Lets Love More & Judge Less

Perempuan masa kini mempunyai kuasa penuh atas teknologi. Terutama, perempuan yang berada dalam golongan millenial. Muda, tengah menikmati karier yang menanjak, dan berkuasa pada dirinya sendiri. Perempuan-perempuan generasi millenial ini akan selalu mendapatkan waktu luang yang cukup untuk mengakses teknologi internet melalui perangkat apapun, seperti melalui laptop, tablet atau smartphone.

Coba saja Anda lihat ke sekeliling. Pasti dengan mudah akan anda temukan perempuan dalam rentang usia di bawah 37 tahun yang tengah menenteng ponsel pintar masing-masing. Dan itu bisa terjadi dalam keadaan apapun. Baik saat bangun tidur, hingga saat menjelang tidur lagi.

Tidak hanya dalam rentang usia generasi milenial saja, perempuan-perempuan lain yang berusia di atasnya pun tidak mau kalah dalam bermain dengan internet dan teknologi. Pekerjaan yang menyangkut teknologi pun tidak hanya dimonopoli oleh para pria. Banyak sekali posisi strategis dalam perusahaan teknologi yang sudah dikuasai oleh perempuan. Pekerjaan yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau coding, programming, software, developer, dan IT, sudah banyak yang dilakukan oleh perempuan. Memang, perempuan mempunyai kuasa penuh atas dirinya sendiri dan pekerjaannya.

Akan selalu ada bahan yang bisa dibahas di internet oleh perempuan. Entah itu mengenai pekerjaan, pendidikan pribadi, pendidikan anak, perkembangan anak, resep makanan, produk tata rias terbaru, tempat hits yang akan dikunjungi, tempat nongkrong yang menunya lezat dan instagrammable, berita tentang pesohor yang tengah digandrungi, berita politik yang hangat dibicarakan, tren olahraga terbaru, aksesoris, fashion, apapun itu akan menjadi bahan perbincangan yang bisa diunggah di internet.Satu lagi terlupa….toko daring (online shop). Media sosial baik Facebook, Twitter, Path dan Instgram selalu menjadi sarana yang paling ampuh untuk menunjukkan eksistensi para perempuan.

Women’s War Itu Ada

womens-war

Tak dapat dimungkiri kebutuhan perempuan untuk selalu berkomunikasi satu sama lain. Saat bertemu dengan sesamanya dalam dunia nyata, perempuan akan selalu berbincang. Tentang hal apapun. Pun dalam dunia maya. Tema apapun akan menjadi asyik dan hangat untuk dibicarakan.

Dan pada saat berbincang-bincang tersebut, kesalahpahaman bisa saja muncul. Dari yang awalnya hangat, akrab, tiba-tiba dapat berubah menjadi sebuah sengketa dalam sekejap. Dalam kehidupan nyata saja kesalah pahaman sering kali muncul. Apalagi dalam dunia maya yang tidak bertemu secara langsung. Perbedaan pendapat yang diwarnai dengan perbedaan latar belakang dan perbedaan cara penyampaian, dapat memicu kesalah pahaman. Apalagi jika perempuan yang sudah saling bersilang pendapat. Wah…sangat riuh.

Percakapan dalam bentuk teks di internet, seperti di kolom komentar media sosial, blog, forum daring, ataupun aplikasi perpesanan, rawan sekali memicu terjadinya silang pendapat akibat tidak adanya intonasi. Apalagi jika disertai penggunaan tanda baca, huruf kapital, dan jeda yang tidak tepat. Perempuan akan sangat memperhatikan hal-hal detail semacam ini. Penggunaan teknologi via video call pun tak lepas dari munculnya pertengkaran. Dan pada saat itulah Women’s War pun tak terelakkan

Topik yang paling umum menjadi Women’s War itu adalah mengenai politik. Baik politik dalam negeri yang tengah menghangat, maupun politik luar negeri. Pilkada serentak yang berlangsung (lagi) tahun ini, mau tidak mau menjadi salah stau topik yang memicu Women’s War. Kaum perempuan terbelah menjadi beberapa kubu. Ada yang membela calon A, ada yang mati-matian memuja calon B sekaligus mencari titik kelemahan calon A.

