Sebelum kita persaksikan tentang maklumat/pernyataan sikap dari beberapa kota yang menolak pemberangusan buku dan terkait masalah kebangkitan hantu komunisme, kita baca pendapat tokoh publik atas masalah ini. Ini menjadi penting karena betapa pemberangusan ini sangat mengkhawatirkan banyak kalangan, karena banyak pihak tidak berharap cara kekerasan nan fasis diberikan ruang tanpa perlawanan. Terdokumentasi di antaranya pernyataan-pernyataan berikut.
- Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafi’i Maarif: “(kekhawatiran) komunisme atau PKI bangkit lagi, itu politik agak kegenitan. Enggak lagilah,” kata Syafii dalam forum Indonesia Lawyers Club di tvOne pada Selasa malam, 17 Mei 2016. Dia memahami bahwa memang ada hukum yang melarang penyebarluasan ajaran komunisme di Indonesia, yakni Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Pasal 107 KUHP. Dia tak menyoal jika konteksnya adalah penegakan hukum. Tetapi tak relevan lagi kalau muncul kekhawatiran kebangkitan komunisme. Syafi’i mengingatkan bahwa komunisme sudah usang, hampir tak ada lagi orang menganut paham itu, tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di dunia. Kekhawatiran terhadap komunisme seperti situasi pada 25 tahun atau 30 tahun lalu.
- Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo: Dewan Pers menilai aparat Kepolisian multitafsir dalam penanganan isu komunis beberapa saat terakhir. Sejumlah razia dan penyitaan dilakukan terhadap berbagai benda dengan gambar palu dan arit, yang diasosiasikan sebagai lambang partai komunis. Padahal, penyitaan seharusnya berdasarkan keputusan pengadilan.“Banyak terjadi multitafsir pada aparat dalam penanganan isu komunisme. Aturan dan undang-undang harus memiliki definisi jelas. Jika tidak, yang terjadi adalah pasal karet,” kata Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, ditemui di Malang pada Senin, 16 Mei 2016.
- Ketua IKAPI Daerah Istimewa Yogyakarta Akhmad Fikri A.F., Minggu, 15 Mei 2016: Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menolak razia atau sweepingbuku, baik pada tingkat penerbit, percetakan, maupun pengecer di toko-toko buku. Terutama yang ditolak adalah razia buku yang dianggap oleh sekelompok orang memuat paham kiri. “Yang merazia atau sweeping buku itu justru tidak Pancasilais,”
- dosen Ilmu Politik Fisip Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi: maraknya razia buku berbau PKI hanya merupakan cara bagi sejumlah elite TNI untuk mencari panggung. Sebab, menurutnya, ada beberapa orang yang ingin kembali tampil di panggung politik. “Mereka ini sudah lama menantikan momentum seperti ini, karena sebelum-sebelumnya tidak ada kesempatan untuk tampil,” “Jelas yang seperti itu tidak bisa dijadikan dalih untuk melakukan sweepingbuku-buku berbau kiri, karena hal itu menunjukkan jika aparat negara miskin imajinasi dalam mencari solusi,” Presiden Joko Widodo cenderung mengambil sikap tidak tegas dalam persoalan tersebut. Karena, hanya meminta aparat TNI agar tidak melakukan tindakan represif. “Padahal, Jokowi seharusnya mengambil sikap yang lebih tegas. Misalnya dengan memecat setiap anggota TNI yang nekat melakukan sweeping buku-buku tersebut,”
- Ketua lembaga pemerhati hak asasi manusia Setara Institute, Hendardi dalam keterangan pers, Minggu (15/5).: sikap Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu terkait atribut palu dan arit serta buku-buku ideologi komunisme akan berdampak negatif bagi kondisi sosial-politik. “Tindakannya bertentangan dengan nalar publik, mengancam kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi dan ilmu pengetahuan,” Presiden Joko Widodo, kata Hendardi, seharusnya menegur Ryamizard yang justru menimbulkan kegaduhan dan kecemasan masyarakat dengan tindakannya.
