Jalan Sunyi Tommy: Obituari 200 Hari Tommy Apriando

433

Kematian datang menjemput Tommy Apriando di ruang RS PKU Muhammadiyah, Jogja, pada 2 Februari 2020 lalu. Tidak ada yang menyangka lelaki bertubuh kekar itu pulang tiba-tiba. Kelakarnya di Fecebook pada 27 Januari 2020 merupakan kabar gembira: “Empat hari lebih terkapar, akhirnya diperbolehkan pecicilan lagi sama dokter. Terima kasih doa kawan-kawan”. Rupanya itu salam terakhirnya. Tommy, sobat muda saya, Ketua AJI Jogja, pergi selamanya setelah itu.

Kabar itu begitu mengejutkan. Tommy menderita diabetes, sempat koma dan dilarikan ke rumah sakit dan opname selama empat hari. Sebagai penghobi bola yang kuat dan gesit berlari, semua tak menyangka ia menderita sakit segawat itu. Jenis penderitaan yang agak ganjil untuk pengidap gula kecuali sudah berkomplikasi ke jantung.

19 Agustus 2020 ini genap 200 hari kepergiannya. Sebagai sesama alumnus pegiat pers mahasiswa (persma), saya sempat mengajak teman-teman di asosiasi alumni Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) membuat buku untuk mengenangnya. Gagasan ini disambut, tetapi hingga 200 hari kepergiannya masih belum terealisasi. Obituari ini siapa tahu bisa memicu kawan-kawan seangkatannya membuat buku kenangan untuk setahun kepergiannya nanti di Februari tahun depan. Akan saya warnai dengan kisah heroisme lain jika catatan ini tak lengkap.

Dibanding para aktivis pers mahasiswa (persma) segenerasi kami, pergaulan saya dengan Tommy Apriando belum terlalu lama. Ia aktivis muda yang tumbuh di era Reformasi. Lahir di Pringsewu Barat, Kabupaten Pringsewu, Lampung, 10 April 1989. Tahun kelahirannya adalah tahun pertama saya menjadi mahasiswa.

Ketika saya lulus 1996 dan memilih berkarir di perusahaan multinasional di Kudus, saya masih berjejaring dengan para aktivis dan sempat terlibat aksi penurunan Soeharto di masa Reformasi 1998. Tapi, pilihan profesional di kota kecil yang bukan basis aktivis, interaksi saya dengan sesama aktivis menjadi makin sempit, termasuk dengan para pendahulu Tommy. Saat kembali terjun ke dunia aktivis tahun 2006, Tommy justru baru mengenal dunia mahasiswa.

Sembilan tahun kemudian kami baru bertemu. Di Flora Garden Kafe, Pancoran, Jakarta, 24-25 Januari 2015, para mantan pegiat persma berkumpul membentuk forum alumni PPMI. Hampir semua eks pegiat persma dari seluruh Indonesia hadir. Juga Tommy. Mereka berkisah tentang masa lalu yang heroik di akhir Orde Baru yang lalim.

Bersama rombongan mantan pegiat majalah “Keadilan”, Fakultas Hukum UII, Jogjakarta, Tommy hadir membawa kisah tentang masa vakum PPMI di Jogja waktu itu. Ia bersama teman-temannya menghidupkan kembali api organisasi itu. Ia juga bercerita aktivitasnya di Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jogja dan di situs berita lingkungan hidup “Mongabay sebagai wartawan sekaligus aktivis.

Tapi, bukan itu yang selalu saya ingat. Tubuhnya yang gempal menipu kami. Ia ternyata gesit menggiring bola dalam permainan futsal di penutup acara itu. Bahkan berkali-kali membuat goal. Sebagai penghobi bola berbadan ramping, saya seharusnya lebih gesit. Tetapi, bisa kuat berlari selama 10 menit saja sudah istimewa. “Nafasmu kaya akan nikotin,” katanya mengomentari kepayahan saya berlari.

