“mereka menciptakan musuh dan menembaknya sendiri/mereka menciptakan kerusuhan, demi mengamankannya sendiri” (Wiji Thukul – Hujan Malam Ini Turun)

Jika menurut Umberto Eco,  “pada mulanya adalah kata-kata, dan kata-kata itu akan tinggal selamanya pada Allah, jika kata-kata itu tidak dibaca.” Maka pertanyaan selanjutnya manusia seperti apa yang masih bersumbu pendek dengan sikap setuju pada pemberangusan, penghancuran buku (Bibliosida). Sindhunata pernah menyampaikan, “membaca adalah kaki kita, kaki itu membuat kita menyejarah. Namun pertanyaanya: dari mana kita dapat memperoleh kaki yang demikian? Kaki itu tidak turun dari langit, tidak ada dengan sendirinya. Kaki itu harus kita bentuk dan adakan, dan caranya adalah dengan membaca, makin kita gemar membaca, makin kita meperoleh kaki yang kokoh dan kuat. Makin kita membaca, makin hidup kita berkaki.”

“Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang menyejarah. Namun bagaimana kita tahu sejarah, jika kita tidak membaca? Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang tidak sempit dan berani menjelajah. Namun bagaimana kita tahu akan yang luas, dan mendapat inspirasi untuk penjelajahan, jika kita tidak membaca? Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang percaya akan adanya penopang yang menyangga kelemahan kita, atau menguatkan diri kita tanpa kita sadari? Namun bagaimana kita tahu akan rahmat dan anugerah tersebut, bila kita tidak membaca?” dari hal itu, betapa pentingnya membaca, membaca butuh keseimbangan. Banyak kategori buku diproduksi, banyak ideologi menumpang sosialisasi dan propaganda lewat buku, itu faktanya.

Maka apa yang disampaikan Robertus Robert bahwa “penerimaan terhadap satu buku menunjukan mentalitas masyarakatnya. Suatu masyarakat demokratis yang sehat, terdidik-apalagi dengan embel-embel Pancasilais dan religius-mestinya lebih santai dan percaya diri dalam menghadapi dan berdialog dengan setiap gagasan. Momen dalam berhadapan dengan sebuah buku adalah momen di mana politik kebudayaan diuji: apakah kebudayaan kita masih dikungkung oleh satu kebencian fasistik ataukah makin cukup terbuka dan maju.”

Mari kita lihat rangkaian peristiwa akhir-akhir ini, (Baca Catatan Kerikil Rekonsiliasi dan Buku Sebagai Hantu [Komunis]) dari banyak analisa, pemberangusan buku oleh aparatus negara maupun oleh Ormas Intoleran semua pihak menentang dan melawan. Baca baik-baik Maklumat Buku yang sisampaikan dari berbagai kota. Intinya “Setiap perselisihan pendapat atas pikiran yang berbeda hendaknya diselesaikan dengan jalan dialog dan/atau mimbar-mimbar perdebatan untuk memperkaya khasanah pengetahuan dan keilmuan.Segala bentuk pelarangan atas penerbitan buku dan produk-produk akal budi seyogianya dilakukan pihak-pihak yang berwenang atas seizin pengadilan sebagaimana diatur oleh hukum perundangan yang berlaku dengan mengedapankan aspek penghormatan pada hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan. Mendesak kepada lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk membuka secara bebas arsip-arsip negara yang terkait dengan tragedi 1965 dan pelanggaran HAM berat lainnya sebagai bagian dari upaya kita belajar dan memperkaya khasanah pengetahuan kesejarahan.Mendorong pemerintah, baik pusat dan daerah, menciptakan iklim perbukuan yang sehat, kompetitif, dan memberi perlindungan pada kerja penerbitan, diskusi buku, dan gerakan literasi yang inovatif sebagaimana diamanatkan preambule UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.” Apakah anda masih bisa jeli membaca tuntutan publik tersebut?

