Tahun lalu 2015 adalah tahun pertama saya mulai rutin olah raga berlari. Sebeneranya memilih olah raga lari ini bukan keinginan sendiri, lebih karena ikut-ikutan tren “kekinian”, juga karena di”jebloskan” temen-temen Ayah ASI.
Halah..lari ini, siapa aja bisa, anak kecil aja bisa.
Masih teringat Awal-awal lari, hanya seputaran lapangan bola sudah nyerah, kepala pusing, nafas tersengal sengal, jalan sudah kayak orang mabok. Nah..pada posisi ini saya banyak terima kasih pada teman-teman para AyahASIrunners, mereka malah memberi support. Akhirnya lama-kelamaan saya bisa menambah kilomater. Pada tahun 2015 pula, debut pertama kali saya mengikuti Bali Marathon, saat itu kategori HM (21k). Finish dengan catatan waktu 3 jam 13 menit. “Ya Allah… saya bisa berlari dengan jarak sejauh ini..”. Haru dan bangga saat mengenakan medali HM pertama saya
2016, akhirnya saya memutuskan untuk melepas Virgin Marahon di Bali Marathon. pilihan ini lagi-lagi karena “dijebloskan” teman-teman dari AyahASIrunners. “Udah FM aja..tinggal dikali 2 jarak HM”. Akhirnya saya mengambil tantangan ini, saya akan membuat cerita untuk anak cucuku kelak, kalau saya pernah berlari 42,195 kilometer!
PERSIAPAN
Jika kamu gagal mempersiapkan, maka kamu sedang mempersiapkan kegagalan. (Benjamin Franklin)
42,195 kilometer bukan jarak yang pendek. “Hanya 2 kalinya Half Marathon“, iya bener 2 kalinya, tapi itu jauuuhhh. Bagi yang tinggal di Bali, begini cara gampang bayanginnya: Renon ke Nusa Dua kalau lewat Sesetan dan By pass itu 35 kilometer, trus ditambah muterin BTDC 7 kilometer. Kalau naik motor dengan kondisi lengang dan kecepatan rata-rata 20 kilometer per jam, butuh waktu 2 jam lebih. Membayangkannya saja sudah membuat saya gemetar.
Jadi, untuk berlari dengan jarak sejauh itu harus mempersiapkan diri secara maksimal, agar tidak terjadi apa-apa, kalau kawan-kawan lari sering bilang finish strong. Banyak yang bilang kalau rute Bali Marathon ini berat. Saya mempersiapkan diri dengan mengikuti program jarak jauh dari EARP selama 16 minggu. EARP (Endurable Akbar Running Program) sebuah program latihan yang dibuat kawan baik saya untuk menghadapi marathon. Bisa dibilang ini semacam sewa personal coach.
Selama 16 minggu saya jalani program latihan, tidak hanya latihan lari, tapi juga tentang pola makan, dan latihan fisik lain. Saya lakukan selama 16 pekan program latihan. Meski masih sering bolong-bolong, kadang pola makannya juga gak disiplin, tapi lumayan lah dapan bonus turun berat badan lima kilogram.
Tiga minggu sebelum race, Saya demam satu pekan, duh… Gak jelas karena apa. Awalnya setelah latihan 30 kilometer di hari Minggu, pada Selasa sore saya mulai demam, sampai 39 celcius. Esok paginya sembuh seperti biasa, tapi sore harinya demam lagi, begitu terus berulang sampai hari Jumat sore.
Jumat itu saya ke dokter dan diberi obat penurun panas serta vitamin. Katanya tidak ada tanda-tanda fisik yang mengarah demam berdarah atau thypus. Namun, demam tak kunjung normal hingga akhirnya saya putuskan untuk cek darah. Dan hasilnya normar! Duh, saya tambah bingung. Tapi syukurlah pada hari ke tujuh badan saya sudah normal. Selama sakit dan waktu penyembuhan (kurang lebih dua pekan) saya tidak melakukan latihan. Aargghh…. jadi drop gini mental. auuu ahhh…
PERLOMBAAN
“If You Want To Run, Run A Mile,
If You Want To Experience A Different Life, Run A Marathon”
Emil ‘Czech Locomotive’ Zatopek
Sabtu, 27 Agustus 2016. janjian dengan teman-teman AyahASIrunners dari berberapa daerah untuk mengambil racepack di Westin Nusa Dua. Setelah ambil race pack langsung ke villa di dekat garis start. Kami keluarga AyahASIrunner menginap bareng-bareng, tujuannya agar bisa istirahat lebih lama. Karena kalau berangkat dari rumah bawa kendaraan sendiri atau naik shuttle yang disediakan panitia berangkat jam 3 pagi. Selain itu kami membawa anak-anak biar bisa istirahat juga.
