas vaksin dan obat palsu.

Mata Rantai Vaksin dan Obat Palsu

Vaksin asli sebelum distrubusikan ke pengguna, wajib memperoleh lisensi  dari pemerintah. BPOM akan melakukan uji laboratorium terhadap komposisi bahan yang diajukan pemohon (produsen) dan mengevaluasi semua persyaratan yang diajukan. Selanjutnya, jika memenuhi syarat, produser akan memperoleh lisensi layak edar. Setelah itu produser baru diperbolehkan mendistubusikan produk mereka ke pusat layanan kesehatan, seperti rumah sakit pemerintah dan swasta. Dari rumah sakit swasta atau pemerintah, vaksin didistribusikan ke puskemas, klinik, yang akhirnya sampai ke pasien.

Di kasus vaksin palsu, para produser vaksin ini mendistrubusikan vaksin melalui sales, atau membuat sales mereka sendiri yang mendatangi rumah sakit. Kemudian dari rumah sakit ini sampai ke pasien, tanpa melalui puskemas atau klinik. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam diagram 1, sebagai berikut:

Distubusi Vaksin Palsu Temuan Menkes dan BPOM
Distubusi Vaksin Palsu Temuan Menkes dan BPOM

Namun demikian, distrubusi mata rantai peredaran vaksin dan obat palsu jauh lebih rumit.  Hal ini karena secara geografi peredaran obat dan vaksin palsu tidak terfokus pada satu wilayah tertentu, melainkan meluas ke seluruh dunia karena koneksi internet.

Laporan World Heath Organization (WHO) 2008 seperti dikutif dari Fenoff, R., S., Wilson, J.,M, 2009 menyebutkan, obat palsu dan vaksin palsu menyuplai sekitar 10 sampai dengan 15 persen obat dunia. Pada tahun 2005, perdagangan obat dan vaksin palsu memperoleh keuntungan sekitar 39 milyar dollar.

Cara kerja pemalsuan obat dan vaksi sama dengan pemalsuan produk lain dan memiliki motivasi dan tujuang yang sama: diproduksi dengan bahan palsu, dan lebel palsu. Beberapa produk diproduksi dengan bahan aktif sementara yang lain mungkin saja mengadung bahan beracun. Cara lain adalah dengan mengubah lebel dan tanggal daluwarsa, cara kemasan, dan merek dagang.

Penyebaran obat dan vaksin palsu selalu menggunakan mata rantai jaringan distrubusi yang kompleks. Untuk memberatas kejahatan pemalsuan obat dan vaksin, kita wajib memahami bagaimana produk palsu ini masuk ke sistem jaringan distrubusi, yakni: suplai, proses, dan permintaan. Menurut Sklaberg (2014) beberapa fase di mana industri  pembuatan vaksin bisa dimasuki bahan palsu. Fase produksi dan suplai, mulai dari tahap penyediaan bahan untuk pembuatan racikan vaksin dan obat yang diperoleh dari pasar, lalu racikan.

Selanjutnya, fase proses, tahap infiltrasi termasuk dari gudang, diangkut dan akhirnya didistrubusikan oleh distributor ke pasar lokal, nasional, dan internasional.

Vaksin dan obat  palsu pada umunya dijual langsung kepada suplaiyer, termasuk apotek, dokter praktek, rumah sakit, dan klinik. Hanya sebagian kecil mencipatkan rute distrubusi sendiri. Untuk memasarkan produk, sebagian, vaksin palsu menggunakan atau memanfaatkan distributor yang memiliki reputasi yang baik, sehingga sulit terdeteksi. Produsen vaksi palsu menawarkan produk mereka ke distributor terkenal yang komposisi vaksi  disamarkan dengan komposisi vaksin asli.