- Sekretaris Kabinet Pramono Anung: “Aparat akting berlebihan apabila sweeping. Zaman demokrasi tidak ada sweeping,” Indonesia menjunjung tinggi sistem demokrasi. “Pada intinya bahwa Presiden sungguh sangat menghormati kebebasan pers dan kebebasan akademik. Karena, ini substansi dari negara demokrasi,” Atas dasar kebebasan itu, jelas Pramono, Presiden Jokowi telah menginstruksikan Kapolri dan Panglima TNI untuk tidak overacting. Sebab, kebebasan akademik juga harus dihargai.”Maka, tidak bisa kemudian polisi dan juga termasuk aparat TNI ituoveractingberlebihan melakukan sweeping, ndak bisa ini negara demokrasi,”
- Anton Kurnia (Penulis) dan Ronny Agustinus dari penerbit buku Marjin Kiri: “Apa yang dilakukan polisi dan tentara itu melawan hukum karena mereka tidak punya kewenangan untuk menyita dan melakukan perampasan,” razia dan pemberangusan buku telah kebablasan dan melanggar konstitusi. Menurutnya, aparat keamanan tak memiliki alasan dan dasar hukum dalam memberangus buku.
- Goenawan Mohamad: penyitaan buku pada era sekarang merupakan kebodohan. Jika buku diberangus, maka masyarakat toh masih bisa membacanya melalui internet. “Apa tujuan kebodohan ini kalau bukan untuk membangkitkan fobia komunis dan ketakutan pada ketidakamanan,” Pemberangusan buku, menurut Goenawan, ialah bentuk nyata bahwa pemerintah ingin mengembalikan kekuatan aparat keamanan dalam mengontrol masyarakat.
- Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta, Irawan Karseno, mengatakan kejadian ini merupakan kemunduran dari perjuangan Reformasi 1998. Meski demikian, ia tetap mendorong kemajuan demokrasi agar bangsa lebih maju dan pintar berbasis nalar. “Dalam persaingan kuktural dan kreatif, rasanya fenomena terakhir ini (pemberangusan buku) menurut saya absurd,”
- Masinton Pasaribu (anggota Komisi III DPR RI): Dulu, rezim Orde Baru anti terhadap pikiran yang berbeda dan memberangusnya,” gagasan harus dilawan dengan gagasan, bukan dengan pembungkaman. Ia meminta aparat negara tidak meniru apa yang dilakukan di masa Presiden Soeharto itu. “Delapan belas tahun perjalanan reformasi, langkah aparatur negara tak boleh mundur seperti masa Orde Baru. Pikiran tak bisa dipenjarakan. Ini bukan soal komunis atau bukan. Ini soal hak sipil politik. Bahwa perbedaan itu hak,”
- Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar: menyayangkan sikap Presiden Jokowi yang menyatakan perlu penegakan hukum atas komunisme. , pernyataan ini bisa dijadikan alat pembenar bagi siapa pun di daerah atau di lapangan untuk saling tuduh dan berujung konflik atau kekerasan. “Atas nama komunisme, seseorang atau kelompok tertentu bisa melakukan main hakim sendiri,” ujar Haris melalui keterangan tertulisnya kepada com, Kamis (12/5/2016). Lebih lanjut, Haris menuturkan bahwa maraknya operasi anti-komunisme atau anti-PKI merupakan rekayasa dan tindakan yang berlebihan. Operasi ini, kata dia, terjadi akibat kegamangan pemerintahan Jokowi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat.
- Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi: Presiden Jokowi meminta aparat juga memperhatikan hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat soal penindakan hal-hal berbau komunisme. instruksi Presiden itu menyusul banyaknya masukan dari bermacam pihak tentang penindakan hal-hal berbau komunis oleh aparat, baik Polri maupun TNI. “Beberapa waktu lalu ada masukan kepada Presiden seolah-olah apa yang dilakukan aparat di tingkat bawah dianggap kebablasan.”
- Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat di Jakarta, Kamis (12/5/2016): Komnas HAM menganggap tindakan polisi menertibkan atribut PKI dan kegiatan yang dianggap menyebarkan paham komunis sebagai sesuatu yang berlebihan, “Kalau cuma ekspresi berkumpul, orang menggunakan simbol PKI sebagai candaan, ya terlampau berlebihan kalau ada penindakan hukumnya.” Semestinya ada proses penyelidikan dan pengembangan informasi jika ingin membubarkan suatu acara atau menangkap orang yang menjual benda-benda tersebut. “Didatangi dulu, di-approach, diberi penjelasan, dan kemudian dilepaskan. Tidak harus kemudian diproses,” katanya.
Untuk menilai keseriusan para Aktivis Literasi dan KontraS, saya naikan pernyataan dari bebeapa kota dan lembaga tersebut selengkapnya. Ini adalah kerja kultural yang terorganisir sebagai respon atas pemberangusan buku beberapa pekan lalu.
- Di Jakarta, 13 Mei 2016 Aliansi Aktivis Literasi mengeluarkan Pernyataan Aliansi Aktivis Literasi Menolak Pemberangusan Buku #StopBerangusBuku, berikut selengkapnya:
[Setiap 17 Mei kita memperingati Hari Buku Nasional. Namun, ironisnya, belakangan ini razia dan pemberangusan buku serta pembubaran diskusi publik dengan alasan mencegah kebangkitan komunisme dan berdirinya kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh aparat polisi, militer, dan organisasi massa makin marak dan membabi buta. Perlu diingat, pada 13 Oktober 2010 Mahkamah Konstitusi lewat putusan Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 telah membatalkan UU No. 4/PNPS/1963 yang kerap dijadikan dasar bagi kejaksaan dalam membredel buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Kejaksaan baru bisa menyita buku atau barang cetakan lain jika telah mendapat izin dari pengadilan. Dengan demikian, aparat kepolisian atau militer, apalagi organisasi massa, tak punya hak untuk melakukan razia dan pemberangusan buku. Dalam menjaga ketertiban umum, aparat keamanan harus bekerja secara profesional dan berkeadilan dengan menghormati hukum, prinsip demokrasi, dan hak asasi manusia. Sebagai penulis, pembaca, penerbit, dan aktivis literasi, kami menolak dan mengutuk aksi-aksi inkonstitusional tersebut. Tugas negara dan pemerintah adalah mencerdaskan bangsa, termasuk melalui dunia literasi dan perbukuan. Pemerintah seharusnya memberi akses terhadap rakyat untuk mendapatkan buku secara lebih mudah dan murah, termasuk dengan membebaskan pajak yang membebani konsumen, bukan memberangus bibit-bibit persemaian intelektual dengan melarang, merazia, dan memberangus buku. Maka, kami menyerukan beberapa hal:
- Aparat polisi dan militer segera menghentikan razia dan pemberangusan buku di berbagai kota.
- Pemerintah bersungguh-sungguh melindungi hak-hak warga negara untuk mengakses dan membaca buku serta melakukan diskusi publik yang mencerdaskan tanpa dihalang-halangi.
- Para pemangku kepentingan (stake holder) perbukuan nasional seperti penulis, penerbit, penerjemah, penyunting, toko buku, pembaca, aktivis literasi, dan masyarakat luas hendaknya bersatu menolak pemberangusan buku.]
- Bertempat di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta pada Selasa (17/5), perwakilan MLY Muhidin M. Dahlan membacakan ketujuh Maklumat Buku itu:
- Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat di hadapan orang banyak lewat berbagai media, termasuk persamuan seni-budaya dan penerbitan buku, adalah amanat Reformasi dan Konstitusi yang mesti dijaga dan dirawat bersama dalam kerangka kebhinekaan sebagai bangsa.
- Setiap perselisihan pendapat atas pikiran yang berbeda hendaknya diselesaikan dengan jalan dialog dan/atau mimbar-mimbar perdebatan untuk memperkaya khasanah pengetahuan dan keilmuan.
- Segala bentuk pelarangan atas penerbitan buku dan produk-produk akal budi seyogianya dilakukan pihak-pihak yang berwenang atas seizin pengadilan sebagaimana diatur oleh hukum perundangan yang berlaku dengan mengedapankan aspek penghormatan pada hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan. Prosedur hukum yang dimaksud salah satunya seperti termaktub dalam Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pelarangan Buku Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.
