Pendakian ke Puncak Mahameru sangat melelahkan. Kami menggunakan tali untuk mendorong laju pendakian hingga ke puncak. Bersama-sama dengan tim dari Jakarta, Tangerang, dan Bekasi kami bahu-membahu di kemiringan trek pasir Mahameru. Kami mendaki lebih dari 8 jam untuk bisa berada di jalur kemiringan gunung Semeru.
Tidak banyak dokumentasi foto yang bisa kami buat, karena mendaki kemiringan Mahameru sudah begitu susah. Saya sampai di puncak paling akhir sekitar jam 09.08 WIB.


Rasanya luar biasa, sungguh suatu kebahagiaan, bisa berbarengan di puncak mahameru. Walaupun tidak banyak dokumentasi bisa kami sajikan kali ini. Setidaknya janji saya untuk mengibarkan baner Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA-PPMI) di Puncak Para Dewa, di ketinggian 3676 mdpl, pada puncak tertinggi pulau Jawa telah tuntas saya lakukan. Terlibih lagi tahun ini bertepatan dengan hari lahir saya.
Pendakian ini saya dedikasikan untuk semua para sahabat di FAA-PPMI, para sahabat di Manjer Adevnture dan para sahabat lain nya yang selalu mensupport saya untuk bisa melakukan ini semua.


Selama di puncak Mahameru kami menyempatkan mengambil beberapa foto. Mengingat waktu telah demikian siang, terik matahari juga mulai menyengat, kami memutuskan untuk segera turun, kembali ke camping ground Kalimati.
Abu Vulkanik Mahameru mulai mengerayangi area lapangan puncak mahameru. Dari dulu memang jadual pemuncakan di Mahameru dibatasi hingga paling lama pukul 11 siang. Karena sangat berbahaya berada di Puncak Mahameru pada tengah hari. Ingat peristiwa meninggalnya Shoe Hoe Gie dan dan Idham Lubis, aktivis 66, pendiri MAPALA UI yang meninggal di Puncak Mahameru? Ada yang menduga itu karena mereka terlalu lama berasyik-asyik di puncak. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa ia meninggal karena terkena semburan asap Wedhus Gembel saat di puncak. Kebenarannya apa sebab meninggalnya. sampai sekarang masih menjadi misteri
Usai mengambil sejumlah gambar untuk dokumentasi, saya bergegas turun dan menyusul rekan-rekan kami di gerbang Batu Besar Semeru. Kami lantas menyempatkan mengambil foto bersama, sebelum kemudian perlahan mulai merayap turun dari puncak Semeru.

Perjalanan menuruni puncak mahameru jauh lebih cepat dibanding naiknya. Karena jalan berpasir dan bisa dibuat seperti seluncuran, bak orang main ski di daerah pegunungan es. Meski begitu, kita mesti tetap hati-hati saat turun. Jangan sampai terpelanting jatuh. Dan ketika sampai di jalur Arcopodo (batas vegetasi), yang ditandai beberapa tiang berwarna besi kuning, pendaki jangan sampai melipir ke kanan ke arah Blank 75 karena itu rute berbahaya. Banyak peristiwa terjadi, para pendaki sering lalai dan terjatuh di jurang arah rute Blank 75.
Di gerbang besi kuning Arcopodo saya mengajak rekan-rekan tim untuk sejenak berdoa di petilasan para pendaki Semeru. Sebuah petilasan yang diperuntukan bagi para pendaki untuk selalu mengingat bahwa di semeru ini pernah ada beberapa pendaki meninggal dan hilang di area vegetasi Arcopodo. Beberapa pendaki asal Jawa Timur sudah biasa melakukan ritus doa dan penghormatan itu.
Demikianlah akhir dari prosesi pendakian ke Puncak Mahameru ini. Berharap suatu ketika momen ini bisa terulang dengan mengikutkan rekan-rekan alumni pers mahasiswa Indonesia untuk bisa berkolaborasi bersama, menyempatkan waktunya menikmati dan mensyukuri nikmat Allah. Akhirul Kalam, semoga apa yang pernah kita jalani akan senantiasa menjadi kenangan indah sepanjang hayat. Viva FAA – PPMI, Viva lestari Indonesia, Viva Manjer Adventure Jawa Timur, Viva Expedisi Mahameru 2016.