Tapi dengan pernyataan Pelaksana tugas Kepala Perpustakaan Nasional RI Dedi Junaedi yang mendukung pemusnahan buku-buku pemikiran kiri seperti yang pernah dilakukan pada masa Orde Baru. Yang Menurut Dedi, buku-buku aliran kiri meresahkan masyarakat. Pada masa Orde Baru, buku-buku itu dilarang untuk diedarkan. Pernyataan Dedi Junaedi itu menuai kecaman dari publik hingga kini, karena dikeluarkan sehari menjelang peringatan Hari Buku Nasional 17 Mei 2016.

Pihak Istana sendiri melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan pemusnahan buku-buku kiri, seperti yang disampaikan Kepala Perpustakaan Nasional RI Dedi Junaedi merupakan tindakan overdosis. “Kalau kemudian ada tindakan berlebihan yang itu kemudian telah diingatkan oleh Presiden. Saya sendiri sudah berkonsultasi dengan beliau, dan sudah menyampaikan kepada berbagai pihak bahwa tindakan ini tidak boleh overdosis, tidak boleh berlebihan, dan kita harus menghormati apa yang sudah diatur dalam konstitusi kita,” Kegilaan ini seharusnya dihentikan dan tidak sampai terulang lagi.

Menanggapi release yang dikeluarkan Perpusnas, Muhidin M Dahlah (penulis dan penggiat literasi di warung arsip/indonesia buku) di laman facebooknya mengatakan “Dan siaran pers ini pun lahir. Membela Dedi Junaedi. Lembaga terhormat ini berdiri di barisan depan melindungi seorang pustakawan pandir sejarah.Rilis ini pun ditulis dengan logika yang buruk. Buku yang menjadi monumen di mana ideologi itu berdiam diselamatkan. Ideologinya saja yang diberangus. Maksud kau?! Lha, ideologi itu ada dalam buku itu. IDE/PIKIRAN itu ada dalam buku. Nalar historiografi yang berantakan kedua dalam rilis resmi itu adalah: “ideologi kiri yang bertentangan dengan Pancasila”. Menyebut Pancasila menjauh dari Kiri adalah pernyataan absurd dan pernyataan seorang pemalas baca buku, baca koran. Dan ironi menjadi-jadi karena keluar dari mulut Plt Kepala Perpustakaan Nasional RI.”

Perpustakaan Nasional adalah Lembaga Pemerintah Non-Kementerian yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan yang berfungsi sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian, dan pusat jejaring perpustakaan, serta berkedudukan di ibukota negara. (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia  Nomor 24 Tahun 2014 Tentang  Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan) sekarang, bagaimana akan melakukan pembinaan, pusat rujukan jika asumsi buku kiri saja akan dimusnahkan. Cara berpikir sesat seperti itu yang seharusnya mendapatkan teguran keras dari Menteri Pendidikan Nasional sebagai induk Perpusnas.

Apakah ada tekanan atau tidak pada Dedi sang Plt. Kepala Perpusnas walahualam, tapi seperti kata Romo Mangun, walaupun buku “terlalu mammut atau kuda Nil dibandingkan si alat-alat elektronik” tapi buku fisik, Benda buku yang intersinya alot sekali bila dibandingkan dengan dinamika kelincahan huruf-huruf, tanda-tanda atau gambar-gambar pada layar elektronik masih dibutuhkan dan masih mempunya pembaca setianya. E-book yang merebak bukan berarti buku fisik harus dimusnahkan jika perpusnas akan beralibi kesana. Tapi saya yakin ini sejatinya masalah krisis moral yang semoga tidak mewabah di jiwa-jiwa pustakawan Indonesia, khususnya terhadap buku-buku kiri (komunisme, marxisme dan leninisme). Apalagi hanya disandarkan pada Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yang membubarkan PKI dan melarang penyebaran komunisme, marxisme dan leninisme masih tetap berlaku. Ketetapan MPRS tersebut tidak termasuk dalam sejumlah peraturan sejenis yang dicabut Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2003. “Kebebasan berpendapat untuk menyampaikan ide-ide jangan sampai diberangus” itu adalah intinya.