Topik selanjutnya yang memicu Women’s War adalah mengenai perbedaan dalam memilih pendidikan terbaik bagi anak. Baik dalam memilih institusi pendidikannya, maupun mengenai sistem. Banyak kaum perempuan muda yang tertarik menyekolahkan anaknya di sekolah konvensional, yang kemudian menyebut bahwa sekolah berbasis asrama tidak baik untuk membentuk karakter anak yang sayang keluarga.

Lantas, pendapat tersebut akan dibantah oleh kalangan perempuan yang mempunyai anak yang sekolah berasrama, dengan menyebut bahwa anak yang bersekolah di sekolah konvensional akan terhambat dalam kemandirian. Kemudian muncul satu kubu lagi, perempuan yang menyekolahkan anaknya melalui metode home schooling. Dan ketiga kubu ini akan saling mengklaim bahwa kubunya sendiri lah yang terbaik.

Women’s War selanjutnya muncul dalam topik karier. Menurut pengamatan saya, perempuan dalam hal ini terpecah menjadi tiga kubu. Kubu full time Mommy, yang menganggap bahwa ibu yang bekerja itu tidak akan sepenuhnya mampu berbakti pada keluarga, anak dan suami. Kubu kedua adalah perempuan yang bekerja, yang berpendapat bahwa ibu yang tidak bekerja tidak akan mampu memberi support finansial bagi keluarga dan suami.

Dan kubu ketiga, yang muncul belakangan, adalah kubu online shop owner Mommy, ibu yang bekerja di rumah, yang biasanya mempunyai toko, baik toko daring, maupun toko konvensional. Berbakti pada keluarga, dapat dilakukan. Bekerja untuk mensupport keuangan keluarga juga dilakukan. Sekaligus.

2

Public figure, baik itu dari dalam dan luar negeri, pun tak lepas menjadi topik dalam Women’s War. Kaum penggemar salah satu artis akan disebut sebagai lovers, akan berhadap-hadapan secara langsung dengan kaum pembenci artis tersebut (haters). Perang urat syaraf akan terjadi, dan kaum perempuan muda usia di bawah 25 yang biasanya banyak berperan di sini.

Beberapa waktu lalu muncul meme mengenai seorang istri politisi yang marah-marah di internet karena suaminya diserang oleh kaum haters di media sosial yang dimilikinya. Tak hanya istrinya, menantu perempuannya pun tak kalah gahar dalam membalas komentar netizen yang menyangkut keluarga politisi tersebut.

Topik terbaru Women’s War adalah mengenai seorang perempuan yang menikah dengan anak dari seorang politisi senior negeri ini. Perempuan muda ini berprofesi sebagai seorang pesohor yang terkenal di sebuah media sosial yang tinggal di Yogyakarta. Dia menerima lamaran dari (calon) suaminya, setelah bertemu muka secara tidak sengaja hanya selama tiga kali saja, yang pada saat bersamaan, dia tengah berstatus tunangan dengan seorang pria yang berada di luar Yogyakarta. Long Distance Relationship. Sang pesohor menyatakan bahwa dia menggunakan logika dan realistis menerima lamaran mendadak tersebut.

Kubu pro dan kontra muncul. Banyak kaum perempuan yang mendamba berada di dalam posisi sang pesohor, mendapatkan suami yang tanpa tedeng aling-aling ajak menikah tanpa pacaran. Namun kubu kontra pun tak kalah dalam jumlah. Banyak perempuan yang menyatakan bahwa sang pesohor bukanlah sosok yang patut diteladani, karena tidak mampu menjaga kesetiaan kepada kekasih yang di luar kota.

3

 

Well, sekelumit drama women’s war di atas baru ilustrasi masih banyak tema-tema sejenis dan akan terus ada selama media sosial ada, beda pendapat silakan. Sesungguhnya yang paling berat adalah perang terhadap diri sendiri yang memilih untuk menahan komentar asal nyinyir atau memang berdasarkan fakta dan situasi sosial yang dirasakan. Perempuanlah yang bisa menjawab. (Foto: Huffigthon Post & Pixabay)

BERIKAN KOMENTAR