“Tete dorang ini juga kam pu cucu, cuma de baru datang saja jadi jangan kam marah kitong juga mau pulang.”
(Kakek moyang kalian jangan marah ini juga adalah cucu kalian, hanya dia baru tiba saja jadi jangan kalian marah, kita juga mau pulang ke rumah).
Suara mama Agri sedikit bergetar saat mengucapkan permintaan maaf kepada moyang mereka. Wajahnya tampak serius menengadah ke awan gelap di langit. Badannya setengah merunduk ke arah sungai berair jernih namun berbatu di depannya. Sekujur tubuhnya basah kuyup oleh air hujan yang tiba-tiba turun. Padahal beberapa menit sebelumnya, cuaca di sana cerah, bahkan terik menyengat.
Menurut mama Agri kakek moyangnya saat itu sedang menegur kami. “Tete moyang dong marah karena lihat kaka pu muka baru jadi dong tra kenal, makanya dong kasih tanda hujan besar turun,” (Kakek moyang marah karena melihat ada orang baru yang datang ke sungai ini, sehingga moyang menurunkan hujan deras) ujarnya.
Orang baru yang dia maksud adalah saya yang pada Oktober lalu memang baru kali pertama berkunjung ke Kampung Sbaga, Distrik Klasouw, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Saya baru tahu bahwa daerah di sekitar sungai Klagoumos, sungai yang baru saya gunakan untuk mandi itu adalah termasuk area sakral bagi masyarakat Suku Moi Kelim. Tidak sembarangan orang boleh berada di sana, apalagi orang baru seperti saya.
Oktober tahun lalu saya bersama sejumlah pengurus Bentang Nusantara (Bentara) Papua mengadakan camp forest atau berkemah di hutan di kawasan Kampung Sbaga. Camp forest adalah kegiatan rutin Bentara Papua untuk mengajak para anggotanya lebih akrab kepada alam sekaligus masyarakat adat yang tinggal di sekitarnya. Kegiatan ini diadakan selama seminggu, lokasi perkemahan kami berada di dalam kawasan hutan, terpisah dari pemukiman masyarakat. Belakangan saya baru tahu ternyata tempat kami mendirikan tenda juga termasuk di daerah yang dianggap sakral oleh warga.
Lokasi Kampung Sbaga agak terpencil. Kami membutuhkan waktu hampir enam jam perjalanan mengendarai mobil dari pusat pemerintahan Kabupaten Sorong. Kondisi jalan ke sana juga cukup berat sehingga kami mesti menggunakan mobil jenis double gardan. Kampung yang dihuni oleh masyarakat adat Suku Moi Kelim ini jumlah warganya tak banyak, hanya ada 20 keluarga. Mayoritas mereka hidup dari berkebun, berburu, dan meramu sagu.
Di kampung ini ada kepercayaan bahwa daerah sakral tidak boleh sembarangan dikunjungi, apalagi oleh wajah baru atau orang yang baru pertama ke sana. Menurut Mama Agri, kakek moyangnya mengingatkan bahwa kami telah melanggar aturan itu. Peringatan itu biasanya diwujudkan dalam tanda-tanda alam, salah satunya adalah hujan lebat beserta petir yang tiba-tiba muncul seperti yang kami alami di sungai Klagoumos itu.
Saya lantas mengucapkan permintaan maaf sekaligus permisi telah datang area tersebut. “Tete dorang sa permisi ee, sa ni tete dong pu cucu juga, sa datang ini niat yang baik untuk jaga hutan,” (Kakek saya permisi, saya ini juga kalian punya cucu, saya datang dengan niat yang baik untuk melestarikan hutan) ucap saya.
Entah benar atau tidak cerita mama Agri, namun hanya berselang beberapa menit usai mama Agri dan saya meminta maaf, hujan deras yang mengguyur kami ketika itu tiba-tiba reda. Mendung hitam di langit hilang entah kemana, berganti langit biru berhias awan putih cerah. Matahari pun kembali bersinar terik.
Masyarakat adat suku Moi Kelim mempunyai sejarah dan cerita tersendiri mengenai kawasan hutan wilayah mereka di lembah Klasouw yang menjadi pusat sekolah adat Kambik. Kambik adalah pendidikan adat yang sakral di Suku Moi. Hanya anak laki-laki (nedla) dari suku ini dan terpilih secara adat yang berhak mengikuti Kambik.
Dalam pendidikan adat itu para siswa diajari tentang kepemimpinan, adat istiadat Suku Moi serta sejumlah pengetahuan tertentu secara mendalam. Lulusannya akan memiliki kemampuan seperti pengobatan, adat istiadat, hingga meramal. Namun kini sekolah adat itu sudah tidak ada lagi. “Mereka yang dari Sorong, Tambrauw, dan Raja Ampat semua datang untuk sekolah adat di lembah Klasouw ini,” ungkap Dance Ulimpa, salah generasi terakhir sekolah adat Kambik.
Meski Kambik sudah tidak dijalankan lagi namun area sekitar tempat pelaksanaan pendidikan adat itu masih tetap dianggap sakral hingga kini. Daerah sekitar sungai Klagoumos, tempat saya mandi saat itu, ternyata masuk area Kambik.
Selain di sungai Klagoumos ada beberapa tempat sakral lain di Distrik Klasouw. Salah satunya adalah Kampung Kalalik. Di sana terdapat makam leluhur Suku Moi. Saya sempat datang ke sana. Tempat itu indah dan masih alami. Ada beragam jenis tumbuhan dan binatang asli Papua di sana, termasuk beragam jenis kupu-kupu yang belum pernah saya temui di tempat lain.
Pengalaman di sungai Klagoumos membuat saya mengucap permisi sebelum masuk ke sana. Hal yang sama juga dilakukan oleh warga kampung yang mengantar saya. Tidak seperti di sungai Klagoumos, perjalanan kami di sana lancar tanpa ada hujan lebat berserta petir yang turun tiba-tiba. Namun menurut warga kampung itu saya tidak boleh memotret kupu-kupu yang berterbangan di sana. Menurut dia tempat itu terlarang bagi siapa saja untuk mengambil gambar apalagi sampai menggagu binatang atau pepohonan di sana.
Memang pada umumnya setiap daerah dan kampung-kampung di Papua mempunyai tempat yang dianggap sakral. Tempat-tempat sakral itu tabu untuk diganggu, bahkan tidak boleh sembarangan dikunjungi. Setiap tempat sakral memiliki cerita dan fungsi masing-masing yang selalu berkorelasi dengan tradisi serta penyangga kelestarian alam.
Satu pekan kami berkemah di hutan Kampung Sbaga. Merasakan keindahan alam serta keagungan tradisi masyarakat yang menyatu dengan alam. Di hari terakhir kami pamit ke warga Sbaga. Mereka melepas kami dengan menggelar prosesi adat, salah tetua suku bersama para warga menggosokkan tanah merah yang di ambil dari dalam kawasan hutan sakral ke wajah kami.
Tidak hanya itu, mereka juga mengoleskan tanah itu ke mobil yang akan kami kendarai untuk pulang. Menurut mereka, prosesi pengolesan tanah itu adalah ucapan selama jalan sekaligus doa untuk kelancaran perjalanan pulang kami. Bersama tanah itu para leluhur mereka akan menjaga keselamatan kami hingga selamat sampai ke rumah.
Pagi itu langit biru begitu cerah mengiringi kepulangan kami. “Sa permisi pulang dulu ee, nanti kalo ada waktu sa bisa datang kembali lagi ke kampung yang indah ni.”
Stevani Merlin Peday (Aktivis Lingkungan dan Staf Bentara Papua)