- Mendesak kepada lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk membuka secara bebas arsip-arsip negara yang terkait dengan tragedi 1965 dan pelanggaran HAM berat lainnya sebagai bagian dari upaya kita belajar dan memperkaya khasanah pengetahuan kesejarahan.
- Mendorong pemerintah, baik pusat dan daerah, menciptakan iklim perbukuan yang sehat, kompetitif, dan memberi perlindungan pada kerja penerbitan, diskusi buku, dan gerakan literasi yang inovatif sebagaimana diamanatkan preambule UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
- Asas, kerja umum, dan kegiatan harian ekosistem perbukuan membutuhkan aturan main yang jelas dan mengikat semua ekosistem yang bernaung di dalamnya. Oleh karena itu, mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk menggodok dan segera mengesahkan UU Sistem Perbukuan Nasional yang demokratis.
- Mendesak Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sebagai salah satu dari asosiasi penerbit buku yang menjadi mitra pemerintah dan sudah berpengalaman dalam sejarah panjang perbukuan nasional senantiasa mengambil peran yang signifikan dan aktif-responsif untuk membangun komunikasi yang sehat dengan elemen-elemen masyarakat yang plural.
- Di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung Tanggal 17 Mei 2016.
Pegilat Literasi, seniman, aktivis budaya, pelaku komitas kreatif Kota Bandung mengeluarkan PERNYATAAN SIKAP BANDUNG yang ditandatangi tidak kurang dari 150 orang atas nama lembaga atau perseorangan. Berikut pernyataan lengkapnya.
[Bagi rakyat Indonesia, Bulan Mei bukan hanya sekadar keterangan waktu. Tetapi juga bermakna sebagai ingatan atas peristiwa penting dalam sejarah pergerakan kebangkitan nasional 1908, juga perubahan besar yang terjadi dengan Reformasi 1998. Dan setiap tahun, tanggal 17 Mei juga ditetapkan sebagai peringatan Hari Buku Nasional. Kebangkitan Nasional 1908, Reformasi 1998, Hari Buku Nasional; ketiganya bermakna sebagai kesatuan menuju budaya demokrasi. Namun, ironisnya pada bulan Mei 2016 inilah terjadi berbagai peristiwa pemberangusan terhadap dunia literasi dan kebebasan berekspresi. Dengan alasan bangkitnya kembali paham Partai Komunis Indonesia (PKI), aparat kepolisian, militer, dan organisasi massa, secara sewenang-wenang melakukan razia dan memberangus buku-buku yang mereka sebut sebagai buku “Kiri”. Perbuatan anti kebudayaan ini senyata-nyatanya telah melanggar Keputusan Mahkamah Kontitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010. Keputusan tersebut telah membatalkan UU No.4/PNPS/1963, yang selalu dijadikan dasar bagi kejaksaan dalam pemberedelan buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Kejaksaan hanya bisa menyita buku dan barang cetakan lain jika telah mendapat izin pengadilan. Maka, mengingat keputusan Mahkamah Keputusan tersebut, aparat kepolisian, militer, terlebih organisani massa, tidak berhak melakukan razia dan memberangus buku. Selain itu, sejak beberapa bulan terakhir, dengan alasan mencegah kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), telah terjadi pula berbagai pemberangusan terhadap kebebasan bereskpresi. Intimidasi dan pembubaran diskusi publik, festival seni budaya, pemutaran film, teater, hingga penyerbuan organisasi massa intoleran ke dalam lingkungan kampus.
