Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 memang sudah berlangsung 17 April lalu. Rasanya menanti tanggal 17 April 2019 bagi banyak orang Indonesia, sungguh penantian panjang. Bukan saja kita sebagai warganegara Indonesia seakan terbelah menjadi golongan Kampret dan Cebong, tetapi juga konsekuensi menjadi dua hewan ‘jadi-jadian’ itu membuat kita lelah lahir dan batin.
Hewan ‘jadi-jadian’? Tentu saja, karena hewan itu tak pernah ada secara nyata berseliweran di dunia maya, tetapi dua hewan ini diusung untuk merepresentasikan karakter pendukung masing-masing pasangan calon (Paslon) Presiden. Media sosial menjadi riuh tanpa jeda dengan humor hingga satir yang tak jauh-jauh dari Kampret dan Cebong.
Humor dan satir pada masa di luar urusan Pilpres, seharusnya memancing tawa. Humor adalah fenomena Bahasa yang memain-mainkan bahkan menjungkirkan logika hingga memancing tawa. Sedangkan satir adalah penggunaan humor, ironi, pelebih-lebihan fakta, atau kekonyolan untuk mengekspos atau mengkritisi kebodohan orang lain, yang umumnya berkelindan dengan konteks polititik atau isu topical tertentu. Dalam situasi normal, humor maupun satir seharusnya memicu tawa dan kegembiraan. Namun, situasi tegang dan panas jelang Pilpres kemarin memaksa beberapa pihak, menjadi mudah marah, tersinggung, bahkan saling lapor pada pihak berwenang.
Saya jadi tergelitik, jika Raden Ajeng Kartini, Sang revolusioner sekaligus visioner itu hidup di rezim pascakebenaran seperti sekarang, akankah dia kehilangan daya humornya dan akan larut arus seperti beberapa Emak-emak yang tertangkap aktif menyebarkan hoaks? Akankah dia menjadi bagian yang membincangkan hal-hal hoaks dalam perjumpaannya dengan Ibu-ibu arisan kompleks, ibu-ibu wali siswa, Emak-emak yang ketika naik motor menyalakan lampu sein kiri tetapi ternyata belok kanan?
Ada satu kutipan Kartini yang cukup humoris, yang mungkin belum banyak dibicarakan adalah: “Saat membiacarakan orang lain, Anda boleh saja menambahkan bumbu, tapi pastikan bumbu yang baik.” Kartini mengingatkan untuk bersikap proporsional ketika menyangkut pihak lain. Proporsional dapat diartikan sebagai sikap yang sebanding, seimbang, berimbang. Kalau masakan terlalu banyak bumbu maka masakan jadi tidak sedap dan tidak enak dinikmati. Pun saat membincangkan pihak lain. Penambahan informasi yang tak sesuai, mengada-ada, melebih-lebihkan, bahkan sama sekali berbeda dengan faktanya adalah hal yang dia tentang. Artinya, Kartini mengingatkan untuk menjauhi hoaks.
Humor dan hoaks dalam konteks Bahasa merupakan permainan logika. Bedanya, humor membawa kegembiraan bagi para pihak yang terlibat, melepaskan tensi ketegangan, pun memungkinkan seseorang menyampaikan kritiknya kepada pihak lain tanpa membuat tersinggung. Hoaks yang dikonsumsi tanpa penapisan dan keterampilan mengolah informasi yang memadai dari penerimanya, menjadi bencana.
Fanatisme menyuburkan perilaku mengelola informasi tanpa verifikasi dan menjadi pupuk yang mempercepat distribusi hoaks. Betapa Kartini sudah memperingati kita untuk: “Lebih banyak kita maklum, lebih kurang rasa dendam dalam hati kita. Semakin adil pertimbangan kita dan semakin kokoh dasar rasa kasih sayang. Tiada mendendam, itulah bahagia”. Adil dan berlatih untuk menimbang segala sesuatu sebelum melakukan tindakan adalah praktik baik yang bisa dilakukan tanpa menunggu fatwa bahwa menyebarkan hoaks adalah perbuatan yang dilarang agama manapun. Perang dan kerusuhan dapat terjadi karena hoaks.
Hoaks atau kabar bohong menyulut kerusuhan dan perang nyata adanya. Pada 1889, adalah William Hearst, pengusaha pemilik surat kabar Morning Journal di Amerika Serikat, menyebarkan kabar bohong bahwa salah seorang serdadu Spanyol menelanjangi perempuan Amerika Serikat. Akibatnya, terjadilah perang antara Spanyol dan Amerika Serikat yang meningkatkan oplah surat kabar tersebut. Kabar bohong tetaplah kabar bohong yang tak membawa manfaat kegembiraan apapun.
Kartini membawa pesan untuk terbiasa awas terhadap apapun yang ada di sekeliling kita, tak cepat-cepat menghakimi orang lain atas dasar informasi yang belum jelas kebenarannya. Tak ada untung yang dapat diraih dari hoaks kecuali lepasnya kesadaran kita sebagai individu yang tak hanya hidup untuk diri sendiri.
Kalau Emak-emak yang hari ini memilih terus bergumul dalam kebencian akibat hoaks yang terus menerus diproduksi dan didistribusikan, tak kembali membaca pesan Kartini untuk adil dan menimbang segala sisi sebelum bertindak, maka tak usahlah repot berkebaya dan berkain panjang untuk merayakan Hari Kartini, pun melakukan selebrasi seremonial lainnya. Kartini tak butuh selebrasi seremonial.
Indonesia bahkan masih bernama Hindia Belanda ketika Kartini membaca nasib perempuan pada zamannya. Dia juga tak berbekal ponsel pintar atau gawai canggih yang membuatnya bisa berselancar di dunia maya tanpa batas, seperti kita hari ini. Namun gagasannya memberdayakan kita yang hidup hari ini dan memampukan kita meneroka Indonesia masa depan.
Tidakkah kemewahan berupa negeri merdeka yang tanahnya kita pijak hari ini, yang tak pernah lagi dijejak Kartini, tak boleh koyak bahkan oleh satu kabar bohong sekalipun? Tundukkan hoaks hari ini juga!
