“Palestine…tomorrow will be free” (Maher Zein)
Belum lama ini Indonesia didaulat menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT LB OKI). Pada perhelatan akbar dengan agendanya yang tidak biasa itu ketangguhan diplomasi Indonesia diuji.
KTT yang dihadiri oleh negara-negara Islam itu menentukan nasib rakyat Palestina meraih kemerdekaannya. Sebagai negara yang diberi kepercayaan, Indonesia tentu berusaha mewujudkan konsistensinya mendukung perjuangan Palestina untuk memperoleh hak yang mereka perjuangkan selama puluhan tahun.
Dalam percaturan diplomasi tingkat tinggi itu seorang perempuan hebat telah berhasil membuat terobosan nyata yang sekaligus menunjukkan prestasi dan wibawa Indonesia di mata dunia. Adalah Retno Lestari Priansari Marsudi, perempuan Indonesia pertama yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (2014-2019).
Retno tidak menafikan bahwa meski saat ini konflik terjadi di mana-mana namun konflik Palestina harus segera diselesaikan. Salah satu solusinya adalah dengan mempersatukan fraksi untuk pembangunan kapasitas bangsa Palestina baik dalam bidang ekonomi, perdagangan maupun tata pemerintahan yang baik. Kurang lebih begitulah harapannya saat menghadiri KTT LB OKI di Jakarta beberapa waktu lalu.
Selang beberapa hari setelah KTT LB OKI selesai, Retno langsung bergerak cepat. Ia terbang ke Palestina untuk melantik Konsul Kehormatan pertama Indonesia untuk Palestina, Maha Abu-Shusheh. Namun sayang, dalam perjalanan tersebut ia dicegah oleh Israel. Israel menolak izin over flight bagi helikopter Angkatan Udara Yordania yang ditumpangi oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia. Rombongan.Retno enggan menuruti perintah Israel untuk bertemu petingginya jika ingin melintasi Ramallah. Justru hal yang tak diduga terjadi, meski dihalangi, Retno tetap melaksanakan pelantikan. Upacara pelantikan ia lakukan di KBRI Amman dihadiri oleh Menlu Palestina Riyad al-Maliki, serta para duta besar negara-negara ASEAN dan OKI. Itulah hebatnya Retno, pantang pulang ke Indonesia sebelum urusan selesai.
Hadirnya para duta besar negara-negara ASEAN ketika pelantikan, merupakan upaya strategis diplomasi menciptakan atmosfir kepedulian bersama di negara-negara ASEAN terhadap Palestina. Langkah Retno itu mendapat banyak direspon positif dari negara-negara di dunia.
Sebenarnya penolakan Israel terhadap Menteri Luar Negeri Indonesia bukan yang pertama. Hal yang sama juga terjadi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kala itu Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa ditolak Israel ketika hendak menghadiri Konferensi Tingkat Menteri khusus Komite Palestina Gerakan Non-Blok (GNB) di Ramallah, Palestina pada 5 Agustus 2012. Bedanya, ketika itu hampir tidak ada perlawanan, Marty hanya pasrah dan kembali ke Jakarta sambil kecaman tindakan Israel.
Kegigihan Retno ini telah berhasil memberi nuansa baru dalam diplomasi Indonesia. Politik luar negeri Indonesia mampu menunjukkan taring dan wibawa justru ketika ujung tombak diplomasi dipegang oleh seorang perempuan.