Pada sisi lain, toh kita semua tahu bersama bahwa diajukannya uji materi dan Mahkamah Konstritusi pada 13 Oktober 2010 memutuskan bahwa kewenangan pelarangan buku yang dimiliki oleh Kejaksaan Agung sesuai pasal 1 ayat (1) UU. No. 4/PNPS/1963 bertentangan dengan konstitusi. Dengan putusan itu pula, Kejaksanaan Agung tidak lagi bisa secara sewenang-wenang dan seenaknya memberangus buku, namun harus melalui jalur pengadilan dalam mencari pembuktian atas temuan pelanggarannya.

Ketakutan berlebihan dari Perpusnas harus diakhiri, apalagi jika hanya mencari panggung pertunjukan. Jangan sampai apa yang dituduhkan Sadli dalam Bukuku Kakiku jauh-jauh hari mengatakan “dari dulu ada kebiasaan para intelektual untuk  ‘mengumpulkan perpustakaan pribadi’…perpustakaan pribadi ini penting sekali karena perpustakaan di Indonesia biasanya tidak bisa diandalkan menjadi sumber yang selalu aktual”. Jika kini Ada 500 buku yang dikoleksi dan semuanya terawat dengan baik, seharusnya tahun-tahun mendatang malah harus lebih banyak lagi. Dan yang paling penting dapat dengan mudah di akses, tidak menjadi barang haram untuk dijamah.

Jika di jumpa pers menyatakan Perpusnas tidak pernah memberikan dukungan pemusnahan buku-buku aliran kiri. Perpusnas hanya bersandarkan kepada UU. Lihatlah Regulasinya dengan baik, karena seperti amanat UU No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan sudah bahwa salah satu upaya untuk memajukan kebudayaan nasional, perpustakaan merupakan wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa. rangka meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, perlu ditumbuhkan budaya gemarmembaca melalui pengembangan dan pendayagunaanperpustakaan sebagai sumber informasi yang berupakarya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam.

Tidak ada satu point pun yang memperbolehkan Perpusnas memusnahkan tanpa alasan yang jelas. Jika Perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan,keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan. Seharusnya perpustakaan juga mampu membaca arah gerak bangsa, tidak hanya sibuk dan terjebak pada komentar dan intrik yang menyesatkan. Dari sini, dan sesuai dengan hak publik untuk ikut berperan serta dalam pengawasan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perpustakaan, maka dengan alasan apapun Perpusnas harus lebih steril dari kepentingan politik dan ideologi apapun, Perpustakaan harus netral dalam upaya memberi ruang pada ilmu, kajian akademis.

Karena kembali seperti telah di amanatkan, Pemerintah berkewajiban Pemerintah berkewajiban:

  1. Mengembangkan sistem nasional perpustakaan sebagai upaya mendukung sistem pendidikan nasional;
  2. Menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat;
  3. Menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara merata di tanah air;
  4. Menjamin ketersediaan keragaman koleksi perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih aksara (transliterasi), alih suara ke tulisan (transkripsi), dan alih media (transmedia);
  5. Menggalakkan promosi gemar membaca dan memanfaatkan perpustakaan;
  6. Meningkatan kualitas dan kuantitas koleksi perpustakaan;
  7. Membina dan mengembangkan kompetensi, profesionalitas pustakawan, dan tenaga teknis perpustakaan;
  8. Mengembangkan Perpustakaan Nasional; dan
  9. Memberikan penghargaan kepada setiap orang yang menyimpan, merawat, dan melestarikan naskah kuno.

Ketimbang terjebak pada permainan politik, saran saya kembalilah pada tugas dan fungsinya dengan baik. Kita ingat pepatah Romo Mangun (Y.B. Mangunwijaya) “Buku bagaikan andong atau dokar yang ditarik kuda dengan lonceng-lonceng kecil yang berdenting merdu bagi orang yang sedang bernostalgia ke tempo dulu van voor de oorlog, ketika nasi gudeg seperseratus rupiah sudah berlauk seiris telur rebus, ketika sepeda rakyat hanya 25 rupiah harganya; dan negeri serba tenteram dan damai, maling pasti tertangkap, dan barang curian pasti ditemukan polisi dan dikembalikan tanpa tebusan satu sen pun kepada pemilik. Elok dan antik, artinya berharga, akan tetapi kini dokar mustahil dipakai sebagai kendaraan antar-kota.”