Tap MPRS No. XXV Th. 1966 tentang larangan penyebaran paham komunisme yang selalu dijadikan dalih, sesungguhnya telah ditinjau ulang melalui Tap MPR No.1 Th. 2003 melalui Pasal 2 angka 1 yang mengamanatkan tetap adanya “Penghormatan pada prinsip-prinsip keadilan, menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak azasi manusia.” Di Bandung, ini terjadi pada pementasan Monolog Tan Malaka, penangkapan seniman pantomim, dan penyerbuan organisasi massa ke dalam lingkungan kampus Insititut Seni Budaya Indonesia (ISBI). Intimidasi dan pemberangusan kebebasan berekspresi ini tak hanya terjadi di Bandung, tapi juga Jakarta dan Yogjakarta. Terjadi pembiaran aparat kepolisan atas kesewenang-wenangan organisasi massa yang bertindak intoleran tersebut. Atas nama hak-hak kami sebagai warga negara yang dilindungi kontitusi, maka dengan ini, kami pegiat literasi, seniman, aktivis budaya, dan pelaku komunitas kreatif Kota Bandung menyerukan pernyataan:
- Mendesak aparat kepolisan dan militer menghentikan intimidasi dan pemberangusan terhadap buku, diskusi buku, dan aktivitas literasi lainnya;
- Mendesak aparat kepolisan dan militer menghentikan pembiaran atas perbuatan organisasi massa intoleran yang mengancam kebebasan bereskpresi;
- Mendesak kesungguhan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya melaksanakan UUD, demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan budaya demokrasi melalui kehidupan dunia literasi yang sehat, termasuk melindungi hak-hak warga negara dalam kebebasan berekspresi.
- Mendesak para pembesar di jajaran pemerintahan untuk berhenti mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kontra produktif bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, termasuk bagi kelangsungan budaya demokrasi yang sehat;
- Menyerukan pada para pemangku kepentingan dalam perbukuan nasional (para penulis, penerbit, penerjemah, penyunting, penjual buku, pembaca, pegiat literasi) dan masyarakat luas; bersatu menolak pemberangusan buku dan kebebasan berekspresi.]
- Pernyataan Sikap KontraS tentang “Rekayasa Operasi Anti Komunis” Jakarta, 12 Mei 2016 yang ditandatangani Badan Pekerja KontraS Haris Azhar sebagai Koordinator, berikut selengkapnya.
[KontraS mencatat bahwa maraknya operasi anti komunisme atau PKI merupakan rekayasa dan tindakan yang berlebihan. Kami mencatat bahwa apa yang terjadi dalam kurun waktu beberapa hari ini di bulan Mei, terutama pasca Simposium Masalah 1965 dan upaya pendataan kuburan massal peristiwa 1965, merupakan upaya menciptakan “musuh” dan situasi kegentingan atas kebangkitan komunisme atau PKI di berbagai tempat di Indonesia. Tindakan ini sungguh aneh karena PKI, yang merupakan Partai Komunisme Indonesia sudah dibubarkan. Komunisme pun harus dilihat sebagai pengetahuan umum diantara pengetahuan umum lainnya, yang dibaca dan dipelajari sebagai sebuah pengetahuan sosial. Lalu kenapa ada upaya menciptakan ketakutan pada pengetahuan ini? Jadi situasi ini merupakan musuh yang diciptakan. Ketidakwarasan juga terlihat dari tindakan di lapangan yang terjadi dalam beberapa hari ini, ketakutan pada PKI atau komunisme diwujudkan dengan mengamankan, menangkap, menyita atau melarang pemakaian kaos yang ada gambar Palu, Arit, kaos berwarna merah, film yang membahas pelanggaran HAM, intimidasi ke penerbit buku. Semua tindakan ini tidak berhubungan dengan suatu tindak pidana apapun yang sudah terjadi. Situasi ini justru menunjukkan bahwa ada upaya membangun kembali peran intervensi militer di Indonesia untuk masuk merecoki kehidupan sipil demokratis di Indonesia, dimana tentara melakukan intimidasi (penerbit buku Resist di Yogyakarta, 11 Mei 2016), Menangkap seseorang di Ternate, 11 Mei 2016). Apa yang terjadi saat ini adalah sebuah Operasi, bergaya Orde Baru dengan sedikit menggunakan peran teknologi informasi. Operasi ini memiliki pembagian peran:
Pertama, operasi tertutup, propaganda menyebarkan broadcast informasi atribut-atribut “PKI” atau “Komunis” seperti di Palembang beredar berbagai striker PKI. Penyebaran informasi perihal PKI juga banyak beredar di jejaring media sosial yang luas digunakan publik Indonesia seperti Facebook, Twitter, Instagram. Kami melihat ada beberapa motif: (a). Menunjukkan bahwa PKI masih ada, (b). Menyulut rasa ketidaksukaan kelompok sosial lainnya yang cenderung berada di garis konservatif.