***
Retno yang lahir di Semarang 27 November 1962 ini menyelesaikan studi S1-nya pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada tahun 1985. Kemudian ia menempuh pendidikan diplomatiknya pada tahun 1986, 1996, dan 2002. Di sela-sela itu ia menjabat sebagai Third Secretary Penerangan pada KBRI Canberra (1990–1994), Counselor Ekonomi KBRI Den Haag (1997–2001). Sejak tahun 1997 itu Retno menjabat sebagai Sekretaris I bidang ekonomi di Kedutaan Besar RI di Belanda, kemudian menjadi Deputi Direktur Kerja Sama Ekonomi Multilateral (2001). Ia ditunjuk sebagai Direktur Eropa dan Amerika pada waktu itu. Tanpa jeda, ia juga menjabat Direktur Kerja Sama Intra-Kawasan Amerika dan Eropa (2002–2003) sekaligus dipromosikan menjadi Direktur Eropa Barat pada tahun (2003–2005), kemudian menjabat sebagai Dirjen Amerika dan Eropa (2008–2012).
Di sela-sela karirnya yang terus meningkat itu, tentu saja diiringi oleh semangatnya menimba ilmu. Ia menuntaskan gelar S2 Hukum Uni Eropa (European Union Law) dari Haagse Hogeschool Belanda dan di Oslo University untuk kekhususan Human Rights Studies. Oleh karena latar belakang pendidikannya tersebut, Retno juga masuk dalam Tim Pencarian Fakta (TPF) dalam mengungkap fakta pada kasus meninggalnya aktivis HAM, Munir. Bahkan Retno yang pernah menempuh pendidikan sekaligus menjabat Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Kerajaan Norwegia dan Republik Islandia pada periode 2005-2008 itu menjadi orang Indonesia pertama yang dianugerahi Bintang Jasa “Order of Merit” pada Desember 2011. Order of Merit adalah sebuah penghargaan istimewa, bintang jasa tertinggi kedua di Norwegia yang diberikan oleh Raja Norwegia atas dedikasinya dalam meningkatkan kerjasama hubungan RI-Norwegia.
Karirnya tidak berhenti sampai di situ, pada April 2008 Retno kemudian diberi amanah sebagai Direktur Jenderal Amerika dan Eropa pada Kementerian Luar Negeri RI sampai Januari 2012. Ia menjadi Kepala Juru Runding (Chief Negotiator) bagi Amerika Serikat, Brazil, Uni Eropa, dan negara lainnya dalam membahas dokumen kemitraan strategis.
Sebagai Dubes RI untuk Kerajaan Belanda selama periode 2012-2014, Retno berhasil membentuk Kemitraan Komprehensif (Comprehensive Partnership) antara Indonesia dan Belanda yang merupakan pencapaian tertinggi dalam hubungan bilateral kedua negara.
Nama duta besar Indonesia termuda sepanjang sejarah itu sudah dikantongin oleh Presiden Joko Widodo sejak 20 Oktober 2014 sampai akhirnya dilantik pada 27 Oktober 2014. Retno sekaligus menjadi perempuan pertama yang menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia. Sebelumnya, kursi menteri luar negeri Indonesia terdahulu diduduki oleh kaum Adam, mulai dari Achmad Subarjo, Sutan Syahir, Haji Agus Salim, Mohammad Hatta, Hassan Wirayuda, dan Marty Natalegawa.

***
Jauh sebelum persoalan Palestina, Indonesia juga dilanda persoalan pengungsi Rohingnya. Sejarah mencatat, Indonesia bukan negara peserta Konvensi Pengungsi (Convention of Refugee) pada 1951 tentang status pengungsi dan pencari suaka. Indonesia juga tidak menandatangani Protokol 1967. Namun pada rabu 20 Mei, Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman, dan Menteri Luar Negeri Thailand Tanasak Patimapragorn mengadakan pertemuan membahas pengungsi Rohingya dan Bangladesh di Putra Jaya, Malaysia. Hasil dari pertemuan tersebut, ketiga negara sepakat untuk tetap memberikan bantuan kemanusiaan dan tempat penampungan sementara bagi para pengungsi itu.
Keesokan harinya Retno Marsudi melakukan kunjungan kehormatan ke Myanmar dan melakukan diplomasi membahas berbagai kerjasama bilateral dengan Pemerintah Myanmar sebagai pembuka dan langkah strategis yang pada akhirnya menyinggung juga permasalahan pengungsi Rohingya. Dengan karakteristik diplomasi ekonomi yang ia junjung, maka pasca pertemuan tersebut Retno bertolak ke Doha, Qatar bertemu Raja Sheikh Tamim yang berjanji memberikan bantuan dana sebesar USD 50 juta kepada Indonesia sebagai dukungan untuk menyelamatkan pengungsi Rohingya. Selain itu, pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pencari suaka, guna solusi permanen untuk jangka panjang dari imigrasa asing pencari suaka ke Indonesia. Atas berbagai upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia itu, Deputi Sekretaris Jenderal PBB menyampaikan apresiasi atas apa yang Indonesia lakukan terhadap pengungsi yang masuk wilayah negaranya.
Retno juga berperan penting dalam perundingan yang pada akhirnya menghasilkan keputusan diperbolehkannya maskapai penerbangan Indonesia terbang kembali di langit Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Retno, yang terkenal dengan keterbukaan akan perubahan, mengingatkan kita pada sosok Kartini di masa lalu, dan ialah manifestasi dari Kartini itu. Dialah Kartini masa kini yang tidak hanya mengangkat derajat perempuan Indonesia semata, tetapi derajat bangsa di radar politik dunia. Dan Retno hanya salah satu saja dari sekian banyak perempuan hebat dan tangguh di negeri ini. Mari bangkit para Kartini muda untuk Indonesia lebih jaya.
Tentang penulis:

Kholidah Tamami. Alumni pers mahasiswa Jumpa, Bandung. Sekarang menjadi peneliti Politik Hubungan Internasional di Timur Tengah pada Pusat Riset Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia. Dosen Filsafat di STIF Syech Nawawi Tanara Banten.