Ibu pertiwi
Paring boga lan sandhang
Kang murakabi
Peparing rejeki
Manungsa kang bekti
Ibu Periwi. Ibu Pertiwi
Kang adil luhuring budi
Ayo sungkem mring Ibu Pertiwi

Lantunan tembang Ibu pertiwi keluar dari bibir Murtini, Rabu malam lalu di salah satu sudut ruangan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Ia tampak lelah, berbaring di dipan kayu, berjejer dengan delapan rekan perempuannya. Kaki mereka yang bebalut jarik itu tampak lunglai. Dingin beton semen yang sebelumnya memasung mereka telah membuatnya terlihat pucat, putih, berkeriput.

Murtini, Sukinah, Surani, Karsupi, Sutini, Ngadinah, Rib Ambarwati, Giyem, dan Deni Yulianti adalah para petani perempuan dari pegunungan Kendeng di Pati, Jawa tengah. Para pejuang itu datang ke Jakarta sejak Senin lalu meminta pemerintah menghentikan pembangunan pabrik semen yang mengancam kelangsungan sawah mereka. Upaya menyelamatkan lahan dan lingkungan terhadap arogansi industri yang panjang, sejak bertahun-tahun lalu. Tapi pemerintah seolah tidak peduli.

Selasa lalu, di depan Istana Negara, mereka ‘menanam’ kaki pada cor beton semen. Publik tersentak, beragam reaksi dan komentar muncul. Sebagian besar mempertanyakan mengapa mesti para perempuan yang melakukan aksi memasung kaki. Secara fisik, mematok kaki pada semen, bagi perempuan jelas jauh lebih berat dibanding pria. “Perempuan beda dengan pria, bagaimana kalau mereka hendak pipis?” celetuk salah satu netizen di media sosial.

Memasung kaki, foto Michele

Tapi bagi para perempuan Kendeng itu, memperjuangkan lahan dan lingkungan adalah tanggung jawab semua, tidak ada beda perempuan dan pria. Sudah bertahun-tahun para petani perempuan itu berada di garis depan perlawanan terhadap pendirian pabrik semen di Kendeng. Ya mereka adalah para “Kartini Kendeng” pengusung emansipasi sejati.

Aksi itu seolah menampar kita yang selama ini mengagungkan pabrik-pabrik dibanding sawah dan lingkungan. Kita yang atas nama pembangunan membiarkan hutan-hutan dibabat, gunung-gunung dikeruk, ladang-ladang digusur, dan para petani terusir.

Para Kartini Kendeng itu akhirnya berhasil mengetuk hati Presiden Joko Widodo. Rabu lalu sembilan perempuan itu melepas pasung semen pada kaki mereka atas permintaan presiden. Presiden Jokowi mengatakan bahwa ia akan mendengarkan aspirasi mereka.

Para perempuan Kendeng menginap di LBH Jakarta dengan kaki masih terpasung
Para perempuan Kendeng menginap di LBH Jakarta dengan kaki masih terpasung

Bagi Murtini dan para penduduk desa, bertani adalah nadi kehidupan. Pada sawah-sawah di kampungnya mereka menyandarkan kehidupan. Di sana, di kawasan karst Kendeng, Murtini biasa menanam padi pada musim labuhan atau musim hujan, jika musim katiga atau kemarau ia menanam palawija atau buah-buahan.

Bertani membutuhkan tanah, membutuhkan air sebagai salah satu unsur yang sangat penting guna mengolah lahan. Ini adalah sebuah hubungan timbal balik yang telah ada dan turun temurun antara warga dan pegunungan karst Kendheng. Namun kini hubungan timbal balik tersebut terancam rencana pendirian pabrik semen oleh PT Sahabat Mulia Sakti (PT SMS), anak perusahaan Indocement. Pabrik yang akan menggali perut bumi dan memporak- porandakan mata air di tanah karst yang selama ini mereka jaga.

Dalam web Oemahkendeng.com dituturkan bahwa Kendeng merupakan pegunungan khas purba dan pegunungan yang melahirkan peradaban Jawa “Ha, na, ca, ra, ka”. Adanya peninggalan Dampo Awang di Kecamatan Tambakromo, penemuan candi kuno di Kecamatan Kayen, Makam para sunan dan situs pewayangan di Kecamatan Sukolilo, adalah bukti kekayaan arkeologi Kendeng.

Menurut kajian Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), CAT Watuputih mampu menyuplai air sebanyak 51 juta liter per hari dari 109 mata air. Dari debit sebesar itu, 10 persennya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan warga di 14 kecamatan, dan sisanya untuk pengairan sawah. Karena itu pada tahun 2011, lahir Keputusan Presiden tentang penetapan Cekungan Air Tanah di mana CAT Watuputih termasuk kategori B yang wajib dilindungi.

Namun pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberi lampu hijau kepada investasi semen di wilayahnya. Pabrik yang sebagian besar bahan produksinya dikeruk dari bebatuan gamping di barisan pegunungan Kendeng yang membentang di enam kabupaten: Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Blora, dan Grobogan.

Pabrik semen dibutuhkan untuk memenuhi pasokan bahan baku pembangunan rumah dan gedung. Namun ada hal lain yang lebih penting dari semen, kelestarian alam dan keberlangsungan hidup. Pendirian pabrik semen di Rembang mengancam lebih dari 10.000 haktar lahan pertanian produktif. Setiap hektar sawah di sana dapat menghidupi 146 orang. Itu belum termasuk 4,7 juta jiwa yang hidup di lima kabupaten yang menggantungkan sumber air tanah dari pegunungan Kendeng. Di sisi itu, konsekuensi yang mesti dibayar untuk pendirian pabrik semen di Rembang jelas kelewat mahal.

