Yogyakarta menjadi salah satu tujuan puluhan ribu pelajar dari pelosok negeri. Lebih dari 100 perguruan tinggi berada di wilayah yang katanya berstatus istimewa ini. Yogyakarta disebut istimewa karena dianggap kaya akan sejarah hingga tradisi intelektualnya. Ia juga dianggap sebagai daerah yang menjunjung tinggi toleransi.
Tapi, status istimewa itu sepertinya perlu dipikirkan ulang kembali untuk kita sematkan pada Yogyakarta. Beragam kasus intoleransi muncul dan menjamur di Yogyakarta. Mulai dari kasus intoleransi kebebasan beragama, hingga anti kebebasan bereksresi dan berkumpul. Lebih miris lagi, gerakan intoleransi itu telah masuk ke dunia pendidikan, menyusup ke berbagai sekolah, menyeruak di berbagai kampus.
Peristiwa intoleransi di Yogyakarta begitu memprihatinkan dalam dua tahun terakhir ini. Laporan The Wahid Institute pada tahun 2014, terdapat 21 kasus intoleransi yang terjadi di Yogyakarta. Sehingga membuat Yogyakarta menduduki nomor dua sebagai daerah rawan intoleransi. Posisi pertama diraih Provinsi Jawa Barat yang mengoleksi 25 kasus. Sebuah prestasi yang memalukan sekaligus menyedihkan.
Pada 2015, kasus intoleransi di Yogyakarta kembali terulang. Dalam catatan Setara Institute, kasus intoleransi di Yogyakarta pada 2015 ada sebanyak 10 kasus. Catatan intoleransi di Yogyakarta yang lebih tinggi didokumenasikan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika DIY. Organisasi mencatat ada 13 kasus intoleransi, baik kebebasan beragama maupun bereksresi selama 2015.
Beragam trik dan intrik terus dijalankan oleh kelompok yang antiperbedaan. Tahun ini gerakan intolerasi terus menguat di Yogyakarta. Salah satunya adalah pembubaran pesantren waria Al-Faatah di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, yang dilakukan ormas Front Jihad Islam.
Gerombolan yang mengatasnamakan agama itu tidak setuju dengan keberadaan Al-Faatah dengan dalih pesantren itu membuat warga tidak nyaman. Pesantren akhirnya bubar dan diubah dengan konsep majelis taklim.

Adapula kasus pembubaran acara seni LadyFast di Survive Garage, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul; intimidasi acara menonton film dokumenter di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM); teror psikis dari ormas Forum Komunikasi Putraputi Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI) saat acara Diskusi Peristiwa 1965 di Gedung Magister Administrasi Publik UGM, dan pebubaran acara peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional di Kantor AJI Yogakarta.
Sungguh miris melihat peristiwa tersebut. Apalagi di era melek informasi dan kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi. Para pelaku pembubaran dihampir setiap kegiatan berawal dari ormas, dari beragam latar belakang, yang tidak setuju dengan kegiatan orang lain. Pelaku dan modusnya juga hampir serupa.
Polisi seperti tak punya nyali ketika ada ormas yang mengumbar gerakan intoleransi mereka. Polisi seoalah tunduk pada ormas sehingga mengorbankan hak-hak sipil warga negara. Alhasil, polisi juga seolah menjadi ‘alat’ yang dimanfaatkan pihak intoleran itu. “Acara ini harus dibubarkan karena mengundang kerusuhan. Atas perintah Kapoda DIY, acara ini dibubarkan,” kata Kepala Bagian Operasional (Kabag Ops) Polresta Yogyakarta, Kompol Sigit Haryadi saat membubarkan acara peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional di AJI Yogyakarta, 3 Mei 2016.
Kasus yang masih hangat terjadi lagi, ada penerbit buku yang didatangi aparat TNI. Katanya dianggap menyebarkan paham kiri, komunis, leninisme, atau yang kiri-kiri lainnya. Bahkan, di luar Yogyakarta, aparat TNI menyita buku sejarah yang berkaitan dengan kasus 1965 dan komunis. Malah, awal Mei kejaksaan di Yogyakarta “mengamankan” buku berjudul “Sejarah Gerakan Kiri untuk Pemula.” Ini sudah kebablasan.
Sungguh tak masuk akal dalil-dalil yang digunakan. Bangsa Indonesia ini besar dengan sejarah yang panjang. Apa yang menjadi isi buku, yang kabarnya menyebarkan paham ini dan itu, adalah ilmu yang seharusnya menjadi konsumsi pembelajaran dan bahan diskusi. Jika sampai musnah buku seperti itu, berarti memotong generasi bangsa yang berikutnya untuk belajar sejarah.
Menyita buku, atau bahkan jika sampai dimusnahkan, pihak yang melakukan berarti sudah kebablasan. Tindakan-tindakan demikian tak patut ada di ranah pedidikan. Mereka yang ada di dunia pendidikan tentu sudah cerdas dan tahu batasannya. Logika sederhananya, tak mungkin ada bangsa Indonesia yang menginginkan negaranya hancur. Dan jika ada motif lain di balik ini, sungguh kejam pihak yang sampai mengorbankan dunia pendidikan.
Sungguh tidak nyaman tinggal di Yogyakarta sekarang. Padahal di tempat ini dulu pernah lahir dan besar sosok bangsawan yang tak ingin menikmati kebangsawananya. Dia adalah Raden Mas Soewadi Suryanigrat atau yang akrab di sapa Ki Hadjar Dewantara. Pemikirannya telah dikenal di seantero negeri. Bahkan buah pemikirannya dijalankan di Finlandia.
Lelaki pendiri badan perjuangan dan pendidikan Tamansiswa ini seperti telah disingirkan perjuangannya oleh segelintir kelompok. Perjuangan kemerdekaan dan pendidikan yang diperjuangkan bersama para pahlawan lain seperti ditelan bumi. Bisa dikatakan, kelompok yang intoleran itu sudah memasung kebebasan berfikir dan akses keilmuan.
Kehidupan masyarakat, pelajar, dan pendidik seperti berada di bawah intimidasi. Padahal sudah menjadi tugas aparat memberikan perlindungan hak-hak masyarakat yang sudah diamanatkan konstitusi. Namun yang terjadi justru sebaliknya, polisi mendukung aksi kelompok-kelompok intoleran.
Masih banyak hal-hal yang perlu dipikirkan untuk memajukan negara dan menyejahterakan masyarakat dengan berprinsip keadilan. Selain itu, sebetulnya masyarakat juga sudah cerdas menilai, mana yang patut dan tidak patut dari apa yang pemerintah serta aparat lakukan. Adanya konflik, entah itu mungkin disengaja atau tidak, bakal memengaruhi kepercayaan masyarakat sipil kepada pihak yang sengaja membuat konflik itu. Hal yang tak kalah penting, masyarakat sipil bersama jaringan, aktivis prodemokasi, mahasiswa, hingga para pendidik harus bersama bersuara untuk bersikap tegas menolak gerakan intoleransi.