Kesamaan visi dan jaringan perkawanan bikin kualitas hubungan kami, meski baru seumur jagung, serasa bermutu. Apalagi sama-sama tumbuh dalam lingkungan persma yang ikatan persaudaraannya rekat bagai prangko meski lahir di generasi yang berbeda.

Teman-temannya di AJI di Jogja mengakui kegesitannya. Ia gila kerja, terutama saat memerjuangkan kemerdekaan pers sebagai Ketua Divisi Advokasi dan tak berapa lama kemudian beralih ketua. Kegiatan yang sangat dekat dengan disiplin hukum yang dipelajarinya di UII.

Tommy pernah berkunjung di sanggar kami Omah Dongeng Marwah (ODM) dua kali. Pertama saat pertemuan perdana alumni ex pegiat persma seluruh Indonesia. Kedua, saat kami bersama para pendamping desa menyusun kegiatan pengembangan desa.

Sejak itu kami intens berkomunikasi. Bukan di media pers yang dulu menjadi rahim kami lahir, melainkan di dunia pendampingan masyarakat desa. Saat meliput masyarakat Samin di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Pati, pasca pendirian pabrik semen yang tertunda, ia tak lupa berkirim kabar. Tanda ia tak jadi mampir. Padahal jarak lokasi ini dari tempat saya hanya satu jam.

Tulisan yang menggambarkan sikap kritisnya dalam setiap peliputan kasus lingkungan ia post di forum “Desa Mandiri tanpa Korupsi” (DMtK). Forum ini dibentuk awalnya sebagai group whatsapp oleh Kang Bahruddin (Qoryah Thoyyibah). Berisi kumpulan bekas aktivis kawakan dan muda Indonesia juga beberapa menteri dan pejabat yang concern pembangunan desa. Pilihan mendampingi masyarakat desa adalah jalan pengabdian yang teramat sunyi.

Jalan lebih sunyi ia pilih ketika dengan geram memutuskan keluar dari forum itu oleh kekecewaannya terhadap sikap politik penguasa. Di forum yang anggotanya sebagian besar pendukung kritis Jokowi, itu tak banyak berbuat untuk kasus penggusuran penduduk dalam proyek perluasan Bandara Adisucipto, Jogja. Sengketa tanah yang ia bela bukan saja sebagai wartawan, juga aktivis.

Saya membaca berita di media, penduduk luka-luka memertahankan tanahnya. Ada yang ditangkap dan dilepaskan kembali. Sambil membaca itu diam-diam saya mencemaskannya. Tetapi, saya tak menemukan namanya di antara berita itu. Sejak itu saya tak lagi mendengar kabarnya, sampai seorang teman alumni persma mengabarkan ia koma dan dijemput ajal setelah itu. Februari yang kelam untuk aktivis yang sepi kita temui di zaman ini. Se-sunyi pilihan hidupnya.

Salam dongeng!

BERIKAN KOMENTAR

POPULER SEPEKAN

Ada anekdot yang pernah penulis baca, tersebutlah seorang remaja di beri tantangan untuk menghasilkan uang dari sebuah lahan sawah, dengan...

Tahun lalu 2015 adalah tahun pertama saya mulai rutin olah raga berlari. Sebeneranya memilih olah raga lari ini bukan keinginan sendiri,...

Herodotus berusaha memahami apa yang telah terjadi, mengapa hal itu terjadi dan secara eksplisit dia mengenali bahwa untuk memafhumi peristiwa, orang tak perlu melihat kepada mitos-mitos Yunani atau karya-karya Homer.

Bagi orang yang pernah berkecimpung di dunia gerakan, maka kondisi hari ini patut menjadi refleksi bersama, terlebih statement salah satu...

Sebuah bidal menyebutkan, siapa tersentuh cinta maka mendadak ia bisa menjadi penyair. Tak menutup kemunginan juga menjadi seorang fotografer. Lantas apa jadinya jika sajak dan foto dikawinkan? Lukisan Cina kuno membuka jalan penafsiran puisifoto itu.