Proxy didefinisikan sebagai pihak ketiga yang menjadi perantara antara kedua belah pihak. Ketika dikaitkan menjadi proxy war berarti pemanfaatan pihak ketiga menjadi perantara antara kedua belah pihak yang sedang berperang atau konflik bersenjata pada masyarakat. Namun istilah ini kemudian digunakan sebagai jargon yang memperlihatkan adanya pemanfaatan pihak ketiga untuk mempengaruhi, menguasai, dan mengancam keberadaan pihak tertentu oleh pihak lain. Proses proxy war berkembang tidak hanya dalam ranah konflik bersenjata, namun memasuk daerah tidak bersenjata seperti ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Keberadaan pihak ketiga dalam proxy war sering sekali dianggap sebagai pion atau boneka dari pihak yang ingin berkuasa. Hampir keseluruhan ideologi yang dipertaruhkan merupakan rekaan dari pihak ketiga atau menyesuaikan dengan keinginan penyandang dana. Apalagi persoalan sumber daya yang dimiliki oleh pihak ketiga memiliki keterbatasan. Namun juga banyak terjadi bahwa pihak ketiga mau dibiayai karena perjuangan ideologinya yang dianggap sama oleh penyandang dana. Paling tidak secara filosofisnya terdapat kesamaan ide untuk melakukan perubahan sesuatu dalam masyarakat.
Sebagai suatu negara yang berdaulat, keberadaan proxy war bisa diatasi ketika semua pihak menempatkan kepentingannya di bawah kepentingan bangsa. Namun yang terjadi berbagai pihak larut dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Berbagai cara digunakan untuk mengedepankan kepentingannya termasuk mencari dukungan dari pihak asing atau luar. Inilah yang terjadi dalam sejarah perabadan bangsa ketika nusantara memiliki kerajaan-kerajaan yang berkuasa namun hancur karena “mengundang asing” untuk turut membantu kepentingannya untuk menguasai atau mempertahankan kedudukannya. Jika pada masa lalu, pihak asing menjadi dapat dijadikan pendukung. Namun setelah Indonesia menyatakan dirinya dalam satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yang kemudian memproklamirkan dirinya sebagai berdaulat, maka pihak asing adalah musuh bangsa dan yang menjadi kaki tangan pihak asing adalah penghianat. Oleh karena itu, segala sesuatu yang bukan merupakan local knowledge dan local wisdom sebaiknya dijadikan sebagai penghianat ideologi bangsa yang berdaulat.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan asing tidak bisa serta merta dihapuskan perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi Indonesia dengan politik luar negerinya dalam konstitusi menganut azas bebas dan aktif. Artinya campur tangan Indonesia dalam kehidupan global dan internasional bebas dengan tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Aktif artinya tidak pasif atas kejadian-kejadian internasional melainkan aktif menjalankan kebijakan luar negeri. Aktif dalam arti ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Oleh karena itu, jika ada ideologi yang berbeda dengan kepentingan Indonesia dan malah merasuki dan merusak kepribadian bangsa maka perlu ditolak dengan mengedepankan peradaban bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan amanat penderitaan rakyat yang tercermin dalam konstitusi (Pembukaan dan UUD 1945).
Menolak proxy war dapat juga dilakukan dengan menggunakan salah satu strategi “Celah Struktur” (structural holes). Celah struktur dapat diartikan adanya kesenjangan antara kedua belah pihak dalam melengkapi dirinya dalam informasi. Celah struktur terjadi karena tidak semua orang dapat terhubungkan karena ide, informasi dan perilaku baru. Oleh karena itu diperlukan suatu mediator yang mampu menghubungkan kedua belah pihak yang belum terhubung. Dalam masyarakat berjaringan, maka setiap individu atau institusi akan semakin berkuasa apabila menguasai informasi yang tidak dimiliki oleh orang lain. Semakin banyak jaringan yang dimiliki oleh individu atau institusi tersebut maka semakin banyak informasi yang dimilikinya sehingga mampu mempengaruhi pihak lain. Oleh karena itu celah struktur yang dimiliki semakin kecil dan dapat mengurangi ketidakpastian dalam menentukan sikap dan tindakan ke depan secara antisipatif.
Orang yang menjadi mediator kemudian dapat mengambil manfaat dari kedua belah pihak yang tidak terhubungkan olehnya. Orang-orang ini sering sekali disebut broker (brokerage) dan dianggap negatif karena perannya yang mencari peluang dari suatu celah dalam struktur jaringan. Padahal keberadaan individu atau institusi sebagai mediator atau broker dianggap penting untuk menyelesaikan suatu masalah yang tidak selesai karena tidak terhubungnya informasi dalam jaringan tersebut.
Proxy war terjadi karena pihak-pihak yang berkepentingan membuat wacana terus-menerus namun tidak berusaha untuk mengatasi masalah dengan duduk bersama. Kemudian kedua belah pihak mencari persamaan dan bukan perbedaan atas permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing pihak. Sehingga mediator menjadi suatu kebutuhan dan malah keharusan untuk mampu mengatasi kesenjangan yang terjadi. Seseorang menjadi mediator tidaklah mudah karena memerlukan kapital sosial yang kuat. Salah satunya adalah ide-ide yang bagus (good ideas). Seseorang dalam menyambungkan kedua jaringan yang belum terhubung ketika mengenal sisi masing-masing jaringan dan dapat menyampaikan ide-ide baru yang diterima oleh kedua belah pihak. Istilah populernya adalah mengakomodir, mengelaborasi, atau mengagregasi.
