“Di awal munculnya bisnis transportasi online, para penyedia jasa taksi dan ojek konvensional menolak dengan heroik hingga perlahan sadar bahwa teknologi digital adalah keniscayaan. Kini anak-anak muda Indonesia sibuk menambang Bitcoin, mata uang digital, implementasi pertama dari teknologi Blockchain, dan para pemimpin negara, para pemimpin Bank Sentral dengan heroik mengatakan cryptocurrency rentan digunakan sebagai alat kejahatan (fraud), hingga suatu saat mereka mengatakan mata uang digital adalah …”
Sri Mulyani Menteri Keuangan RI sekitar awal November 2017 mengadakan pertemuan dengan masyarakat Indonesia yang berada di Hongkong, menyinggung cryptocurrency atau mata uang digital sebagai fenomena ekonomi berbasis teknologi digital. Sebuah negara umumnya menciptakan dan mengatur mata uangnya melalui sebuah lembaga bank sentral. Di Indonesia lembaga yang memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang menurut UUD 1945 adalah Bank Indonesia (BI). Otoritas moneter yang dimiliki BI antara lain menambah ataupun mengurangi jumlah uang yang beredar berdasarkan kebutuhan masyarakat untuk bertransaksi.
Pasal 1 UU No 7 tahun 2011 Tentang Mata Uang menjelaskan bahwa mata uang yang digunakan di Indonesia adalah Rupiah. Pasal 2 ayat (2) menjelaskan mata uang rupiah ada dua jenis yaitu kertas dan logam. UU tersebut tidak mengatur tentang keberadaan cryptocurrency atau mata uang digital. Pun, umumnya sistem bank konvensional akan mengalami kesulitan mendeteksi penggunaan mata uang digital, misalnya Bitcoin sebagai mata uang digital yang paling tinggi nilainya, lantaran transaksi dilakukan secara anonimus.
Sekitar Oktober 2017 International Monetary Fund (IMF) di Washington DC dalam annual meeting khusus membahas tentang fenomena mata uang digital terkait sejumlah masalah moneter. Misalnya, apakah mata uang digital dapat menjelaskan inflasi atau peredaran uang melebihi jumlah barang, apakah penggunaan mata uang digital mampu berkontribusi pada peningkatan produktifitas, dan apakah jumlah uang digital yang bertambah banyak dengan jumlah aset tetap akan menimbulkan bubble dan krisis?
Teknologi saat ini memiliki dua wajah: peluang dan risiko. Bitcoin sebagai salah satu mata uang digital bernilai tinggi sempat mendapatkan kecaman dari bank sentral di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Pemerintah melalui masing-masing bank sentral mengkhawatirkan keberadaan Bitcoin akan merusak tatanan moneter dunia, lantaran rentan digunakan sebagai alat melakukan kejahatan. Namun di satu sisi, bagi negara yang melegalkan mata uang digital, misalnya Jerman dan Jepang, Bitcoin merupakan sebuah revolusi alat tukar yang mengalami perkembangan pesat.
Bitcoin menggunakan teknologi Blockchain, teknologi pencatatan transaksi keuangan tanpa mengandalkan sistem perbankan. Sistem bank konvensional mencatat semua transaksi finansial di dalam sebuah buku, bahkan ratusan buku dan buku besar yang telah didigitalkan kemudian dimiliki dan dikontrol oleh suatu bank. Melalui Blockchain catatan buku besar tersebut disebarluaskan secara publik, dikelola ribuan komputer di dunia dalam waktu yang bersamaan.
Buku besar yang bisa diakses dan dikelola publik merupakan inti dari kekuatan Blockchain. Mustahil bagi seseorang untuk menghapus setiap catatan transaksi yang tercatat dalam buku besar global tersebut. Sekitar November 2008 Satoshi Nakamoto mempublikasikan penjelasan Bitcoin sebagai sebuah sistem keuangan digital yang berhubungan dengan kriptografi. Kemudian pada awal Januari 2009 Satoshi meluncurkan kode program Bitcoin secara open source dengan aktivitas penambangan pertama sebanyak 50 block.
Di Indonesia Bitcoin mulai eksis pada 2011. Bagi sejumlah ekonom, keberadaan Bitcoin berpotensi mengacaukan lini perbankan pada konteks moneter, serta mengganggu perjalanan bursa saham. Pasar uang digital dengan pasar saham memiliki perbedaan signifikan. Bitcoin sejauh ini belum memiliki badan hukum, berbeda dengan pasar saham yang mensyaratkan bagi entitas bisnis yang akan go public untuk memiliki badan hukum perseroan.
Perusahaan yang telah go public akan menjadi terbuka bagi perusahaan lain untuk menanamkan saham di dalamnya. Berbeda dengan Bitcoin yang sedari awal menggunakan entitas anonimus dalam setiap transaksi. Setiap orang tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa ketika sedang bertransaksi. Pola anomali yang diterapkan Bitcoin justru menarik minat publik untuk bertransaksi, bahkan berinvestasi.