Ilustrasi berikut ini mempelihatkan hubungan suplai, proses dan permintaan. Mata Rantai Vaksin dan Obat Palsu:

Mata Rantai Vaksin dan Obat Palsu
Mata Rantai Vaksin dan Obat Palsu

Efek Vaksin Palsu

Mengapa peredaran vaksin dan obat palsu penting? Karena memiliki efek yang meluas, tidak saja terhadap kesehatan publik,  tetapi mengurangi pendapatan negara, menghambat inovasi, menyebabkan hilangan panjak, dan mengurangi insentif investasi. Efek negatif terbesar dari obat dan vaksin palsu adalah kesehatan masyarakat dengan efek akumulatif bagi para konsumen. Dengan kata lain, semakin banyak konsumsi vaksin dan obat palsu, semakin besar potensi merusaknya.

Menurut Blackstone, E., A.,  Fuhr, J.,P., dan Pociask, S (2014), obat palsu membahayakan kesehatan masyarakat, merugikan pendapatan konsumen, mengurangi isentif untuk para peneliti dan pengembang, serta mengurangi minat pada inventor dan innovator. Karena pemalsuan obat tak hanya terbatas pada product tertentu, tetapi juga termasuk pada produk untuk mengobati  dan untuk mencegah (vaksin) seperti kronik, kanker, penyakit jantung  sekarang semua bisa dipalsukan.

Implikasinya, obat dan vaksin palsu tidak hanya memberikan dampak negatif secara individu, tetapi juga berdampak secara kolektif pada suatu komunitas. Saat ini, seperti dilaporkan Bersatoe.com, vaksin palsu ada di tanah air sejak muculnya wabah penyakit polio pada 2005-2006 yang menyebabkan 385 anak lumpuh permanen. Lalu, wabah campak tahun 2009-2010,  5.818 anak dirawat di rumah sakit. Dari jumlah itu, 16 anak meninggal dunia, sedangkan wabah difteri tahun 2010-2011 menyebabkan 816 anak di rawat di rumah sakit dan 56 anak kehilangan nyawa.

 Efek tsersebut kemungkinan disebabkan dua faktor. Pertama, dari segi bahan, menurut FDA, dua kemungkinan, materi dari bahan vaksin palsu, yakni: tak aktif dan tak membahayakan namun gagal mengobati pasien. Kedua, konsekwensi peredaran vaksin palsu merupakan ancaman serius terhadap kesehatan pasien di seluruh Indonesia dalam jangka panjang. Vaksin palsu dibuat dari bahan yang mungkin beracun dan diproses secara serampangan sehingga membahayakan.

Di luar itu, beban pengeluaran negara terhadap kesehatan masyarakat menjadi makin tinggi. Di negara-negara Afrika misalnya, biaya pengobatan malaria paling kurang mencapi 12 milyar dollar pertahunnya. Selain itu, tuberculosis, HIV membebani anggaran negara sekitar 50 milyar dollar pertahunnya.

Dampak tidak langsung lain, berpotesi mengurangi pendapatan dari penjualan. Pada 2009 PPB menemukan hasil penjualan obat dan vaksin palsu anti malaria mencapai 438 juta Dollar Amerika, melampui Gross National Product dari Guinnea-Bissau, sebuah negara di Africa Barat. Di Kenya vaksin dan obat palsu memiliki volume 40 persen dari obat resmi atau setara dengan 130 juta Dollar Amerika.

Karena di jual dipasar gelap, negara kehilangan pemasukkan melalui pajak.Di Benua Afrika misalnya, seperti Burundi, Kenya, Rwanda, Uganda, dan Tanzania kehilangan pendapatan pajak sekitar 500 juta dollar pertahun.

Pemalsuan vaksin dan obat merugikan para produsen vaksin yang selama ini memproduksi  secara legal. Para produsen legal ini dibebani stadar produksi yang tinggi untuk memenuhi stadar kelayakan obat serta memenuhi kebutuhan layak lingkungan dan layak tenaga ahli. Sementara produser obat palsu tidak dibebani sama sekali. Akibatnya, produsen akan susah memproduksi obat yang memiliki legitimasi, karena rugi. Selanjutnya, penemu dan innovator juga menjadi malas mencari penemuan baru karena tidak memperoleh nilai lebih dari penemuannya. Dengan demikian vaksi palsu dapat mematikan penemuan dan inovasi baru, karena para inventor dan innovator enggan mengembangkan kealiannya.

