“Kalung emas kuwi mbiyen tak tuku
Tak pasrahke mung kanggo sliramu
Gedhe roso tresnaku
Yo mung kanggo sliramu
Ra nyono kowe lali karo aku
Loro atiku, atiku kelaran loro
Rasaning nganti tembus ning dhodho
Nangisku iki
Mergo kowe sing njalari
Kebangeten opo salahku iki
Opo dosaku iki”
Seorang remaja pria berambut cepak tampak menangis tersedu-sedu. Ia berdiri di barisan paling depan pagar pembatas. Tangannya menyilang sebelah, memeluk pagar dan badannya terayun-ayun mengikuti irama lagu. Air mata telah kuyup membasahi pipi, tapi tak Ia hiraukan. Bibirnya bergetar dan tak henti komat-kamit merapalkan syair lagu dengan totalitas penjiwaan khas patah hati. Ati tertojos-tojos rasane!
Pria belasan tahun itu, adalah salah satu potret sobat ambyar yang tersorot di kamera saat konser Didi Kempot yang sedang menyanyikan lagu Kalung Emas pada Oktober 2019 lalu. Video berdurasi 1 menitan itu, menjadi viral di sosial media dan telah ditonton di youtube lebih dari puluhan ribu kali.
Akupun, berani bersaksi betapa kawan-kawanku tak peduli laki ataupun perempuan, juga tua muda, merayakan “ambyar” dan hanyut dalam lantunan tembang campur sari pria bernama asli Dionisius Prasetyo itu, tiap kali Ia tampil. Sad boys dan sad girls, Ambyar! Seambyar-ambyare!
Di Jakarta, aku beberapa kali nonton konser Sang Legend yang mengarungi karier musik dari Kelompok Pengamen Trotoar (Kempot) sejak tahun 1980-an itu. Dan jauh dari itu, Didi Kempot dan tembang-tembangnya sebetulnya juga sudah tak asing bagi keseharianku yang lahir dan tumbuh di tengah masyarakat Jawa Timuran.
Kalau kata Mas Agus Mulyadi (Pimred Mojok), “Didi Kempot bukan penyanyi. Tapi dia adalah nyanyian itu sendiri”. Ya, aku mengamini. Didi Kempot telah menjadi tembang yang mengiringi waktu leyeh-leyeh hingga sakral seperti acara perkawinan dengan musik sound system yang disetel kencang-kencang menembangkan seorang Didi Kempot.
Seiring waktu, aku tampaknya makin paham. Kalau nyatanya Didi Kempot memang bukan hanya sekadar tembang. Dia bukan hanya iringan-iringan tembang di keseharian. Tapi, diam-diam jadi pemberi nasihat penting bagi kehidupanku, dan semoga banyak orang. Pria kelahiran 31 Desember 1966 itu, adalah sosok pendobrak stigma Boy’s Don’t Cry di muka bumi.
Dalam masyarakat patriarkial, tak hanya melulu kelompok perempuan dan minoritas gender yang tersudutkan. Tapi, juga laki-laki, yang notabene seringkali dinilai dominan: bahwa laki-laki mesti kuat, tak boleh menye-menye, harus maskulin dan enggak boleh nangis.
Tak elak, Boy’s Don’t Cry sering jadi doktrin petuah-petuah emak-bapak ke anak, persekutuan duniawi di sohib tongkrongan hingga jadi materi-materi kesenian seperti lagu yang seolah jadi kewajaran.
Superman dalam The Lucky Laki misalnya, anak-anak laki Ahmad Dhani itu mendengangkan lagu yang baitnya menunjukkan, kalau ayahnya selalu berkata, laki-laki tak boleh nangis. Harus selalu kuat, harus selalu tangguh, harus bisa jadi tahan banting.
Grup band asal Inggris, The Cure pun melakukan hal serupa dengan lagu berjudul Boy’s Don’t Cry yang liriknya “Cover it all up with lies. I tried to laugh about it. Hiding the tears in my eyes ‘Cause boys don’t cry.” Ya, laki-laki juga jadi korban patriarki yang menanggung beban ekspresi perasaan kesedihan.
Betapa banyak juga kita temui dalam keseharian di sekitar, bahwa laki-laki dengan berbagai peran dan dari kalangan manapun, menanggung stigma itu. Hanya karena Ia seorang remaja pria, Ia tak diperkenankan cengeng, karena dianggap cemen oleh bolo-bolonya. Ayah yang menanggung label “tulang punggung dan kepala” keluarga, harus selalu berwibawa dan tak etis mengeluh atas kesedihannya.
Doktrinasi semenjak usia dini, bahwa anak laki-laki dididik untuk tampil perkasa tak lepas dari konstruksi sosial itu. Manusia berkelamin laki-laki, tidak boleh menangis, harus kuat secara fisik maupun mental. Saat seorang laki-laki menyimpang dari tuntutan itu “Boy’s Don’t Cry” itu, akan dicela “Lemah, kayak banci!”
Yola Damayanti Gani dan Willy Chandra dalam Campursari Ala Didi Kempot: Perempuan dan Laki-laki Jawa Mendobrak Patriarki juga menyebutkan, bahwa tembang-tembang Didi Kempot berisi perlawanan stigma representasi laki-laki Jawa yang tenang, kalem dan tidak suka konflik.
Namun, melalui tembang-tembang bak kryptonite yang mampu melelehkan hati manusia paling dingin sekalipun itu, Lord Didi mampu menghadirkan gambaran laki-laki yang (sama seperti perempuan) juga mengutamakan perasaan. Sisi melankolis seorang laki-laki Jawa itu, ditunjukkan dengan kata-kata “kenangan”, “kelangan”, “netes eluh ning pipiku”.
Boy’s Don’t Cry bukan saja melanggengkan patriarki yang kini masih bercokol. Namun juga, menyebabkan penyakit seperti toxic masculinity sebagai ketakutan akan kehilangan maskulinitas yang menurunkan harga diri.
Tak hanya itu, bapak sobat ambyar itu juga mengajarkan untuk kita tak lagi melazimkan, toxic positivity atau toksik positivisme menggerogoti kesehatan mental. Berupaya stay positif, yang ternyata justru memperparah munculnya beban mental. Dan melalui tembang-tembang Didi Kempot, stigma itu di”ambyarkan”. Ora opo-opo nangis!
The Good Father of Broken Hearth telah berkali-kali memberi pesan, kita semua setara dalam kesedihan. Kita dengan beragam gender adalah manusia biasa dengan beragam kompleksitasnya: boleh nangis, dan tak apa-apa mengekspresikannya tanpa tedeng aling-aling stigma sosial yang jadi beban. It’s okay to not to be okay!
Sugeng tindak, Om Didi Kempot