“Nasib kaum wanita Indonesia tergantung dari tangan mereka sendiri. Kaum laki-laki harus terus berjuang dan memberikan keyakinan kepada kaum wanita Indonesia tentang pentingnya mereka ikut dalam gerak perjuangan. Wanita Indonesia harus bahu-membahu dengan laki-laki mewujudnya cita-cita bangsa yang sejahtera, adil, dan makmur.” (Soekarno).
Hari Kartini menjadi hari spesial yang dirayakan seluruh elemen masyarakat Indoneisa mulai dari anak kecil, tua, muda, dan berbagai golongan lainnya. Tentu saja, hari Kartini diperingati untuk mengenang sosok pahlawan nasional perempuan yang berasal dari Jepara, dan dianggap sebagai avonturir bagi kaum perempuan saat ini supaya tidak menyerah terhadap keadaan yang sulit akibat penjajahan asing.
Jika berbicara hari Kartini, sudah barang pasti pembahasannya tidak jauh dari emansipasi perempuan. Kartini diyakini begitu membawa perubahan kepada kehidupan para perempuan. Padahal jika kembali membuka catatan sejarah pergerakan perempuan di Indonesia, banyak sekali pahlawan perempuan yang sejatinya sama memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, terutama melawan penjajah.
Alih-alih membahas tentang emansipasi dan para pejuang perempuan tersebut, saya lebih tertarik untuk merenungkan “mengapa perempuan diagungkan?”. Pertanyaan ini muncul, bukan hanya ditujukan kepada para laki-laki tetapi juga bagi para perempuan. Jasa perempuan tidak kecil, ia mengandung, melahirkan, dan menyusui anak-anaknya. Tetapi, bukan hanya sebatas itu jawabannya.
Saya teringat akan kisah pewayangan Pandawa dan Kurawa. Adalah Yudhistira, sulung dari lima kesatria Pandawa yang terperosok dalam perjudian melawan Kurawa, sepupunya yang berjumlah seratus orang. Ia mempertaruhkan segala harta miliknya, tapi tidak pernah menang. Seluruh hartanya ludes dipertaruhkannya. Yang tingal hanya istrinya yang cantik jelita, Drupadi. Suatu hari datanglah Sengkuni dari kelompok Kurawa kepada Yudhistira, merayu agar ia mau mempertaruhkan istrinya dalam perjudian. Dengan kepala merunduk, Yudhistira pun bersedia mempertaruhkan istrinya dalam perjudian. Bukan main terkejutnya para pengunjung, terutama para orang tua mendengar keputusan Yudhistira yang tidak masuk akal dan tidak beradap.
Hal itu mengundang protes dari Resi Bima, Krepa, dan Durma. Tapi Yudhistira tidak memperdulikannya. Sengkuni yang licik tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada di tangannya. Dadu dilempar di atas meja dan hasilnya Kurawa yang menang. Maka berteriaklah Sengkuni “aku menang dan Drupadi jadi milikku”. Para Kurawa pun bersorak gembira, termasuk Dursasana. Dursasana lalu diam-diam masuk ke kamar mencari Drupadi untuk diambil secara paksa. Dursasana dengan cekatan mengulurkan tangan menangkap Drupadi, berhasil meraih sanggul hingga rambutnya terurai. Para Kurawa juga berupaya mempermalukan Drupadi dengan berusaha menelanjanginya.
Drupati bukan main sedih dan malu. Ia dipertontonkan dan diperlakukan seperti barang. Sambil meneteskan air mata Drupadi seraya berkata, “Oh tuan-tuan dan hadirin sekalian, jika kalian mencintai ibu dan para perempuan, seharusnya tidak boleh ada peristiwa semacam ini”.
Cuplikan kisah pewayangan tersebut dimaksudkan sebagai lambang hidup dan kehidupan. Kisah pewayangan ini seakan bertutur dan memberi nasihat kepada siapa saja. Yaitu sebuah potret masyarakat di sebuah negeri yang demikian jahat dan kejam tidak berperikemanusiaan, perempuan dipertaruhkan layaknya materi dan uang. Sungguh kehidupan masyarakat yang melecehkan martabat perempuan seperti dalam kisah itu tidak kita harapkan ada. Perjuangan Kartini meneguhkan emansipasi perempuan adalah sebuah iktiar supaya tragedi Drupadi, pelecehan derajad perempuan, tidak terjadi.
Semangat mengangkat derajat perempuan untuk bisa sejajar dengan pria itu yang diperjuangkan Kartini. Saat ini semangat emansipasi yang dinyalakan Kartini sudah tampak di negeri ini. Tapi perjuangan belum paripurna. Di era globalisasi ini masih banyak perempuan yang diperlakukan semena-mena dan tidak adil layaknya Drupadi.

Hari-hari ini kita banyak dikejutkan dengan berbagai potret miris tentang perempuan. Banyak perempuan yang dijerumuskan dalam prostitusi dan perdagangan manusia, banyak perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Begitu pula ketika banyak perempuan berupaya mandiri dengan bekerja di luar negeri, mereka sering kali justru jadi korban penganiayaan dan diperlakukan seperti budak.
Hari Kartini sepatutnya bukan hanya menjadi sebuah perayaan yang setiap tahunnya diulang-ulang hanya untuk mengingat perjuangan Kartini. Ini adalah sebuah renungan bagi kaum perempuan. Di mana perempuan harus mulai berpikir dan merenung akan bagaimana esensi emansipasi perempuan yang sesungguhnya.
Esensi peringatan hari Kartini mestinya juga tidak hanya ditujukan kepada kaum perempuan saja. Kaum pria juga mesti terlibat. Antara perempuan dan pria harus saling menghormati dalam berbagai lini kehidupan. Kaum pria harus terus berjuang meyakinkan perempuan untuk menjadikannya lebih baik dan bermartabat. Karena sesungguhnya perempuan adalah ibu dari semua masyarakat. Mereka seharusnya mendapatkan hak setara, bukan sebaliknya. Salah satu kuncinya adalah pendidikan. Melalui pendidikan yang baik, masyarakat, termasuk perempuan, akan semakin cerdas dan berdaya. Sebab di tangan perempuan pula masa depan bangsa ini berada.
Selamat merenungkan peringatan hari Kartini. Maju terus perempuan Indonesia!