 

Forum Stakeholder Melawan Vaksin dan Obat Palsu

Vaksin dan obat palsu memiliki efek yang membahayakan kesehatan publik dan mungkin juga bertanggung jawab atas kematian dalam jumlah yang besar, merugikan ekonomi negara, dan pendapatan publik. Karena itu, melawan vaksin dan obat palsu tidak cukup  jika hanya dilakukan terhadap dampak dari peredarannya semata, tetapi juga penting pada penyebab obat dan vaksin palsu seperti penegakan hokum dan regulasi.

Selain regulasi, aksi melawan pemalsuan mesti dengan laborarium khusus, teknologi traking product, pelindungan obat dan vaksin secara nasional, dan kerjasama stake holder serta mendidik masyarakat.

Penegakkan Hukum

Muncul penggunaan obat palsu yang sudah beredar lebih dari satu dasawarsa, dan baru diketahui 13 tahun kemudian  di tanah air ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan.  Karena itu pemerintah perlu melakukan penegakan hukum yang kuat dan menyediakan dana menghadapi peredaran obat dan vaksin palsu.

Hukum yang mengatur tentang obat palsu dan dampaknya sudah ditetapkan melalui UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen  dan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana. Namun, ketiga hukum tersebut masih dianggap kurang untuk menangkal pemalsuan obat dan vaksi palsu serta  peredarannya

Di dalam pasal 106 ayat 1 jo pasal 1 ayat 4  UU Nomor 36 tentang Kesehatan  tahun 2009 disebutkan bahwa obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Kelihatanya pasal ini lebih melindungi para pembuat obat dari pada kesehatan publik. Alasannya, produser diminta aktif mendaftarkan obat secara sukarela, sementara pemerintah, dalam hal ini BPOM bersifat pasif, atau menerima informasi dan mengkarifikasi informasi yang disediakan produser.

Di sisi lain,  Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyediakan penyelesaian sengketa di pengadilan dan di laur pengadilan. Pertama, upaya hukum melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan, musyawarah para pihak dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) seperti konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Kedua upaya hukum melalui penyelesaian sengketa di pengadilan. Pengajuan gugatan didasarkan pada pembuatan melawan hukum atas kerugian kepentingan individu para pihak. Penyelesaian pengadilan juga didasarkan pada  kualifikasi ingkar janji/wanprestasi atau kelalaian dari pelaku usaha/produsen yang menimbulkan cacat janji, kematian atau kerugian bagi konsumen.

Pasal 45 UU Konsumen 1999 tidak menyediakan hukuman di luar nilai uang. Padahal dampak dari menderita kerugian akibat pemalsuan obat berlangsung seumur hidup dan berujung pada kematian.

Penegakan hukum sangat penting untuk membuat efek jera. Namun demikian, menggunakan pendekatan hukum semata berisko, karena penegakkan hukum sendiri bersifat pasif. Sementara, dampak korban  peredaran vaksin dan obat palsu sudah meluas, bahkan memakan korban dan membahayakan nyawa dan cenderung bertambah.

Forum Stakeholder Melawan Obat dan Vaksin Palsu

Menghapus peredaran obat palsu dan vaksin sama juga dengan melindungi para innovator, penemu, konsumen dan produsen obat resmi. Kerjasama dengan stakeholder, seperti konsumen, produsen, dan para penemu penting untuk mencegah obat palsu beredar. Di luar itu, supplier utama pedagang obat perlu juga diajak untuk meningkatkan pencegahan, melakukan pangwasan terhadap secodary pharmachy dan penjualan obat lokal dan obat tradisional.

Pemerintah di tanah air perlu membangun kerjasama dengan berbagai stakeholder, penyedian jasa dan produsen obat dan vaksin untuk kesehatan, mempekuat stakeholder yang diberi otoritas untuk mengawasi dan memberatas, serta mempromosikan akses obat dan vaksin yang aman digunakan,

Penyedian stadar obat yang aman dan layak  secara kwalitas dan kuantitas perlu dilakukan dalam beberapa hal: Pertama, bekerjasama dengan organisasi pemerintah yang memiliki kewenanga, organisasi profesi, LSM, masyarakat sipil. Kedua, memperkuat kerjasama antara institusi dan saling mendukung. Ketiga, menyediakan laboratorium pusat untuk penyelidikan dengan spesialisasi yang terpusat. Keempat, memastikan keamanan mata rantai obat dan vaksin dan proaktif menyediakan solusi innovative melindungi produser dan ditrubutor. Lima, menyediakan forum stakeholder yang melibatkan para ahli keamanan, hukum, hubungan industri, kwalitas, cybercrime, komunikasi, medis dan Depkes.

