“Bila diam berarti emas, maka perlawanan adalah berlian yang kami kemas.” –Eye Feel Six – Kontradiksi.
Pada 2012 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Kepres Nomor 10 Tahun 2012 menetapkan 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional. Tanggal itu dipilih berdasarkan tanggal kelahiran W.R Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya yang dianggap sebagai musisi pemersatu bangsa.
Semangat persatuan yang hadir pada lirik Indonesia Raya menjadi alasan mengapa lagu tersebut dikatakan sebagai lagu pemersatu bangsa. Pun gairah perjuangan turut hidup di dalamnya.
Kini, musik tanah air dari mulai label rekaman hingga musikus semakin merebak. Dari yang populer, hingga yang indie. Dari yang sendu, hingga yang menderu.
Bagi sebagian masyarakat, musik hanya menjadi suguhan untuk telinga jika dinikmati dari segi seni dan lirik-lirik yang puitis saja. Tak sedikit remaja hari ini, hanya menikmati musik sebagai pelipur lara saja. Namun ada yang bersikap sebaliknya, salah satunya adalah para penggemar musik Punk — walau tak selamanya punk, ada pula hardcore, hip–hop, metal, dsb.—yang lekat sekali dengan tradisi filsafat anarkisme.
Anarkisme di sini bukan dalam artian kekacauan atau kerusuhan yang seringkali media arus utama katakan. Menurut Proudhoun, anarkisme adalah teori politik yang bertujuan menciptakan anarki, ketiadaan tuan, tanpa raja yang berkuasa. Lebih kongkritnya, anarkisme adalah sebuah pemikiranyang mana pada tujuan utamanya melawan sebuah bentuk dominasi dan hierarki yang ada pada pemerintahan terpusat. Menolak adanya sebuah negara yang menjadi sumber penindasan baru, adalah tujuan utamanya.
Punk, dalam sejarah kelahirannya, tercipta dan terbentuk dari sebuah kondisi sosial dan politik di Inggris pada masa lalu yang bergejolak dan tak stabil. Kemudian merambah sampai Amerika, bahkan hingga Indonesia. Maka tak heran bila musik yang digagasnya pun sarat akan sebuah perlawan dan bercampur dengan ideologi anarkisme.

Di Indonesia, sebagai contoh ada beberapa band yang lebih memilih bermain di jalur Punk—dan tentu saja bergerak pada jalur indie. Salah satunya, Jeruji. Band yang lahir di Bandung pada 1996—terlepas dari hengkangnya Aldony sang vokalis, sampai saat ini masih meyakini bahwa musik merupakan sebuah medium penyampai pesan dan kritik yang efektif terhadap kondisi sosial, politik, hingga sistem pemerintahan yang dinilai jauh dari kata stabil.
Tengok album ke-5 mereka yang bertajuk “Stay True”. Deretan daftar putar dari track nomor 1 hingga nomor 10 sarat akan perlawanan dan pembebasan. Lagu Dibungkam, misalnya, berisi kritik terhadap pemerintah yang seringkali bertindak represif kemudian demokrasi yang dinilai menjadi pupuk lahirnya tirani, disajikan lewat lirik yang dibungkus secara apik.
Bukan hanya mengkritik pemerintah, tetapi persoalan sosial terkait isu SARA yang akhir-akhir ini menjadi sebuah landasan seseorang untuk mendiskreditkan, turut dibahas pula.
Masih di Bandung, ada pula Joey The Gangster. Band yang pada 2016 merilis EPalbum bertajuk “Barisan Kebencian” turut mengisi daftar panjang sebuah perlawan lewat musik. Lagu yang secara keseluruhan mengangkat tema sosial, politik, hingga teror religi, dibahas secara asik.
Begitu pula lirik lagu Sistem dari Puppen yang berupaya menggedor kesadaran kita akan kondisi rakyat saat ini. “Mungkin kita, masih terjajah dalam bentuk baru.Mungkin kita, figur-figur yang tertekan.”
Jika dikaitkan dengan kehidupan harian, hal itu sedikit banyaknya nyata adanya. Upaya menjadi seorang yang merdeka di negara yang merdeka ini masih menjadi sebuah persoalan. Kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, bahkan memilih menjadi seorang komunis menjadi sebuah hal yang tak lazim dan sesegera mungkin harus diberangus.
Ditambah lagi catatan-catatan merah masa lalu negara ini masih menjadi sebuah catatan merah. Tak ada penyelesaian yang berarti. Tragedi kemanusiaan 1965, 1998, Tanjung Priok, pembunuhan aktivis HAM Munir, hanya menjadi sebuah persoalan yang terus menjadi sebuah isu usang.
Band di atas hanyalah contoh kecil disekian banyaknya pegiat musik yang berada di jalur perlawanan yang masih bersemangat untuk menyuarakan perlawanannya lewat musik. Ketika untuk kesekian kali hari musik nasional diperingati, apakah ada perubahan yang berarti atau apresiasi dari pemerintah maupun masyarakat atas upaya penyadaran yang didendangkan oleh mereka yang percaya bahwa protes tak melulu turun ke jalan itu?
Musik-musik dengan distorsi hebat yang kadang dapat memengakan telinga bukanlah sebuah kaya ugal-ugalan semata. Karena saya percaya, musik tak hanya sekadar seni yang dapat dinikmati untuk memenuhi hasrat bahagia maupun kecewa. Jauh dari itu, ia adalah sarana penyadaran dan pencerdasan bangsa.
“… Di negara penjajah kita menang
Di negara merdeka kita berperang
Berperang untuk merdekakan diri…”
* Terbuang Terasingkan oleh Joey The Gangster
Tentang penulis:

Muhammad Syahid Syawahidul Haq. Mahasiswa Departemen Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Pendidikan Indonesia. Pegiat Lembaga Pers Mahasiswa Isola Pos, UPI.