Setiap pemberangusan terhadap barang cetakan harus melewati putusan pengadilan, mendesak negara melalui lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia membuka secara bebas arsip-arsip negara terkait tragedi 1965 dan pelanggaran HAM berat lain.
(Yogyakarta, 17 Mei 2016) — “Segala bentuk pelarangan atas penerbitan buku dan produk-produk akal budi seyogyanya dilakukan atas seizin pengadilan sebagaimana diatur oleh hukum dan perundangan yang berlaku,” demikian Adhe Ma’ruf dari Masyarakat Literasi Yogyakarta hari ini di Hari Buku Nasional. Pelarangan buku ini harus mengedepankan aspek penghormatan pada hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan.
Masyarakat Literasi Yogyakarta adalah sebuah aliansi meliputi penerbit, lembaga percetakan, toko buku, pelapak online, asosiasi buku, pembaca, penggiat media komunitas dan literasi, perupa, media independen, dan organisasi kemahasiswaan. Aliansi ini dibikin untuk merespons bentuk-bentuk teror terhadap para penggiat buku di Yogyakarta menyusul pemberangusan buku di berbagai kota yang dilakukan aparat keamanan. Tindakan teror ini berupa penyitaan buku (di Kediri, Jawa Timur, dan Tegal, Jawa Tengah), pelarangan bazar buku oleh pemerintah kota (di Gresik, Jawa Timur), penyitaan buku dan wajib lapor (Cirebon, Jawa Barat), dan integorasi terhadap penjual buku (Bandung, Jawa Barat).
Di Yogyakarta, menurut Adhe, tindakan teror terhadap aktivitas literasi menimpa setidaknya dua penerbit dan satu toko buku. Mereka adalah penerbit Narasi di daerah Deresan, penerbit Resist Book (Maguwoharjo), dan Toko Buku Budi (Caturtunggal). Peristiwanya berlangsung antara hari Selasa dan Rabu, 10 & 11 Mei 2016.
Selasa, 10 Mei 2016, sekitar pukul 10:00, tiga orang berpakaian sipil mendatangi Toko Buku Budi, dan bertanya-tanya apakah menjual buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula terbitan Ultimus. Penjual mengatakan bahwa buku itu tidak ada. Sorenya, tiga orang berbeda, dan lima orang lain di hari esoknya, mendatangi tempat yang sama. Mereka mengawasi Toko Buku Budi dari sebuah kedai kopi yang bersebelahan dengan toko buku tersebut. “Orangnya beda-beda tapi mobil yang dipakai sama,” kata seorang penjaga Toko Buku Budi.
Di hari yang sama, sekitar pukul 12:00, dua orang berbadan tegap dan mengenakan jaket menghampiri kantor penerbit Narasi, mengaku dari intel Polda Yogyakarta dan Polda Jawa Tengah. Hasnul Arifin, pemimpin redaksi penerbit Narasi dan Media Pressindo, melayani keduanya. Mereka memberitahu bahwa hari itu ada aksi dari sekelompok massa di kantor Polda DIY dan massa tersebut mengancam akan melakukan razia terhadap buku-buku Kiri. Kedua polisi itu datang untuk “mengamankan” kantor penerbit demi menghindari “aksi” yang berbuntut “ricuh” bila ada dari massa menuju alamat penerbit. Hari itu tidak ada aksi massa. Jarak antara kantor penerbit dan Polda DIY hanya 7 menit ditempuh dengan kendaraan.
Kedua intel itu juga bertanya soal buku-buku terbitan Narasi, termasuk buku Peristiwa 1 Oktober 1965: kesaksian Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution (2012) dan Komunisme ala Aidit: Kisah Partai Komunis Indonesia di Bawah Kepemimpinan D.N. Aidit 1950-1965 karangan sejarawan Peter Edman. Mereka minta penjelasan tentang kedua buku itu. Hasnul Arifin mengatakan bahwa buku itu adalah buku sejarah. Pihak polisi membawa kedua buku itu sebagai sampel, masing-masing satu eksemplar, untuk “untuk dipelajari oleh atasannya.”
Esoknya, Rabu, 11 Mei 2016. Sekitar pukul 09:30, dua orang yang mengaku dari Polsek Sleman mendatangi penerbit Narasi untuk menanyakan buku-buku terbitan Narasi. Arifin menjelaskan bahwa Narasi menerbitkan buku-buku sejarah sembari mengeluarkan beberapa buku terbitannya. Mereka mengambil satu eksemplar buku Pokok-pokok Gerilya karangan A. H. Nasution (2013). Mereka menanyakan buku Komunisme ala Aidit, tapi dijawab oleh Arifin bahwa sampel buku itu, yang cuma satu-satunya, tidak ada di tangan penerbit karena sudah dibawa oleh intel Polda di hari kemarin.
Siangnya, sekitar pukul 11:00, seorang yang mengaku Kanit Intel Polres Sleman datang ke penerbit Narasi dan bersikiap curiga yang sama seperti para polisi sebelumnya. Dia membawa buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adam dan Sarinah karya Soekarno; keduanya terbitan Media Pressindo. Kanit Intel itu memberi kontak telepon kepada Arifin.