Di luar itu, kerjasama di tingkat internasional perlu dilakukan. Misalnya dengan World Customs Organization (WCO), the International Criminal Police Organization (Interpol), agency internasional mengenai kesehatan, professional. Juga dengan organisasi professional antara lain: International Federation of Pharmaceutical Manufacturers & Associations (IFPMA), the European Federation Pharmaceutical Industries and Associations (EFPIA) and the Pharmaceutical Security Institute (PSI).

Regulasi terhadap Perdagangan obat  dan vaksin di internet.

Perdagangan obat di internet juga menjadi penyebab beredarnya vaksin palsu dan obat palsu. Orang membeli vaksi dan obat di internet tidak menggunakan resep dokter. Internet merupakan salah satu favorit tempat berdagang saat ini, dan pelaku penjualan di internet susah di jangkau oleh hukum.

Menurut Blackstone, E., A.,  Fuhr, J.,P. , and Pociask, S (2014), supervisi terhadap lisensi dari suplayer obat secara berkala mungkin membantu. Pendekatan teknologi seperti alat identfikasi frekwansi radio juga harus dimasukkan.

Oleh karena itu, mencegah terjadinya peredaran vaksin palsu dan obat palsu mesti dimulai dari pengawasan mata rantai produksi obat, hingga distributor. Sembari membuat regulasi mengenai rambu-rambu perdagangan obat di internet.

Kesimpulan

Pada akhirnya, tulisan ini menyimpukan beberapa hal sebagai berikut:

  1. peredaran vaksi dan obat palsu dalam skala umum, jauh lebih rumit ketimbang penemuan vaksin palsu yang ditemukan di tanah air.
  2. Obat dan vaksi palsu beredar di public, tidak hanya merugikan kesehatan individu, masyarakat umum, tetapi juga merugikan ekonomi negara seperti pemasukkan pajak, investasi, lapangan kerja, hak cipta penemu dan innovator. Lebih dari itu, biaya penanggulangan dampak obat dan vaksin palsu juga jauh lebih mahal.
  3. Peredaran obat palsu tidak hanya bekerja secara mandiri, tetapi terhubung dalam mata rantai produksi, proses dan permintaan pasar. Jangkauan distrubusi obat dan vaksin palsu berskala local hingga Karena itu, perlu bekerjasama semua elemen stakeholder mulai dari peneliti, agency distributor, aparat penegak hukum dan pengguna.
  4. Indonesia sudah memiliki hukum untuk menangani peredaran obat palsu. Namun demikian, hukuman yang ada baru hanya bersifat denda dan pidana dan melindungi hak cipta. Karena itu, perlu ditingkatkan hingga pemberantasan obat palsu dan sindikatnya.

Rekomendasi

  1. Kerjasama stakeholder antar pemerintah yang diberi otoritas, professi, agency, produser dan consumen dalam sebuah forum yang menyediakan sarana saling tukar inofmasi, menyediakan sarana dan standar akses obat dan vaksin dengan standar yang tinggi dan aman.
  2. Karena hukum di Indonesia saat ini belum cukup untuk mencegah obat dan vaksin palsu, maka perlu diubah.
  3. Institusi pemerintah yang diberi wewenangan untuk memberatas vaksin dan obat palsu perlu untuk menjalin kerjasama dengan organisasi internasional yang bekerja di bidang keamanan, produser dan organisasi profesi dan peneliti internasional.

 

Tentang penulis.

Harli M
Harli M

Harli Muin

Aktivis FAA PPMI. Development Practitioner for Social Policy Management. Alumni Tabloid Format, Univesitas Tadulako, Palu.

BERIKAN KOMENTAR