Sebelum menilik dampak negatif vaksin palsu, terlebih dahulu memahami tentang reaksi alergi yang diderita anak pascavaksinasi.
Beredarnya vaksin palsu di Subang, Jakarta, Tangerang Selatan, Bekasi, dan Semarang makin meresahkan orangtua dan masyarakat luas. Meski Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menganggap vaksin yang telanjur disuntikkan ke anak-anak relatif aman, namun belum mampu menentramkan hati para orangtua. Apalagi, hingga kini pemerintah belum memiliki indikator khusus untuk mendeteksi anak yang telah disuntikkan vaksin palsu.
Setiap anak yang baru diberikan vaksin memiliki kemungkinan untuk mengalami alergi. Misalnya, vaksin difteri, tetanus, batuk rejan, polio dan Hib dapat menyebabkan area yang disuntik menjadi merah dan bengkak. Anak-anak bisa juga mengalami demam selama seminggu pascavaksinasi. Hal itu dianggap wajar.
Vaksinolog dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc-VPCD juga menyebut efek dari vaksin palsu salah satunya yakni demam dan bengkak di area sekitar suntikan. Infeksi tersebut muncul diduga karena pembuatan vaksin palsu yang tidak steril dan tidak mengikuti standar operasional prosedur. Pembuatan vaksin yang tidak sesuai standar memungkinkan kuman masuk dan menyebabkan infeksi saat disuntikan pada bayi atau balita.
Masyarakat awam tentu akan bingung, demam pada anak pascavaksinasi yang terjadi selama 13 tahun terakhir itu akibat dari reaksi alergi atau infeksi. Sebab, keduanya bisa terjadi tanpa diketahui pasti penyebab pastinya. Anak yang melalui 1000 hari pertama kelahiran atau periode emas dengan kekebalan tubuh lemah akibat imunisasi yang mubazir, mengakibatkan perkembangan otak dan tumbuh kembang terhambat.
Untuk dapat mendeteksi, apakah seorang anak pernah tersuntik vaksin palsu bisa dengan mengecek kembali rekam medis. Rekam medis dapat dilakukan orangtua melalui Kartu Menuju Sehat (KMS). Dari KMS tersebut, orangtua dapat menelusuri dimana dan siapa yang memberikan vaksin pada putranya kala itu. Sayangnya, cara ini hanya kurang maksimal, sebab tidak semua orang menyimpan KMS hingga anak berusia lebih dari 10 tahun. Mengingat peredaran vaksin palsu telah berlangsung sekitar 13 tahun lalu.
Perlukah Vaksin Ulang?
Solusi lain yang diberikan pemerintah yakni vaksinasi ulang. Cara ini memang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu, namun tidak semua vaksin dapat diulang massa pemberiannya. Dalam situs resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut bahwa badan penelitian di berbagai negara membuktikan, makin banyak bayi dan balita yang tidak diimunisasi akan terjadi wabah, sakit berat, cacat, atau mati.
Di Indonesia terjadi wabah penyakit polio pada 2005-2006 mengakibatkan sebanyak 385 anak lumpuh permanen, wabah campak tahun 2009-2010 mengakibatkan 5.818 anak dirawat di rumah sakit dan 16 anak meninggal dunia, sedangkan wabah difteri tahun 2010-2011 menyebabkan 816 anak di rawat di rumah sakit dan 56 anak meninggal dunia.
Memberikan vaksin tambahan diluar vaksin wajib memang tidak salah, namun pemerintah seharusnya turut mengatur peredarannya. Di Eropa misalnya, setiap jenis vaksin harus memiliki izin terlebih dahulu dari European medicine agency. Lembaga ini juga mengatur keabsahan dari vaksin yang datang dari luar negeri. Hal ini terkait, jenis vaksin palsu yang mayoritas merupakan vaksin import.
Penanganan vaksin palsu perlu ada kerjasama kuat antarlembaga pemerintah. BPOM dan Kemenkes tampaknya harus lebih akur untuk menangani peredaran vaksin palsu di tanah air. Kewenangan yang tumpang tindih terkesan saling menyalahkan tanpa solusi. Bantuan Kepolisian RI dalam kasus ini terbatas pada proses hukum, sementara pencegahan dan pengawasan tetap ada pada kedua instansi pemerintah yang memegang kewenangan penuh atas hal ini.
Sementara itu, para pelaku vaksin palsu sudah membuat berbagai jenis vaksin palsu sejak 2003. Mereka meraciknya dengan bahan cairan infus dicampur vaksin tetanus dengan dosis 0,05 mili dan dijerat Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Saat ini, pihak kepolisian telah menyita barang bukti berupa 195 bungkus vaksin hepatitis B, 221 botol vaksin Pediacel, 364 botol pelarut vaksin campak kering, dan 81 bungkus vaksin. (*)
Penulis adalah Nesa Resta, alumnus LPM Khlorofil, Fakultas Pertanian Universitas Udayana