Total… Total ambyaaarrrr Har… #JogjaOraDidol #JogaIstimewaHotelnya #GerhanaHotel #JogjaAmbyar #JogjaAhPrek,”

Demikian isi caption foto sebuah bakal bangunan gedung raksasa yang menjulang tinggi di kampung Miliran, Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Foto itu diunggah di facebook oleh pemilik akun Dodok Jogja beberapa waktu lalu. Sebuah ekspresi kegeraman salah satu warga Yogyakarta terhadap maraknya pembangunan gedung-gedung pencakar langit di kota pendidikan itu. Dodok tidak sendiri, rasa geram itu juga hinggap di sebagaian warga lain, termasuk saya.

Sejak bangunan-bangunan vertikal mulai berdiri, lelaki ini telah berulangkali melakukan aksi protes, termasuk aksi mandi pasir di depan Hotel Fave di Jalan Kusumanegara, sampai mandi kembang tujuh rupa dan air tujuh sumur di depan Kantor Wali Kota Yogyakarta. Kegeraman Dodok terhadap banyaknya pendirian bangunan vertikal, seperti hotel, mal, sampai apartemen dan juga mal, hanya salah satu perwakilan kondisi yang dirasakan masyarakat Jogja saat ini.

Masifnya pendirian bangunan vertikal itu membuat sejumlah sudut perkampungan kesulitan air saat musim kemarau. Padahal, sebelum adanya bangunan menjulang itu, air sumur masyarakat tak pernah kekurangan, seperti di Kampung Miliran, Malioboro, dan Kampung Gowongan. Dampak buruk itu juga kemudian direspon warga yang tergabung dalam gerakan Warga Berdaya.

Melalui wadah gerakan itu, mereka menggalakkan perlawanan. Tak hanya masyarakat di wilayah Kota Yogyakarta, namun juga sebagian masyarakat di Kabupaten Sleman yang terdampak pendirian bangunan vertikal. Bahkan izin pembangunan Apartemen Uttara di Jalan Kaliurang Km 5, digugat warga sekitar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta. Hingga kini proses hukum gugatan itu masih berlangsung.

Awal 2015 lalu, sebuah film dokumenter garapan WatchDoc berjudul “Belakang Hotel” menjadi bukti konkret perlawanan itu. Film tersebut menceritakan hampir setiap warga yang berada di sekitar lokasi pendirian bangunan vertikal kesulitan air saat kemarau. Sumur warga yang biasanya tak kekurangan air saat kemarau, hanya menyisakan air yang tak cukup untuk sekadar mencukup kebutuhan satu orang. Film ini kemudian diputar dari kampung ke kampung dan menjadi bahan refleksi.

Belakangan, Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X tampaknya mulai menyadari dampak pembangunan yang tidak terkendali di daerahnya. Bahwa langkah sembrono para kepala daerah yang mengizinkan banyaknya pembangunan hotel, mal, apartemen, dan bangunan-bangunan raksasa itu telah mengakibatkan menurunnya volume air tanah di Yogyakarta.

Geolog Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yoyakarta, Eko Teguh Paripurno mengatakan debit air tanah di Yogyakarta terus mengalami penurunan saban tahunnya. Ia memprotes perilaku masyarakat yang terus “memanen” air tanah tanpa pernah “menanam” air. “Kondisi air tanah di Yoyakarta menurun 15 sampai 50 sentimeter setiap tahunnya. Instansi-instansi pemerintahan, bisa juga Keraton Yogyakarta, memberikan contoh masyarakat untuk “menanam” air,” kata Eko.

Maraknya pembangunan gedung pencakar langit itu tidak hanya terjadi di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Hal sama juga terjadi di Kabupaten Bantul. Bahkan Bupati Bantul, Suharsono ikut membuka kran investasi pembangunan mal. Ya, langkah Bupati Suharsono ini berputar 180 derajat dari pemimpin yang sebelumnya berkuasa, melarang pendirian mal dengan tujuan melindungi pasar tradisional dan perekonomian rakyat.

Tak ada yang salah memang, kalau pemerintah Kabupaten Bantul membuka peluang investasi di daerahnya, termasuk jika menginginkan adanya pusat perbelanjaan semacam mal. Namun, perlu diingat, dampak pembangunan mal yang juga kategori bangunan vertikal, perlahan berpeluang “menularkan” apa yang terjadi di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta merembet ke Kabupaten Bantul. Bukan cuma dampak ekologis seperti menurunnya debit air tanah, namun juga dampak sosial, ekonomi, dan budaya. Keberadaan mal sudah tentu mengubah peta ruang sosial di sekitarnya.

Tanpa memiliki mal, hingga saat ini sebetulnya masyarakat di Kabupaten Bantul tetap memiliki daya tarik dengan mengandalkan potensi perekonomian masyarakat setempat. Misalnya, dari sektor industri kreatif, pertanian, hingga pasar tradisional. Bahkan, sejumlah pengrajin bisa mengekspor hasil kerja mereka hingga ke luar negeri.

Keberadaan mal memiliki konsekuensi mengubah alur yang telah berjalan. Sudah banyak daerah yang kini memiliki mal berujung pada kolaps-nya perekonomian rakyat menengah ke bawah. Buktinya, sejumlah pasar tradisional di Kota Yogyakarta sebagian mulai tersingkir. Ya meskipun, tak semuanya mati.

Dengan adanya mal, ada sebagian kalangan yang menilai, bisa menyerap tenaga dari masyarakat sekitar. Singkat kata, membuka lapangan pekerjaan. Namun, di balik penilaian manis itu, ternyata perputaran ekonomi warga tak berdiam di situ. Pendapatan besar mal sudah barang tentu akan dibawa pergi keluar wilayah. Ini terjadi karena pemiliki saham pusat perbelanjaan sebagian bukan oran Bantul. Itu belum ditambah dengan sudah adanya sejumlah swalayan modern yang sudah lama beroperasi.

Dampak sosial lain, masyarakat akan menaikkan gengsinya dengan keberadaan mal. Ada pula yang menyebut, orang yang tak pernah datang dan belanja di mal tidak mengikuti perkembangan zaman. Pada hal, titik poin kemajuan dan mengikuti perkembangan zaman adalah pola pikir yang dewasa dalam menyikapi isu yang berkembang tiap saat.

Kiranya pemerintah Bantul harus mempertimbangkan seberapa besar dampak negatif pembangunan yang tanpa pengendalian. Berdirinya mal sudah pasti diikuti dengan berdirinya bangunan-bangunan lain, dari kos-kosan hingga yang paling elit, perhotelan dan apartemen. Apalagi Jogja menjadi salah satu daerah tujuan wisata. Jika memang itu terjadi, bukan tidak mungkin masyarakat kecil di Kabupaten Bantul bernasib mirip dengan yang tinggal di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.

Ada keunggulan lain yang layak dikembangkan Jogja. Kultur Jawa yang masih kental bisa menjadi jalan awal mempertahankan kearifan lokal. Berbelanja di pasar tradisional menjadi ciri adiluhung-nya masyarakat Jawa. Jika wisatawan berkenan tinggal, pemerintah bisa dengan menyediakan penginapan sederhana namun tetap bisa membuat nyaman bagi semua yang tinggal, bagi warga sekitar maupun pendatang.

BERIKAN KOMENTAR