Dalam kasus Framework Convention Tobacco Control (FCTC) atau kampanye konvensi pengendalian tembakau, yang menjadi salah kaprah adalah antara rokok atau tembakau. Jika yang dikendalikan adalah rokok mungkin sah-sah saja. Namun jika tembakau maka ini yang menjadi salah kaprah. Data kesehatan memperlihatkan rokok dapat menyebabkan kematian ½ juta manusia per tahun. Hal ini dikarenakan dalam rokok terdapat 600 bahan kimia, yang jika dibakar akan bertambah 4000 bahan kimia lagi dengan 50 bahan kimia yang bersifat carcinogen atau dapat membuat kanker bagi manusia. Namun pertanyaannya bukan kontrol terhadap rokok, tetapi malah tembakau. Memang tembakau merupakan bahan utama dalam pembuatan rokok, namun sejak dulu orang tidak hanya merokok dengan menggunakan tembakau, bisa dengan daun jagung tanpa tembakau yang sering disebut “klobot” atau kemudian populer dengan “kretek”.
Tembakau sejak abad ke-16 telah digunakan sebagai obat-obatan seperti pilek, sakit kepala, dan masalah mata. Ketika dikunyah bersama buah pinang dan kapur dapat menjadi sakit gigi, penyakit gusi, sakit di tenggorokan, dan depresi mental. Ketika direbus dapat menjadi obat gangguan pencernaan, sakit perut dan obstruksi kemih. Sedangkan abu yang dicampur dengan tembakau dan minyak oles dapat mengatasi ulserasi kulit, kutil, dan kanker kulit. Tentunya masih banyak fungsi tembakau lainnya yang perlu digali oleh banyak pihak dalam penelitian modern untuk kepentingan kesehatan modern. Artinya penggunaan tembakau sebagai obat-obatan herbal telah dikenal dan populer oleh banyak kalangan masyarakat yang terus berkembang menjadi obat-obatan modern yang disangkal oleh sekelompok pihak yang lebih mengutamakan kepentingannya.
Oleh karena itu tidak bijak jika FCTC yang dikampanyekan lebih kepada pengendalian tembakau tetapi bukan pada pengendalian rokok. Sedangkan yang menjadi sumber masalah termasuk kesehatan bukannya tembakau tetapi rokok. Industri tembakau berbeda dengan industri rokok sehingga para penggiat FCTC dan juga penggiat Tembakau sebaiknya bertemu untuk mendiskusikan lebih lanjut apakah persoalannnya rokok atau sumber utamanya yaitu tembakau. Alih fungsi tembakau untuk tidak menjadi bahan utama rokok yang menjadikan rokok sebagai penyebab utama gangguan kesehatan sebaiknya diluruskan dan diklarifikasi, sehingga semua berada pada posisi yang sejajar dan setara, tanpa harus mencari kambing hitam dan mempersalahkan salah satunya yaitu tembakau.Fakta yang menariknya adalah rokok merusak kesehatan, namun adakah pernyataan bahwa tembakau merusak kesehatan?
Oleh karena itu sebagai masyarakat yang berjaringan dalam masyarakat informasi saat ini, alangkah baiknya kedua belah pihak menggunakan mediator dalam mengatasi celah struktur yang dapat mengatasi kesenjangan informasi tentang salah kaprah tembakau. Mediator dengan ide-ide yang baik dan bagus dalam mengedepankan kepentingan dan fungsi utama tembakau dan melihat dengan jernih persoalan rokok yang menggunakan bahan utama tembakau dapat mengatasi dan menolak proxy war.
Pihak ketiga dalam konflik berkepanjangan pada dasarnya memiliki itikad baik namun karena bersifat parsialitas menjadi terlihat membawa kepentingan salah satu pihak. Padahal mediator merupakan jembatan (bridging) dari kedua belah pihak yang tidak terhubungkan dengan baik. Karenanya sudah saatnya pihak-pihak yang menjadi dan dapat memposisikan sebagai pihak ketiga atau mediator tidak mengutamakan kepentingan sesaat yang dapat mengarah dirinya sebagai proxy tetapi sebaiknya menjadibridge.Bridge dapat juga terjadi dengan adanya dua aktor yang berada dalam setiap jaringan menjadi liason. Artinya jika diantara kedua belah pihak terdapat aktor atau individu yang mampu berpikir jernih dan objek maka celah struktur dapat teratasi dengan adanya dua aktor yang mengatasnamakan kepentingan masing-masing dan mau duduk bersama untuk mampu mengatasnamakan kepentingan bersama.
Disadari konsep ini sangat ideal dan malah terkadang naif ketika setiap orang saat ini selalu berbicara tentang kepentingannya. Apalagi sampai ada yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kesempurnaan. Bagi orang-orang yang pesimis maka pandangan ini memperkuat posisinya untuk mempertahankan kepentingannya. Namun di dunia ini tidak semuanya orang berpikir pesimis, masih banyak orang-orang berpikir optimis dalam memperjuangkan ide bersama dan kolaboratif. Oleh karena itu sebaiknya kita tidak larut dengan perjuangan masing-masing dan sudah saatnya kita memperjuangan ide bersama yang jauh lebih positif dengan mengedepankan semangat untuk tidak saling menyalahkan tetapi membangun kebersamaan demi kemashalatan semua orang. Amin.
Disampaikan pada acara Diskusi Publik Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) “Menangkis Ancaman Proxy War”