Saya mengenalnya 10 tahun silam. Ketika itu dia masih perempuan muda lugu, setidaknya menurut penglihatan saya. Sepeda roda dua berkeranjang setia menemaninya menyusuri Kota Yogyakarta. Bicaranya sedikit, tak banyak, saya pernah menduga dia tidak akan bertahan lama di padepokan tempat kami belajar bersama. Tapi saya salah duga. Dia tangguh. Bahkan lebih tangguh dari yang saya duga.
Kendati saya mengenalnya 10 tahun silam, tapi saya baru tahu siapa dia dari dekat tiga tahun terakhir. Dari situlah saya tahu dia perempuan tangguh, tak salah saya sematkan padanya Kartini Muda.
Sekitar Oktober 2014 dia pamit untuk pergi ke pedalaman Jambi, ia ingin mengajar anak-anak rimba di sana. Sebagai teman runtang-runtungnya setelah saya memutuskan untuk meninggalkan Ibu Kota, jujur saya kehilangan. Tapi saya percaya pilihannya tak salah.
Ya, namanya Tri Astuti. Kami biasa memanggil dia Tuti. Teman sebayanya menjuluki dia gadis yang beruntung. Barangkali sewaktu kecil, dia adalah orang yang pernah mendapat huruf N di bungkus permen karet YOSAN.

Di pedalaman Jambi dia mengajar anak-anak rimba. Dalam sebulan, tiga minggu dia habiskan di dalam rimba. Sementara sepekan sisanya, dia kembali ke Bangko, kota terdekat dari rimba, untuk menyusun laporan serta mengambil logistik dan lainnya. Bukan perkara mudah bagi Tuti untuk memutuskan pergi ke pedalaman dan mengabdi di sana. Apalagi segalanya serba terbatas dan fasilitas yang ada tentu tak selengkap di kota besar.
Setahun di Jambi, Tuti memilih tak meneruskan kontraknya. Bukan karena jenuh, tapi karena panggilan orangtua yang membuat Tuti harus meninggalkan rimba. Saya tahu berat untuk dia meninggalkan rimba, apalagi hutan dan anak-anak itu banyak memberinya pelajaran.
Tak sampai enam bulan Tuti pulang, dia kembali blusukan. Kali ini tak sampai ke pedalaman Jambi. Dia meneruskan pengabdiannya di dusun Sumber Candik, tepatnya di lereng gunung Argopuro di Jember, Jawa Timur. Lagi-lagi dia mengajar mereka yang tak tersentuh pendidikan formal.

Tuti bukan satu-satunya. Saya tahu ada banyak perempuan muda yang memutuskan untuk mengabdi di pedalaman Indonesia. Bukan untuk jalan-jalan, selfie, lalu upload di media sosial. Bukan, bukan untuk eksistensi diri tapi benar-benar untuk mengabdi dan mengajar mereka yang membutuhkan dan tak terjangkau oleh pendidikan formal yang digadang-gadang pemerintah.
Saya yakin di dalam diri mereka bukan hal mudah untuk memutuskan mblusuk ke pedalaman Indonesia. Apalagi zaman sekarang, ketika banyak orang memimpikan kerja di kota besar dengan fasilitas yang memadai, ruang ac, pakaian rapi, dan wangi. Mereka justru memilih sebaliknya, tinggal di pedalaman dan tentu saja beragam risiko yang harus mereka tanggung. Tak semua orang berani ambil risiko dan pilihan seperti ini. Bayangkan saja kita-kita yang tinggal di kota, sinyal hilang sedikit sudah menggerutu bahkan ketika lampu padam pun, memilih untuk memaki PLN.
Tak hanya itu, kesehatan mereka pun jadi taruhannya. Rentan penyakit padahal pelayanan kesehatan yang tersedia belum tentu memadai. Makanan alakadarnya, membuat mereka harus belajar bersahabat dengan alam. Jauh dari sinyal, harus menanti waktu untuk bisa berkomunikasi dengan keluarga dan orang-orang tercinta. Tuti adalah salah satu contoh, saya yakin dan percaya masih banyak perempuan-perempuan muda yang rela mblusuk tak sekadar untuk foto dan diunggah ke media sosial. Inilah potret Kartini masa kini, yang punya kontribusi besar membangun negeri ini.
Tentang penulis

Fadila Fikriani Armadita. Jurnalis dan penulis. Alumni pers mahasiswa Ekspresi, Yogyakarta.