Keberatan saya terhadap pembukaan mal bukan karena iri sebab masjid dan pesantren masih dibatasi atau dihentikan. Namun lebih karena mal sebagai simbol dan perwujudan ideologi dan agama konsumerisme.
Saat ini kita telah menemukan momentum bersama saat menghadapi wabah Covid-19, sekaligus ini merupakan kesadaran baru untuk mengoreksi tatanan hidup yang sudah dicengkeram raksasa ketamakan dan keserakahan kapitalisme. Kritik tajam tentang konsumerisme sebagai agama publik yang mengancam masa depan kehidupan manusia terakhir saya ikuti dari ceramah dan tulisan Ajarn Sulak Sivaraksa, agamawan dan tokoh perdamaian dari Thailand, sepuluh tahun lalu.
Sementara selama masa dua bulan kerja dari rumah, di mana musik dan buku menjadi teman pengisi waktu senggang, tetiba saya kangen dengan lagu-lagunya Lily Allen yang bergenre pop dengan unsur campuran ska dan reggae, judulnya The Fear. Saya putar berulang-ulang. Meski single ini dirilis sepuluh tahunan yang lalu, energi kritik sosialnya yang disampaikan dengan sarkasme masing terasa kuat, apalagi saat menyambut kelaziman baru.
Saya bersimpati dengan seleb berdialek medok British ini, bukan dari sisi dia sebagai tokoh penuh kontroversi, bukan karena afiliasinya dengan Labour Party, atau bukan karena trah selebritas dari Keith Allen bapaknya yang aktor gaek itu. Tapi semata kejujurannya dalam menyuarakan fakta jeratan konsumerisme yang dialaminya: “..I’m a weapon of massif consumption, and it’s not my fault, it’s how I’m programmed to function.. I’m on the right track. Yeah, I’m on the winner.”
The Fear, judul lagu itu, menurut saya pas dengan situasi sekarang. Ia mewakili masyarakat yang sedang dilanda takut dan galau. Namun, saya ingin mengajak memandang takut dari sisi anugerah dari Tuhan supaya kita lebih memahami situasi dan bertindak, bukan hanya diam, apalagi mengutuk sana-sini atau menyalahkan orang.
Sejarawan Arnold Toynbee memberikan refleksi dari setiap momentum perjalanan sejarah manusia dari zaman purba hingga abad ke-20, bahwa penemuan teknologi dalam sebuah lokus peradaban manusia yang disebutnya sebagai oukumene, selalu disertai adanya perubahan kesadaran yang menautkan eksistensi dia sebagai makhluk berakal budi dengan dunia di luar dirinya yang tidak bisa dikontrol atau di luar jangkauan nalar serta kekuasaannya, termasuk bumi yang memangkunya.
Manusia adalah warga psikosomatik di biosfer yang melapisi permukaan bumi ini. Dalam hal ini, manusia adalah salah satu spesies makhluk hidup yang merupakan anak-anak dari bumi, sang ibu pertiwi. Namun, manusia juga memiliki jiwa dan berkomunikasi dengan realitas spiritual yang tidak berada di dunia ini. Sebagai jiwa, manusia memiliki kesadaran, dan dapat membedakan antara baik dan buruk. Manusia memiliki kemampuan untuk memilih. Secara etis, pilihan-pilihannya, baik atau buruk, menghasilkan sebuah pembukuan deposit moral yang akan menentukan masa depan kelestariannya di planet ini.
Akankah manusia membunuh bumi, sang ibu pertiwi, atau menyelamatkannya? Dalam catatannya yang melelahkan, Mankind and Mother Earth, A Narrative History of World, akhirnya Toynbee membunyikan alarm. Dalam paragraf terakhir bukunya ia berkata bahwa manusia dapat membunuh bumi dan menyalahgunakan potensi teknologi yang semakin besar. Tapi, manusia juga bisa menyelamatkan sang ibu pertiwi dengan mengendalikan kerakusan dirinya yang suisidal serta mengekang sifat agresif. Inilah persoalan enigmatic atau teka-teki yang sampai kini menghadang kita sebagai manusia.
Akhirnya, silahkan buka mal. Anda boleh berkunjung ke mal. Tapi kita perlu mengoreksi terlebih dahulu, apa motif Anda datang ke sana. Apakah untuk menghidupkan kembali moralitas ketamakan atau memang sedang menumbuhkan moralitas baru kemanusiaan di mal-mal itu? Sebelum berdamai dengan virus Covid-19, berdamailah dengan diri kita sendiri terlebih dulu.