Masih ingat perseteruan antara Jambi dan Palembang beberapa waktu lalu? Bagi yang lupa, atau bahkan belum tahu, mari saya ingatkan lagi.

Dua daerah dalam satu pulai ini bertikai perkara sepele: pempek. Namun banyak pertikaian besar berawal dari hal sepele. Perang antara Troya dan Akhaia yang bermula dari perempuan bernama Helen, misalnya.

Pempek memang bukan lagi sekadar makanan. Ia adalah identitas tersendiri. Bagi banyak orang, makanan yang terbuat dari ikan ini adalah simbol kota Palembang. Namun yang harus disadari, pempek yang konon dibuat sejak abad ke-16 ini sudah ada sebelum Indonesia merdeka.

Pempek berasal dari bentala Swarnadwipa –istilah kaum India untuk menyebut Sumatera kuna, sebelum Masehi– dan sudah ada sebelum nama Sumatera disematkan. Sriwijaya, sebagai kerajaan terbesar di Swarnadwipa, punya kekuasaan yang luas merentang. Dari Jawa, Semenanjung Malaya, Kamboja, Thailand, hingga daerah yang kini dikenal sebagai bentala Sumatera.

Oleh karena berinduk dari kerajaan yang sama, maka orang Jambi dan Palembang sekarang bisa disebut berasal dari akar yang sama pula. Jadi tak perlu heran kalau menemukan beberapa makanan khas dua daerah itu yang sama. Mie celor, misalnya.

Mie yang kaldunya terbuat dari udang ini bertebaran di Palembang maupun Jambi. Sebenarnya pempek juga demikian. Namun karena nama besar pempek sudah lekat dan menjadi simbol Palembang, maka kedua kota ini sampai berebut. Duh!

Sewaktu berkunjung ke Palembang beberapa tahun lalu, saya sempat mencicipi pempek di sana. Sayang, saya lupa nama warung pempek itu.

Sedang pempek khas Jambi, saya baru mencobanya menjelang pernikahan kemarin. Rani, calon istri saya waktu itu, yang mengajak saya untuk mencicipi pempek khas Jambi.

Di Jambi ada banyak sekali penjual pempek. Nyaris bisa dilihat di tiap sudut jalan. Dari kelas ruangan berpendingin udara, hingga bangunan kecil berdinding papan kayu.

Secara garis besar, ada tiga mazhab pempek di Jambi yang acap dijadikan rujukan utama: Pempek Asiong, Pempek Selamat dan Pempek Sumsel.

Di luar tiga nama beken itu, ada puluhan, bahkan ratusan pempek yang bisa dicoba. Semua punya pelanggan setia masing-masing.

Makanan itu seperti agama, menjadi pilihan personal. Seperti agama pula, selera pada makanan tak bisa dipaksakan. De gustibus non est disputandum.

Rani mengajak saya pergi ke Pempek Asiong lebih dulu. Ini langganan keluarganya sejak masa lampau. Pempek Asiong sudah punya nama besar, sekaligus menjadi pempek tertua yang ada di Jambi. Mereka berjualan semenjak tahun 1974.

Dulu Pempek Asiong menempati bangunan kecil nan sempit berdinding papan di daerah Talang Banjar. Namun belakangan, mereka pindah ke sebuah ruko di seberang jalan, yang berukuran lebih besar dengan suasana yang lebih nyaman.

Daerah Talang Banjar sendiri sudah dikenal sebagai ruas pempek, macam Wijilan yang dikenal sebagai sentra gudeg di Yogyakarta. Di Talang Banjar, kalian bisa menemukan Pempek Selamat, hingga Pempek Sumsel. Tinggal pilih yang sesuai selera.

Penyajian pempek di Asiong cukup asyik. Mereka mengeluarkan semua pempek jenis kecil, mulai dari lenjer sampai kulit. Juga otak-otak dan pempek keriting. Kita tinggal memilih mau mengambil yang mana. Sedang untuk pempek berukuran besar seperti pempek kapal selam, harus memesan dulu.

Saya memesan pempek kapal selam, dan mengambil beberapa pempek kecil. Pempek kapal selamnya standar saja, nothing special. Saya malah suka pempek kulit mereka yang renyah.

Pempek panggang Asiong juga patut diacungi jempol. Ini adalah pempek yang dibelah tengah, lalu diisi campuran rebon berbumbu pedas manis, kemudian dipanggang. Teksturnya liat, dengan aroma panggang yang raksi.

Keesokan harinya saya mencoba Pempek Selamat. Berbeda dengan Asiong yang populer namun konsisten tak membuka cabang, Pempek Selamat membuka cabang di mana-mana. Bahkan mereka berekspansi sampai ke Jakarta.

Di Pempek Selamat saya mencoba pempek lenggang. Ini adalah potongan pempek yang dicampur dengan kocokan telur lalu digoreng. Ya telur dadar isi pempeklah. Hidangan ini disajikan bersama mie kuning, bihun, serpihan halus rebon, dan cacahan timun.

Di tempat ini, pempek disajikan berdasar apa yang kita pesan. Jadi agak berjudi. Jangan memesan terlalu banyak, sayang kalau tak habis. Tapi di Selamat, cuko disajikan dalam teko kaca berukuran besar. Jadi kita bisa bebas menambah cuko. Keunggulan Selamat juga ada pada tambahan sambal yang disajikan di meja, andai cuko kurang pedas. Ini tak ditemukan di Asiong. Keluarga besar saya, yang rata-rata pecandu rasa pedas, menambahkan sambal yang membuat cukonya jadi lebih membakar.

Rasa kedua pempek ini nyaris sama. Begitu pula rasa cukonya, sama-sama enak. Tapi saya menyarankan sebaiknya membeli mentah lalu menggoreng sendiri di rumah. Kerenyahannya lebih terasa. Pempek yang disajikan di kedua kedai itu kadang sudah dingin. Hal itu mengurangi tingkat kerenyahan secara drastis.

Saya membungkus satu kotak pempek Asiong untuk kawan-kawan kantor. Baru saja, beberapa menit lalu, kami menggoreng pempek itu. Rasa pempek yang baru diangkat dari penggorengan memang jauh lebih enak ketimbang pempek yang sudah dingin. Oh ya, barusan kami makan pempek itu dengan cuko yang sudah didinginkan. Jadi ada kesan segar yang mengasyikkan.

Hingga tulisan ini saya posting, saya belum sempat mencicipi pempek Sumsel yang sama terkenalnya. Mungkin lain kali lah, toh saya bakal sering mengunjungi Jambi.

BERIKAN KOMENTAR

POPULER SEPEKAN

Setiap tanggal 1 Juni, ingatan kita terlintas visual seekor burung garuda bernama Garuda Pancasila, mengenakan perisai di dada yang berisi...

Peserta Media Talk dapat mengikuti Lomba Blogger pada 30 - 4 Novermber 2016.

Tahun lalu 2015 adalah tahun pertama saya mulai rutin olah raga berlari. Sebeneranya memilih olah raga lari ini bukan keinginan sendiri,...

Dengan otonomi khusus yang dimiliki, Aceh menerapkan hukuman cambuk bagi yang melanggar aturan. Mak Ucok menjadi warga non-muslim pertama yang...

Begitu turun dari motor, tiga bocah kecil itu berlari menuruni lembah. Di bawah sana, di depan danau, teronggok badak besar...