aku rakyatmu, hidup di delapan penjuru/kau tak bisa menangkapku, karena kau tak mengenalku/kau tak bisa mendengarkan aku, karena kau terus berbicara dengan mulut senapan/pembantaian-pembantaian dan pembantaian, mayat-mayat bergelimpangan, mayat-mayat disembunyikan/kau tak bisa menguburkan aku, kau tak bisa menyembuhkan lukaku, karena kau tak kenal aku, karena kau terus berbicara, berbicara dan berbicara, dengan tembakan, ancaman dan penjaran” (Ketika Datang Malam/Wiji Thukul)
Ungkapan bahwa demokrasi memberikan tempat bagi kita belajar hidup bersama musuh, karena hanya demokrasi yang memungkinkan ketegangan dan paradoks yang bersumber dari kebebasan, terjadi di masyarakat. Selama 32 tahun masa Orde Baru, semua ditiarapkan. Kebebasan berpendapat, berkumpul dan berasosiasi dibatasi. Setelah reformasi bergulir, kita melihat gelagat itu mengalami arus balik. Kita sadari kebebasan tersebut akan melahirkan ketegangan, relasi antara elemen rakyat satu dengan yang lain, atau antara negara dengan elemen rakyat tersebut. Perbedaan kepentingan berbenturan dalam mengatur tatanan sosial dan politik. Kita menyaksikan paradoks yang bersumber dari kebebasan itu. Terlebih, banyak cara yang dilakukan, baik oleh aparat negara maupun ormas, dalam pemperjuangkan keyakinannya kerap kali bertentangan dengan demokrasi.
Keterbatasan demokrasi ada pada fasilitas konsensus yang ia sediakan. Demokrasi memang hanya mengolah kebebasan politik di antara mereka yang berkonsensus. Bahkan hanya diwakilkan pada segelintir orang melalui sistem perwakilan politik.
Menurut Rocky Gerung, “Demokrasi memerlukan radikalisasi secara terus-menerus. Bukan saja ia harus melayani berbagai aspirasi politik baru (misalnya: multikulturalisme, feminisme, environmentalisme), tetapi terlebih dahulu harus mengaktifkan rasio publik agar kondisi falibilisnya tidak berhenti. Dengan kata lain, demi memelihara “kesementaraan kebenaran”, ia harus bermanuver dalam “berbagai konsensus” dan menjaganya agar terus berada dalam kondisi argumentatif. Jadi tidak cukup mengatakan bahwa demokrasi hanya dapat diselenggarakan dalam sebuah masyarakat yang argumentatif, karena justru demokrasi diperlukan untuk mengedarkan argumen dalam masyarakat yang konservatif, masyarakat doktrinal. Keperluan itu adalah keperluan radikal bagi humanisme, yaitu penerimaan falibilitas manusia.”
Berdasarkan hal itu, formula demokrasi yang sedang dijalankan, untuk tidak mengatakan diuji coba, patut terus dikawal, dikritisi, agar lompatan besar negara tidak hanya gombal dan paradoks. Jika kita tak mampu terus mendewasakan sikap dalam merawat kebhinekaan, dan tak mampu mengidentifikasi “musuh demokrasi”, merujuk pada pihak yang (membiarkan pihak lain) menggunakan teror dan kekerasan untuk mencapai tujuannya, maka tamatlah riwayat “berbeda tapi satu” itu. Adopsi keterbukaan sebagai sebuah nilai yang mempunyai arti luas, tidak sekadar memberi ruang kepada hak kebebasan individu secara luas, tetapi maju satu langkah lagi ke depan, dan secara nyata membuka proses-proses perdebatan di dalam pemerintah itu sendiri, ke depan mata dan telinga masyarakat. Dalam budaya keterbukaan sejati, aturan lumrah yang berlaku adalah pemerintah tidak melangsungkan urusannya di belakang, di pintu-pintu tertutup. Secara rutin, proses-proses legislatif, administratif dan hukum haruslah dibuka untuk publik.
Inilah yang dirumuskan Jokowi, negara dituntut terus hadir, terus memberi pengayoman, bukan menebar teror yang tidak perlu. Dalam bahasa Buya Safi’i Maarif, “Tindakan aparat TNI dan Polri merazia atribut dan buku yang dianggap mengandung unsur komunisme atau Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah langkah berlebihan. Kalau diklaim untuk mencegah kebangkitan PKI di Indonesia, tentu kekhawatiran yang berlebihan. Dia bahkan menyebut tindakan itu semacam ‘kegenitan’ yang tak berdasar.”