Kedua, operasi mobilisasi (kelompok) masyarakat untuk memelihara ketakutan dan perasaan adanya ancaman, sekaligus mendatangi organisasi-organisasi tertentu dan menuduh komunisme.
Ketiga, operasi tertutup ini kemudian menarik para pengambil kebijakan keamanan untuk bertindak restriktif dan represif dengan menekan kelompok-kelompok ekspresi menggunakan hukum secara serampangan. Diketahui bahwa hari ini (12/5) Mabes Polri – Divisi Hukum akan menggelar Focus Group Discussion: Kajian Yuridis Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia dengan mengutip peristiwa pembubaran nonton film Pulau Buru Tanah Air Beta yang diselenggarakan oleh AJI Yogyakarta dan berupaya untuk membenarkan tindakan legal guna melarang ajaran “Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai bahan ajar bagi pimpinan Polri untuk mengambil tindakan hukum.
Sayang sekali, Joko Widodo, sang Presiden, hanya mengamini genderang operasi atau propaganda ini. Joko Widodo menyatakan perlu penegakan hukum atas komunisme. Pernyataan ini bisa dijadikan alat pembenar bagi siapapun di daerah atau di lapangan untuk saling tuduh dan berujung konflik atau kekerasan. Atas nama “komunisme” seseorang atau kelompok tertentu bisa melakukan main hakim sendiri. Operasi ini terjadi akibat kegamangan pemerintahan Joko Widodo dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Ketidakpatuhan hukum oleh Komnas HAM, Jaksa Agung dan Presiden berdampak pada cara-cara penyelesaian yang berpotensi memunculkan atau “sengaja menciptakan” konflik sosial atau operasi tertentu. Operasi seperti ini pernah terjadi beberapa kali sebelumnya di Indonesia, salah satu yang terdekat pada September tahun lalu, 2015. Pada saat itu gencar muncul informasi kebangkitan PKI dan terdapat informasi bahwa Presiden RI Joko Widodo akan “minta maaf” pada PKI. Padahal informasi ini tidak pernah disampaikan secara resmi oleh Presiden ataupun pihak Istana. Menariknya, justru pihak Istana mengetahui siapa yang menghembuskan informasi tersebut, namun tidak bersedia membukanya. Tujuan dari operasi ini pada September lalu, adalah untuk memastikan bahwa Joko Widodo hadir Monumen Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pembatasan praktik ekspresi publik dengan tindakan yang mendahului dan dipenuhi rekayasa ini jelas bertentangan pada komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghormati kebebasan berekspresi yang diatur di dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 23 UU No. 39/1999 tentang HAM. Bagi mereka yang berusaha untuk menolak argumentasi KontraS dan pegiat HAM lainnya, maka akan kerap mengutip Pasal 28J (2) UUD 1945 yang ditafsirkan secara ambigu dan tidak sesuai dengan semangat derogasi hak yang diatur dalam tata hukum nasional dan internasional. Kali ini, tujuan dari operasi dibulan Mei ini adalah untuk menolak rencana pengungkapan kejahatan politik Orde Baru yang militeristik, terutama pasca menguatnya upaya identifikasi kuburan masal. Kedua bertujuan untuk membungkam gerakan kelompok kritis dikalangan masyarakat yang makin menguat membongkar berbagai kejahatan negara, baik dimasa lalu maupun yang kini sedang terjadi. Seperti menuduh upaya advokasi tolak reklamasi sebagai komunis, teror terhadap penerbit buku di Yogyakarta. Semua operasi ini adalah bentuk ketakutan dari mereka yang diuntungkan oleh praktik korup dan militeristik Orde Baru. Kepentingan mereka sedang terganggu oleh kemajuan dan perubahan zaman. Siapa mereka? Kami dari KontraS meyakini bahwa hal ini tidak susah untuk diungkap oleh pihak Istana. Seperti saat September 2015. Presiden harus hentikan operasi-operasi seperti ini. Jika tidak, maka ke depan kita masih akan disuguhi drama anti komunisme, dan “anti-anti lainnya”.]