Jika buku adalah kaki menurut Sindhunata dan Andong menurut Romo Mangun, tentu kita memahami bahwa betapa pentingnya adil sejak dalam pikiran, adil sejak dalam membaca. Saya percaya hantu komunisme, marxisme, atau leninisme hanya akan bangkit jika buku ditutup (diberangus), karena bisa jadi kesesatan jalan berpikir dimulai dari kebodohan, dan melawan kebodohan adalah dengan membaca.

Jika kini Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menegaskan, lingkungan akademik bebas membahas atau mendiskusikan ajaran atau paham komunisme, leninisme dan marxisme. Tapi pada faktanya, polisi terlibat dalam pembatalan sebuah diskusi atau seminar tentang ajaran Komunisme di Universitas Padjajaran, Bandung, pada Rabu (18/5/2016). Jika aparat berpegang pada tiga peraturan dalam menindak hal-hal berbau komunisme, yakni TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1996, UU Nomor 27 Tahun 1999 dan TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003. Seharusnya juga berpegang pada PUTUSAN MK Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 di mana “Pelarangan pengedaran buku-buku sebagai suatu sumber informasi, penyitaan tanpa proses pengadilan, merupakan suatu tindakan yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Hal itu juga tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menjamin, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

Putusan MK itu sudah terang, antara lain menyebut bahwa penyitaan buku atau barang cetakan lain hanya bisa dilakukan oleh penyidik yang telah mendapat izin pengadilan. Artinya aparat (TNI dan polisi) serta ormas juga tidak berhak melakukan penyitaan, merazia, apalagi memberangus buku. Dan untuk soal Faham atau ajaran Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain, mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila dengan adanya TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 dibuat dengan tujuan untuk “mengidentifikasi permasalahan yang ada, menentukan kondisi yang harus diciptakan dalam rangka menuju kepada rekonsiliasi nasional dan menetapkan arah kebijakan sebagai paduan untuk melaksanakan pemantapan persatuan dan kesatuan nasional”.

Jika tujuannya rekonsiliasi, maka sejatinya pembubaran diskusi, razia buku, pelarangan pemutaran film menjadi hal yang kontraproduktif. Hal yang paling penting sekarang justru dari spirit, kesadaran dan komitmen yang sungguh-sungguh untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional harus diwujudkan dalam langkah-langkah nyata, berupa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional, serta merumuskan etika berbangsa dan visi Indonesia masa depan ini harus segera dibentuk kembali.

Jika TAP MPR sudah dengan kesadaran bahwa “Pancasila sebagai ideologi negara ditafsirkan secara sepihak oleh penguasa dan telah disalahgunakan untuk mempertahankan kekuasaan”. Selayaknya pula konstruksi kesejarahan harus menjadi tolok ukur pertimbangan dalam setiap tingkah politik yang diambil oleh negara dalam hal ini Pemerintahan Jokowi. Jika ini dibiarkan berlarut, dengan eskalasi yang terbaca di publik terjadi perpecahan sikap di Kabinet, maka apa yang diidentifikasi negara “Konflik sosial budaya telah terjadi karena kemajemukan suku, kebudayaan, dan agamayang tidak dikelola dengan baik dan adil oleh pemerintah maupun masyarakat. Hal itu semakin diperburuk oleh pihak penguasa yang menghidupkan kembali cara-cara menyelenggarakan pemerintahan yang feodalistis dan paternalistis sehingga menimbulkan konflik horizontal yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.” Sekali lagi membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Tentang penulis

Rama Prambudhi Dikimara
Rama Prambudhi Dikimara

Rama Prambudhi Dikimara. Alumnus LPM Pendapa, Yogyakarta, founder Dewantara Institute, Kolektor Buku.

BERIKAN KOMENTAR