Sumbarsatu.com , Minggu, 09 Agustus 2015 22:28 wib
sumbarsatu.com—Program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dianggap memiliki banyak permasalahan signifikan. DPR bersiap membentuk Panitia Kerja (Panja) BPJS Kesehatan di masa sidang berikutnya.
“Kami (DPR) di masa sidang ke 4, 5 dan 6 akan membentuk Panja BPJS kesehatan,” kata Anggota Komisi IX DPR RI Siti Masrifah dalam diskusi publik yang bertajuk “BPJS Kesehatan: Perlindungan atau Komersialisasi Kesehatan?” di Deresto Cafe, Pasar Festival, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (9/8/2015) seperti dilansir metronews.com.
Pembentukan Panja ini untuk menghimpun permasalahan BPJS Kesehatan setelah resmi diselenggarakan di tengah-tengah pihak yang terlibat. Tidak hanya permasalahan bagi peserta, Panja juga menggali permasalahan bagi pelaku dan badan usaha kesehatan atau fasilitas kesehatan tertentu yang bekerja sama dengan BPJS.
Masrifah sendiri sudah menemukan delapan permasalahan yang menghantui pihak-pihak tersebut. Mulai dari sejumlah obat yang tidak masuk dalam e-catalog BPJS Kesehatan hingga mekanisme rujukan berjenjang BPJS yang dan tidak berjalan maksimal.
“Ada yang menumpuk di Puskesmas (Faskes I). Dan akhirnya tidak mau menangani (karena repot) dan langsung dirujuk ke rumah sakit (Faskes II). Kemudian, dari rumah sakit, kalau merasa (penyakitnya) bisa ditangani di Puskesmas, dirujuk-balik ke Puskesmas lagi,” ungkap Masrifah.
Hal itu terjadi karena total Faskes yang ada kualitas dan kuantitasnya tidak memadai. Bahkan berkurang dari jumlah semula. Penyebabnya tak lain karena Faskes tidak merasakan manfaat dari BPJS Kesehatan.
“Ada yang tekor gara-gara ikut BPJS,” ungkap dia.
Praktisi di lapangan, Dr Yadi Permana, dari Dokter Indonesia Bersatu mengungkapkan ada permasalahan lain di dalam penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Pemerintah kata Yadi tidak adil dalam membayarkan klaim peserta di rumah sakit pemerintah dan swasta.
“Rumah sakit itu dibayar sama. Kalau rumah sakit pemerintah, tidak masalah. Karena ada subsidi. Beda kalau rumah sakit swasta yang tidak ada subsidi. Jadi wajar banyak rumah sakit yang melayani peserta BPJS setengah hati,” ujar dia.
Begitupun dengan penghargaan profesional dokter. Yadi menambahkan, para dokter hanya dibayar Rp2 ribu per pasien. Nominal ini dianggap sangat tragis, karena lebih murah dari biaya parkir bahkan biaya ke toilet.
“Itu kasarnya,” tukas dia.
Kasus Khiren
Sementara itu, terkait dengan kasus BPJS yang dialami Khiren Humaira Islami, bayi yang jalani operasi jantung bocor di RS Jantung Harapan Kita, Jakarta, ternyata sempat sampai ke anggota Komisi IX DPR. Namun tetap saja pengelola Jaminan Kesehatan Nasional tak bersedia bebaskan utang bayi Khiren walau dewan sudah berkirim surat dengan instansi terkait.
“Saya sejak awal sudah menyurati BPJS dan Kementerian Kesehatan untuk bebaskan biaya pengobatan Khiren,” kata anggota Komisi IX DPR Alex Indra Lukman asal Sumatera Barat.
BPJS tak bersedia menanggung biaya operasi Khiren karena sang ibu, Dewi Anggraini, melewatkan Surat Eligibilitas Peserta (SEP) saat pengurusan berkas jelang operasi Khiren. Alex yang kebetulan berasal dari Sumatera Barat sudah mengupayakan segala cara untuk membebaskan utang Rp124 juta yang membelit keluarga bayi Khiren hanya karena melewatkan satu prosedur ini.
Namun upaya yang dilakukan politikus PDIP ini tidak membuahkan hasil.
“Mereka (BPJS) bersikukuh di wilayah administrasi,” kata Alex.
Alex sangat menyayangkan sikap BPJS ini. Walau administrasi bayi Khiren kurang, kepanikan keluarga Khiren seharusnya juga dipikirkan.
“Memang butuh kawan-kawan media untuk gerakan hati BPJS,” tegas dia.
Dia meyakini kasus serupa bayi Khiren juga terjadi di beberapa daerah dan rumah sakit lain. Namun kasus bayi Khiren menjadi paling menonjol karena nominal yang sangat besar.
Khiren Humaira Islami, bayi yang didiagnosa menderita Penyakit Jantung Bawaan (PJB) dengan tipe Ventricular Septal Defect (VSD) pada sekat bilik jantung atau jantung bocor. Khiren awalnya dirawat di Faskel TK I (Puskesmas Ambacang), kemudian dirujuk ke RSUD M Djamil, Padang. Kemudian Khiren dirujuk ke RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta.
BPJS yang diajukan oleh keluarga Khiren ditolak. Sebabnya, keluarga melewatkan satu persyaratan yaitu Surat Eligibilitas Peserta (SEP) saat pengurusan berkas jelang operasi Khiren. Atas kejadian itu, keluarga Khiren diharuskan membayar uang sebesar Rp 124.826.395.
Petisi dan Grup Facebook
Kasus yang dialami keluarga Khiren membuat netizen (sebutan di pengguna media sosial) pun membuat petisi untuk bayi Khiren. Jumlah petisi yang terkumpul sudah melebihi setengah target awal. Selain petisi, juga ada grup di Facebook Gerakan Kumpulkan Koin Untuk BPJS Kesehatan.
Untuk diketahui, petisi ini sudah dimulai sejak tanggal 10 Juli lalu. Hingga kini, terlihat sebanyak sebanyak 694 dari 1000 orang yang ditargetkan sudah menandatangani petisi online ini.
Jika ini ikut berpatisipasi menandatangani Petisi klik di sini. (SSC)