Kini setelah terfragmentasinya Instruksi Presiden tentang penanganan kebangkitan komunis, dan memperhatikan gelombang protes. Presiden harus mampu menghentikan polemik agar tidak memakan “korban” lebih meluas, dalam bahasa Filsafat Rocky Gerung, “Kita perlu menyelenggarakan demokrasi dengan cara mempertahankan “kesementaraan abadi” dari kebenaran, sambil terus mendorong percakapan publik mempersoalkan ketidakadilan dan kekerasan sosial berdasarkan ukuran-ukuran sejarah dan hak asasi manusia. Ini untuk menjaga ruang percakapan demokratis berlangsung dalam semangat falibilis, dan menghalau semua retorika dogmatis yang dikemas dalam jargon-jargon demokrasi. Dengan itu pula, toleransi, kemajemukan dapat dipertahankan, dan perjuangan untuk keadilan sosial dapat terus dikerjakan.”
Pandangan kritis jangan kembali dibungkam, apalagi buku yang sudah terbukti melahirkan negara bangsa ini lewat pemikiran para pendiri. Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantara dan masih banyak lagi adalah teladan pemimpin yang selalu menyandarkan dirinya pada buku.
Karena seperti dikatakan Romo Frans Magnis-Suseno “membaca betul-betul menjadi surga, tidak hanya memperluas cakrawala, pelepasan emosi dan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan” jadi, bagi para Jenderal sampai Kopral, dari Menteri sampai Polisi jika hendak menjalankan perintah merazia buku, berpikir sembilan puluh sembilan kalilah untuk melakukannya karena satu saja tindakan anda, sama artinya telah mengubur sorga dibawah injakan sepatu larsmu itu.
Dan kenapa bangsa ini terus berkutat dan tak lepas dari banyak masalah? Salah satunya karena sedari awal anak-anak bangsa dibatasi dalam memilih bacaan. Segelintir musuh demokrasi yang fobia terhadap hantu-hantu (komunis) hingga lembar buku ditelikung, mimbar diskusi dihabisi, kian pendek terus sumbu intelektual anak bangsa kita. Ini bahaya!
Saya percaya hantu komunisme, marxisme, atau leninisme hanya akan bangkit jika buku ditutup (diberangus), karena bisa jadi kesesatan jalan berpikir dimulai dari kebodohan, dan melawan kebodohan adalah dengan membaca. Begitu pula dengan kitab suci, seseorang yang khatam dan hapal hingga tafsirnya tidak akan berbahaya, teroris lahir dari kedangkalan ilmu. Dan ormas intoleran sudah jelas lahir juga dari kedangkalan penyandang dana, kedangkalan yang merobek-robek rasa keadilan dan kebhinekaan republik.
Kita masih bisa bangga dengan Universitas Airlangga, di mana Rektornya, Mohammad Nasih, mempersilakan mahasiswanya untuk membaca buku-buku tentang ideologi sosialisme dan komunisme. Karena jelas secara akademis buku-buku itu bermanfaat untuk mahasiswa. Dan negara menjamin kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Inilah hakikat kemerdekaan itu, adil sejak dalam pikiran seperti pesan Pramoedya Ananta Toer.
[SELESAI]
Artikel terakhir dari tiga tulisan.
Tulisan sebelumnya: https://bersatoe.com/2016/05/20/kerikil-rekonsiliasi-dan-buku-sebagai-hantu-1/ dan https://bersatoe.com/2016/05/21/kerikil-rekonsiliasi-dan-buku-sebagai-hantu-komunis/
Tentang penulis
Rama Prambudhi Dikimara. Alumnus LPM Pendapa, Yogyakarta, founder Dewantara Institute, Kolektor Buku.