Kamis 12 Mei, sekitar pukul 12:00, Kanit Intel Polres Sleman menelepon Arifin untuk menegaskan bahwa dia datang ke penerbit Narasi “bukan untuk menyita buku”, tapi “pengambilan sampel” barang cetakan. Sorenya, sekitar pukul 16:00, Kanit Intel menelepon Arifin lagi dan berkata dia sudah bertemu dengan Kapolres Sleman dan kepala bagian operasionel Polda DIY, memastikan bahwa “tidak ada penyitaan”.
Di hari yang sama, pada pagi hari, kantor penerbit Resist didatangi polisi dan tentara dan menanyakan soal buku-buku terbitannya. Tidak ada buku yang diambil. Tetapi, pada malam hari, pihak penerbit memutuskan untuk mengevakuasi buku-buku terbitannya ke “tempat yang lebih aman” guna menghindari aksi yang lebih buruk sambil menunggu situasi lebih kondusif.
Adhe Ma’ruf dari Masyarakat Literasi Yogyakarta menyatakan bahwa pembungkaman atas pandangan yang berbeda dalam muatan atau isi buku merupakan aksi yang bertentangan dengan konsitusi, dan penyeragaman pandangan melalui pelarangan buku merupakan cara non-demokratis. “Tindakan aparat keamanan terhadap penerbit dan toko buku di Yogyakarta, serta sejumlah daerah di Indonesia, merupakan aksi teror yang mengarah pada pembungkaman dan pelarangan,” kata Adhe.
Aksi teror terhadap pemilik buku, penjual buku, dan pegiat buku yang merebak di sejumlah daerah dilandasi oleh operasi rekayasa anti-komunis, diselimuti paranoia akut, yang mengatakan soal “kebangkitan PKI”, sebuah partai yang telah dibekukan berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966, beserta “larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/ marxisme-leninisme.” Operasi ini juga menimpa sejumlah individu hanya karena memakai atribut “palu-arit”, lambang Partai Komunis Indonesia.
Negara Indonesia telah belajar dari sejarah kelam masa lalunya, dan melarang bentuk-bentuk “pendekatan kekuasaan” dengan mengedepankan “suatu negara hukum” lewat “penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan.” Ini jelas diakui oleh konstitusi Indonesia serta menjadi landasan utama bagi Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan tentang Pelarangan Buku Nomor 6-13-20/PUU–VIII/2010.
Mahkamah Konstitusi menyebutkan, di antara hal lain, bahwa “pelarangan peredaran suatu barang, misalnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum, tidak dapat diserahkan kepada suatu instansi tanpa melalui putusan pengadilan.” Ia juga menyatakan, bahwa ada “penyitaan buku-buku” atau “tindakan pengambilalihan barang cetakan tanpa prosedur yang benar menurut hukum” sama halnya merupakan “tindakan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenangwenang” dan dinilai “suatu eksekusi tanpa peradilan yang sangat ditentang dalam suatu negara hukum yang menghendaki due process of law”.
Mahkamah Konstitusi juga menambahkan, “Pelarangan pengedaran buku-buku sebagai suatu sumber informasi, penyitaan tanpa proses pengadilan, merupakan suatu tindakan yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan Pasal 28 F UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Memulihkan yang kelam
“Apa yang terjadi belakangan ini yang menimpa dunia penerbitan buku telah mengganggu inisiatif-inisiatif baik oleh negara maupun masyarakat sipil yang sedang berusaha meretas upaya rekonsiliasi nasional dan mengungkapkan kebenaran soal pelanggaran HAM berat. Termasuk peristiwa 1965,” demikian Muhidin M. Dahlan dari Masyarakat Literasi Yogyakarta. Buku-buku yang terbit pasca-1998 tentang peristiwa 1965 merupakan upaya generasi Indonesia untuk belajar dan mengenali sejarah negerinya.
“Generasi pembaca ini terus mendorong upaya konstruktif bagi negara ini atas tragedi tersebut yang masih jadi persoalan besar anak bangsa Indonesia atas masa lalunya,” demikian Muhidin.
Selain itu, ajaran ideologi apa pun, termasuk Marxisme, punya kebebasan di ruang akademik dan telah lama dipelajari secara terbuka di perguruan tinggi. Mantan presiden (Alm) Abdurrahman Wahid pernah mengupayakan untuk mencabut TAP MPRS 1966 itu dengan alasan, salah satunya, bahwa larangan itu telah usang. Apalagi kini di era Internet di mana akses atas pengetahuan bisa sangat gampang didapat, termasuk mengenai paham marxisme.
“Saya kira sikap Gus Dur, lagi-lagi, perlu ditengok kembali. Beliau juga mengatakan bahwa persoalan sejarah kelam Indonesia harus segera dipulihkan demi menata kehidupan bangsa ini ke depan,” kata Muhidin.
Terkait dengan persoalan sejarah kelam ini, Masyarakat Literasi Yogyakarta mendesak lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk membuka secara bebas arsip-arsip negara terkait tragedi 1965 dan pelanggaran HAM berat lain. Upaya ini merupakan bagian dari kebebasan warga Indonesia yang dijamin konstitusi untuk belajar dan memperkaya khazanah pengetahuan kesejarahan.*
Narahubung Masyarakat Literasi Yogyakarta:
Adhe Ma’ruf: 0878-3929-7524
Faiz Ahsoul: 0818-466-399