Berebut Merah Putih di Lereng Kendeng

Perjuangan Murtini dan kawan-kawannya dimulai sejak 16 Juni 2014 lalu, tepat pada hari peletakan batu pertama pembangunan pabrik semen di Rembang. Saat itu warga yang menolak pendirian pabrik mendirikan tenda di areal pabrik, mereka bertekad tetap bertahan di sana sampai pembangunan pabrik dihentikan.

Para perempuan Kendeng berada di tenda perlawanan menolak pabrik semen, foto Michele
Para perempuan Kendeng berada di tenda perlawanan menolak pabrik semen, foto Michele

Hingga hari ini sudah 668 hari ratusan ibu-ibu itu bertahan di sana. Bergantian secara piket, mereka tinggal di tenda-tenda terpal pada lahan terbuka. Meninggalkan kehangatan rumah, suami, dan anak. Namun, suara penolakan mereka tidak dipedulikan, pembangunan pabrik terus berjalan. Alat-alat berat terus menderu di area pembangunan pabrik, menghamburkan debu-debu yang seolah ikut meredam suara mereka.

Entah sudah berapa kali aksi mereka gelar. Tidak terhitung juga upaya mereka membuka mata para petinggi negeri ini. Berbagai kantor kementerian dan lembaga tinggi negara mereka datangi, mulai dari kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Markas Besar Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudidial, Mahkamah Agung, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengadukan perusakan “ibu bumi” mereka.

“Ibu Bumi sayang anaknya. Dia sudah begitu baik kepada kami. Apa yang kami tanam akan tumbuh, kami dikasih tanah yang subur. Kami seorang ibu juga, bisa merasakan sakitnya kalau dirusak,” kata Murtini.

Ia berharap pemerintah mendukung mereka untuk tetap menjaga lingkungan dan alam lestari. “Pertanian seharusnya diprioritaskan, tanah subur begitu indahnya kok dirusak,” kata Murtini. “Menukar tanah kami dengan uang? tidak mungkin. Tanah adalah warisan untuk anak cucu kami.”

Para petani perempuan Rembang memang selalu berada di barisan depan melawan pendirian pabrik semen yang akan merusak alam. Demi melindungi kawasan karst Kendeng Utara, tidak jarang menjadi korban kekerasan aparat. “Saya aksi sama teman-teman memblokir jalan di pintu masuk arah menuju tapak pabrik. Saya diangkat empat aparat, dilempar, kemudian dipukul,” kata Murtini, ibu satu anak yang sebelumnya mengaku penderita sakit jantung ini.

Dalam salah satu video dokumenter tahun 2014 yang di tunjukan Murtini pada penulis, terlihat bagaimana ibu ini sedang berebut bendera merah putih dengan aparat. Ia tahu akan kalah, tetapi ia terus melawan, ia tetap mendekap bendera yang hendak disita aparat. Murtini tersungkur limbung ketika sikut dari aparat menghantam dahinya.

“Saya sudah tidak takut apa-apa lagi. Keluarga sudah mewakafkan saya. Mati itu bukan apa asalkan anak cucu saya tetap memiliki tanah,” ujarnya Murtini dengan mimik datar sembari memijit kakinya yang baru lepas dari pasungan semen.

Mengecor kaki dengan semen bisa disebut perbuatan nekat. Namun aksi itu bukan tanpa perhitungan. “Keputusan mengecor kaki mereka sudah kami perhitungkan sedetil mungkin agar resiko cedera mereka minim. Gips yang paling lunak, komposisi kotak cor, dan berbagai pertimbangan medis sudah kami perhitungkan,” ujar Alexandra Herlina, dokter asal Surabaya yang menjadi relawan mendampingi aksi warga Kendeng. ” Semangat mereka luar biasa. Tetapi perlawanan tetap harus zero korban dan resiko.”

Pelepasan pasungan kaki, foto Michele
Pelepasan pasungan kaki, foto Michele

Menanti Bukti Janji

Perjuangan warga Rembang adalah kunci. Bila pabrik semen dibangun di wilayah itu maka bisa dipastikan perusahaan-perusahaan tambang lain juga akan masuk ke Pegunungan Kendeng Utara. Maka untuk itulah jejaring Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) didirikan. Para ibu di Rembang tidak berjuang untuk mereka sendiri, tapi juga untuk penduduk Jawa Tengah.

Sukinah, salah satu tokoh aksi menolak pabrik semen di pegunungan Kendeng, mengatakan bahwa pembangunan pabrik semen mengincar kawasan karst Kendeng. Selain di Rembang, Pati, Grobogan, Blora, Wonogiri, Kebumen, Banjar Negara, dan Muria juga telah diajukan ijin yang sama. Karena itu para perempuan itu berikrar tidak akan berhenti melawan hingga pembangunan pabrik semen dihentikan.

Para Kartini Kendeng pulang ke tenda juang mereka, foto Michele
Para Kartini Kendeng pulang ke tenda juang mereka, foto Michele

“Kaki kami yang terpasung semen itu simbol bagi kami yang terpasung semen,” ujar Sukinah. “Jika hari ini kami sepakat membuka pasungan semen, itu karena kami percaya bahwa pesan kami sudah sampai ke Bapak Presiden lewat Kantor Staff Kepresidenan,” tutup Sukinah.

Di salah satu sudut ruangan, beralas dipan kayu, para Kartini Kendeng itu kembali rebah. Wajah mereka masih lelah, tapi bibir tersungging tersenyum Mereka percaya Presiden tidak akan berdusta dan mempermainkan nasib “Ibu Bumi” yang mereka cintai.

… Ibu Periwi. Ibu Pertiwi
Kang adil luhuring budi
Ayo sungkem mring Ibu Pertiwi

BERIKAN KOMENTAR