Kalian ingat, pendidikan itu penting, apalagi untuk perempuan. Nantinya, laki-laki dan perempuan akan hidup berdampingan. (RA Kartini)
Kisah hidup RA Kartini, diangkat ke layar lebar. Beda dengan versi film-film bertema kepahlawanan, film ‘Surat Cinta untuk Kartini’ merupakan kisah fiksi drama komedi yang diadaptasi dari kisah nyata.
Dalam buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’, Kartini menghabiskan waktu mengirimi surat ke sahabat penanya, kalangan noni Belanda, yang juga sesama alumni sekolah Europeesche Lagere School. Ini adalah SD yang didirikan pemerintah Hindia Belanda. Siswanya merupakan anak-anak Belanda yang ikut tinggal bersama orang tuanya. Di sini, selain kaum Belanda hanya kaum bangsawan kaya yang boleh bersekolah, termasuk Kartini.
Di era tahun 1800-an, saat itu belum lahir PT Pos Indonesia. Saat itu, perusahaan jasa pengiriman paket dan surat masih dikelola oleh pemerintahan VOC Belanda. Kegiatan surat menyurat menjadi hobi di kalangan warga terpelajar, yang bisa membaca dan menulis, khususnya dalam bahasa belanda.
Ide film ini berasal dari keseharian seorang pengantar surat ke rumah Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ia adalah keturunan bangsawan yang disegani di kalangan masyarakat adat jawa. Tradisi dan adat istiada Jawa menjadi hukum yang harus dipatuhi bagi semua semua kalangan, di antaranya untuk membedakan status sosial warga bangsawan dan rakyat biasa.
Nah, interaksi jenaka tukang pos, menjadi awal mula kisah fim ini.
Tukang pos itu, Sarwadi namanya (diperankan Chicco Jerikho) jatuh hati pada Kartini (Rania Putri Sari) pada pandangan pertama. Ayah tunggal beranak satu ini bermimpi ingin menikahi Kartini suatu saat nanti. Tentu saja impian itu menurut sahabatnya, Mujur (Ence Bagus), bagai perumpamaan “si punguk merindukan bulan”.

Sutradara: Azhar Kinoi Lubis
Penulis Skenario: Vera Varidia
Produser: Lukman Sardi
Pemain: Chicco Jerikho, Rania Putri Sari, Ence Bagus, Donny Damara, Melayu Nicole Hall, Ayu Dyah Pasha, Keke Soeryo, Christabelle Marbun
Sarwadi punya banyak akal. Ia nekat menemui Kartini di sebuah pasar kain. Kartini merupakan sosok perempuan bangsawan yang dekat dengan masyarakat tanpa membedakan status. Tak ada hambatan Sarwadi berkomunikasi dengan Kartini. Padahal di zamannya saat itu, rakyat jelata tak boleh berdiri sejajar dengan bangsawan. Rakyat biasa harus duduk bersila dan menunduk, setiap ada bangsawan melintas di depan mata.
Dalam kesempatan pertemuan yang direkayasa itu, Kartini menerima tawaran Sarwadi, untuk mendirikan sekolah di alam terbuka. Harus diakui, penulis naskah film ini, Vera Varidia, cukup jeli menyuguhkan adegan-adegan baru yang tak ada dalam catatan sejarah. Azhar Kinoi Lubis yang memimpin pembuatan film ini, mampu menciptakan kisah roman Sarwadi dan Kartini tanpa mengurangi makna sejarah perjuangan emansipasi.
Air Mata Dibalut Jenaka
Sama seperti film sukses pendahulunya, RA Kartini (1983) yang diperankan Yenny Rahman, ‘Surat Cinta Kartini’ berupaya menguras air mata penonton. Adegan sang paman yang menolak permintaan Kartini untuk bersekolah ke Belanda, membawa kita teringat bahwa pendidikan bagi perempuan Indonesia itu sangat mahal dan langka.
Di saat yang hampir sama, pemerintah AS sedang menghapus diskriminasi ras kulit hitam, sementara Indonesia masih sibuk dengan urusan tradisi. Perempuan remaja tidak punya hak untuk mengenyam pendidikan. Dan perempuan yang sudah masuk akil balik, harus siap-siap dipaksa dijodohkan orang tuanya, termasuk harus rela dipoligami.
Tapi beda dengan Kartini. Ia bertekad menerobos tembok adat kolot. Ia berusaha membumi. ”Kalian ingat, pendidikan itu penting, apalagi untuk perempuan. Nantinya, laki-laki dan perempuan akan hidup berdampingan,” kata Kartini.
Perempuan saat itu tak punya pilihan, baik bangsawan maupun rakyat jelata. Status istri dari bangsawan ataupun status perempuan bangsawan bersuamikan bangsawan, pada akhirnya menjadi penderitaan hati berkepanjangan. Belum ada yang berani melawan dikotomi adat Jawa, termasuk ibu kandung Kartini, seorang anak pemuka agama yang dinikahi ayahnya. Meski ibunya adalah istri pertama, namun ia harus rela ‘dimadu’, karena Sang Ayah menikahi putri bangsawan asal Madura yang berhak menjadi istri utama.

Di fim ini, belum banyak penonton yang tahu, bahwa ibu kandung Kartini harus memberi sikap hormat kepada anaknya yang statusnya berubah menjadi bangsawan. Sang Ibu, M.A. Ngasirah menyapa Kartini dengan sebutan ‘Ndoro Puteri’, dan harus bertata-krama layaknya rakyat jelata ke bangsawan.
”Saya akan menjamin, anak dan cucu saya tidak akan mengalami nasib yang sama,” kata Kartini.
Kehadiran tokoh Sarwadi menghidupkan jalan cerita film ini. Kisah ini bukan melulu memerlukan tisu untuk menghapus air mata yang meleleh di pipi, tapi juga membuat jeda sejenak untuk tersenyum menahan tawa. Adegan Mujur yang berupaya membuat Suwardi sembuh dari patah hati, ternyata bisa membuat penonton tergelak. Betapa tidak? Mujur terpaksa membuat surat palsu yang bertanda tangan Kartini, agar Sarwadi sembuh dari penyakit galau berkepanjangan.
Akhirnya, saya bisa memberi penilaian cukup memuaskan untuk film ini. Penonton akan disuguhkan latar film yang menggambarkan Jepara tempo dulu, meski sebenarnya lokasi syuting lebih banyak di Yogyakarta. Sepanjang alur cerita, penonton akan dibawa ke suasana era penjajahan Belanda tanpa aksi heroik peperangan, yang dikemas tata musik apik. Ini film yang cukup menghibur dan jadi sarana edukasi bagi putra-putri segala usia.