Vigilantisme, Belajar Hidup Dengan Musuh Demokrasi
Membiarkan kelompok masyarakat yang terbukti menyebarkan teror dan melakukan kekerasan, seperti membubarkan diskusi, menyegel tempat ibadah kelompok minoritas, dan lain sebagainya, menunjukkan bahwa mereka termasuk pelaku vigilantisme. Karenanya kelompok vigilante terbukti melanggar hukum dengan main hakim sendiri demi menegakkan nilai dan prinsip moral yang mereka anggap paling benar. Vigilantisme, menurut H. Jon Rosenbaum dan Sederberg Peter C, seperti yang disebutkan Titik Firawati dalam buku kumpulan artikel berjudul Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia (PUSAD Paramadina, 2015: 105), “…. ringkasnya adalah “main hakim sendiri.” Namun, jika ditarik dari fenomena khusus, vigilantisme tak lain adalah establishment violence, meliputi tindakan atau ancaman paksaan yang melanggar batas tatanan sosiopolitik, tetapi dimaksudkan oleh pelanggarnya untuk mempertahankan tatanan itu sendiri dari subversi. Karena itu, vigilantisme kebanyakan lebih inklusif ketimbang summary “justice” oleh massa yang marah terhadap unsur-unsur “kriminal”.”
Vigilantisme, yang dilakukan individu maupun kelompok, dikategorikan menjadi tiga tipe. Pertama, crime control vigilantism. Tipe ini menyasar mereka yang dianggap pelanggar hukum. Korban dituduh mencuri atau melakukan kriminalitas lainnya. Kedua, social group control vigilantisme, tipe kekerasan yang menyasar kelompok-kelompok yang memperebutkan atau menuntut redistribusi nilai dalam sebuah sistem. Korban berdasarkan pada karakteristik agama, etnis, ras, suku, kasta, preferensi seksual, ekonomi dan politik. Ketiga, regime control vigilantism, yang menyasar rezim melalui aksi pembunuhan politik dan kudeta.
Membaca realitas akhir-akhir ini, saya mengambil kesimpulan bahwa berdasarkan ketiga tipe tersebut, kekerasan, dan pemberangusan buku termasuk tipe crime control vigilantism, sekaligus social group control vigilantism. Jika ini tidak dihentikan, atau dicarikan solusinya, kita khawatir negara akan berpihak atau kerjasama dengan kelompok vigilante, seperti dengan membiarkan kelompok atau aliansi tersebut melakukan pemberangusan terhadap kebebasan bereskpresi. Intimidasi dan pembubaran diskusi publik, festival seni budaya, pemutaran film, teater, hingga penyerbuan organisasi massa intoleran ke dalam lingkungan kampus akan menimbulkan apatisme rakyat, keresahan dan kegaduhan yang sebenarnya tidak perlu. Apalagi jika pembubaran ormas intoleran oleh pemerintah hanya selesai pada tataran wacana. Bahkan menurut Titik, fakta bahwa kelompok-kelompok vigilante selalu menjadi bagian dari cara bangsa Indonesia mengatur keamanannya di tengah demokrasi yang dipercaya menjamin kebebasan seseorang atau kelompok untuk berasosiasi. Konsekuensinya, membubarkan ormas dengan segala macam alasan, termasuk karena ormas yang bersangkutan intoleran, berarti bertentangan dengan pemahaman dan keyakinan kita terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Ini adalah apa yang kita sebut belajar hidup dengan musuh demokrasi Indonesia. Inilah sisi gelap demokrasi itu, kawan.
Saya setuju dengan pendapat Titik, bahwa, “Pada situasi dilematis ketika berurusan dengan masalah vigilantisme: memusnahkan kelompok vigilante berarti melanggar prinsip demokrasi; tetapi membiarkannya hidup terasa seperti kerikil di dalam sepatu demokrasi. Meski demikian, saya kira kita bisa menyepakati satu fakta bahwa yang membuatnya terasa seperti kerikil itu karena perilaku kekerasannya, bukan eksistensinya sebagai satu kelompok yang sama-sama memiliki hak hidup dalam demokrasi. Menerima keberadaan mereka sebagai fakta adalah penting. Tapi, jauh lebih penting, lembaga tinggi negara lokal beraksi melawan kekerasan vigilantisme: aparat pemerintah/kepolisian mencegah kekerasan, parlemen mengawasi dengan seksama, dan pengadilan menegakkan keadilan serta MA melakukan pengawasan internal terhadap kinerja institusi hukum di bawahnya. Bila mekanisme demokrasi ini tidak berjalan, media massa dan masyarakat menjadi benteng pengawasan terakhir. Beginilah sekiranya demokrasi mengajari kita hidup berdampingan dengan musuh.” Karena konsensus dan pelembagaan demokrasi politik kita belum melahirkan etika toleransi dan penegakan hukum yang setara.
Tentang penulis:
Rama Prambudhi Dikimara. Alumnus LPM Pendapa, Yogyakarta, founder Dewantara Institute, Kolektor Buku.