Pola anomali paralel dengan tingkat fluktuasi yang tinggi pada mata uang digital. Misalnya saat Cina mencegah penggunaan Bitcoin nilai tukarnya mengalami penurunan 20-30 persen. Namun hal tersebut tak berlangsung lama, karena nilai tukar Bitcoin selanjutnya melonjak hingga 200-400 persen. Bahkan di Indonesia pada 2012-2014 Bitcoin mencapai keuntungan hingga 456 persen.
Fluktuasi tersebut sebenarnya disebabkan oleh faktor politik ekonomi makro sebuah pemerintahan dalam menimbang dan menilai mata uang digital sebagai jalan baru mewujudkan kesejahteraan. Ada negara yang mendukung mata uang digital, sebaliknya ada juga yang menolak. Perbedaan kebijakan negara tersebut menimbulkan ketidakpastian ekonomi politik global, peredaran Bitcoin dianggap meningkatkan risiko fraud, penipuan dalam transaksi.
Belajar Dari Krisis
Bitcoin merepresentasikan pertarungan para pemimpin negara, pemimpin bank sentral yang memiliki kepentingan mengatur fiskal. Muhammad Reza Syarifudin Zaki, Ahli Hukum Internasional dari Universitas Bina Nusantara (BINUS) berpendapat bahwa ide mata uang digital muncul di Asia tepatnya Asia Timur, Jepang. Hal ini tentunya secara geopolitik mempengaruhi pemikiran Barat yang selama ini menjadi kiblat perekonomian dunia. Ada kekhawatiran jika Asia menguasai perekonomian dan menjadi kiblat baru dalam perekonomian global.
Kemudian muncul stigma terhadap Bitcoin seiring penyebaran 630 mata uang digital yang dituduh digunakan sebagai alat transaksi kejahatan, narkoba, prostitusi online dan terorisme. Bill Gates yang dikenal sebagai pecinta teknologi dengan enteng menjawab “apakah mata uang konvensional tidak pernah dipakai sebagai alat kejahatan?” Penilaian masyarakat tentu harus diarahkan menjauh dari polarisasi pro dan kontra atas penggunaan mata uang digital.
Tren krisis di dunia tidak hanya melanda Asia Pada 1998, tapi juga menyentuh Amerika. Inggris keluar dari Uni Eropa ditandai krisis di Yunani, Spanyol dan Italia. Tren Krisis menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat dan swasta terhadap kemampuan negara mengelola fiskal dan moneter. Ekonomi dunia mengalami krisis yang hampir merata pada 1998, 2008 mungkin nanti 2018.
Bitcoin, mata uang digital dan teknologi Blockchain muncul dari pengalaman masyarakat di negara-negara yang dilanda tren krisis moneter dengan siklus 10 tahunan. Cryptocurrency atau mata uang digital adalah gagasan baru melahirkan mata uang yang bisa lebih independen, kuat tanpa intervensi negara. Meksi krisis melanda negara, dengan mata uang baru masyarakat lebih stabil, lebih kuat mengatur fiskalnya.
Dalam perkembangannya, Bitcoin tak hanya digunakan sebagai alat tukar, tapi juga dipakai sebagai alat investasi. Sehingga aspek pengalaman masyarakat yang kerap terpapar badai krisis mesti mendapat tempat dalam kajian-kajian ilmiah lembaga otoritatif seperti Bank Indonesia ataupun Otoritas Jasa Keuangan sebelum membuat kebijakan yang melarang ataupun mendukung teknologi Blockchain.
Di sisi lain instrumen hukum nasional tentu harus siap jika akan menerapkan dan mendukung cryptocurrency, terlebih di dalam UU Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang belum mengatur penggunaan mata uang digital. Sehingga Bitcoin sebagai alat tukar dan investasi diakui oleh perbankan saat akan dicairkan. Soal badan hukum, transparasi data, dan transaksi anonimus juga menjadi sejumlah hal penting yang harus diatur saat sistem moneter hendak mengadopsi cryptocurrency.
Teknologi merupakan faktor yang mempengaruhi perekonomian, sehingga masyarakat tidak perlu terjebak pada perdebatan yang menguras tenaga tentang mata uang digital. Masyarakat telah menikmati teknologi internet yang memudahkan pekerjaan dan menjadi solusi masalah kehidupan sehari-hari, tentu masyarakat juga tak ingin terjebak dalam badai krisis untuk kesekian kali. Sebelum dollar diakui sebagai alat tukar, emas adalah alat tukar yang diakui. Hari ini, setelah emas dan dollar, Bitcoin muncul sebagai virtual currency dan mata uang masa depan yang mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di berbagai negara. []
Penulis:
Franditya Utomo. Alumnus LPM Imparsial Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember. Saat ini tengah bergiat sebagai advokat dan peneliti hukum di Jakarta