Malam hari, sebelum tidur, saya mempersiapkan Running Gear (sepatu, kaos kaki, celana, baju, nomor dada, dll) biar besok lebih santai. Sambil mempersiapkan peralatan lari, saya bilang ke istri, “Nanti saya akan finish paling lama 5 jam, kalau sudah di km 40 aku telpon. Pas hampir garis finish aku pengen lari bareng sama Maika.”
Minggu, 28 Agustus 2016. Hari yang ditunggu-tunggu 7.500 peserta Bali Marathon, hari ini adalah hari di mana mengakhiri segala latihan selama 16 minggu terakhir, mengakhiri segala penderitaan selama latihan, mengeluarkan segala tenaga, teknik, dan segala daya upaya untuk hari ini.
Gun Start Full Marathon pukul 05.00 wita. Ribuan pelari melangkahkan kaki menunju garis start, ada beberapa tampak melakukan pemanasan, berbincang dengan teman baru, beberapa juga tampak foto-foto dengan artis yang ikut dalam Bali Marathon 2016.
Saya justru gugup. Dada bedetak keras, mau mimum air rasanya pengen muntah, makan permen gak enak, bawaanya kebelet pipis tapi gak keluar. “Duh bisa gak ya.. mampu gak ya…” (tau kan rasanya gimana mau melepas virgin?)
Lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh pelari bernyanyi bersama. Suasana yang seperti ini bikin merinding, hingga menggugah adrenalinku, tak bisa diceritakan bagaimana rasanya. Inikah yang dibilang teman-teman selama ini? ini kah rasanya.. Masya Allah saya akhirnya merasakan juga, bukan sekedar mendengar cerita.

Tepat pukul 05.00 Wita, start dimulai. Perjalan sepanjang 0 hingga 5 kilometer lancar. Ribuan orang memenuhi jalanan yang masih gelap yang hanya diterangi lampu jalan. Ada 43 negara yang ikut dalam Bali Marathon 2016. Mereka saling sapa dan saling menyemangati. Saya sesekali menyapa dan disapa. Setiap 2,5 kilometer terdapat water station, para peserta bisa minum disetiap water station itu.
Suasana hati senang sambil menikmati udara pagi yang segar khas udara pantai. Semangat berkobar, berlari pakai pace di bawah biasanya. Pace adalah istilah kecepatan dalam lari. Pace dinyatakan biasanya dalam berapa menit yang dihabiskan untuk menjangkau jarak tertentu.
Mendekati kilometer kelima, setelah beberapa menit berhenti untuk sholat subuh, saya lanjut berlari dan mulai menaikkan pace. Lokasi km 5 berada di Saba, Jalan Bypass Ida Bagus Mantra, rute sudah naik turun tapi masih dalam kategori ringan. Jalan lurus, sampai di Ketewel perempatan lokasi kilometer 10.
Dari Ketewel, kemudian belok ke kanan ke arah Pasar Seni Guwang. Rute sudah mulai naik terus. Banyak pemandangan sawah, dan anak-anak sekolah dasar memakai baju adat memberikan semangat kepada semua pelari, suasana Bali di sana dapet banget. Ini salah satu yang membuat Bali Marathon banyak diminati. Tahun ini kuota 7500 peserta habis dalam 4 hari saja.
Saat sampai kilometer 15 apa yang saya khawatirkan sejak awal masa latihan terjadi, cidera kambuhan pada engkel kanan. Waktu jaman kuliah saya pernah jatuh dari motor, sejak saat itu tanpa sadar, ketika berjalan kaki kanan menapak pada telapak bagian dalam. Saya baru sadar saat sepatu saya rusak, sol yang habis adalah kanan bagian dalam.
Sakit banget, rasanya seperti habis “keseleo”, saya masih berlari tapi pace pelan, pelan banget jauh di bawah pace saya biasanya. Saya lantas meminta es untuk kompres. Selain itu saya baluri engkel dan betis dengan balsam pereda nyeri.
Kemudian saya bertemu Bang Didi (anggota AyahASIrunners dari Bogor), saya lupa di kilometer berapa. Terima kasih Bang Didi tawaran bantuan dan semangatnya. Kehadiran Bang Didi memberikan suntikan semangat saya. Sambil menahan sakit saya terus berlari bersama dia, sampai akhirnya saya mempersilahkan Bang Didi untuk lebih dulu. Bang Didi, di sana saya belajar bahwa solidaritas adalah yang utama, mencapai garis finish adalah bonus.
Alamaaakk…hampir di kilometer 20, kaki terasa akan kram, otot-otot rasanya kayak ada yang menariknya. Saya baluri lagi kaki saya dengan balsam pereda nyeri. Selanjutnya saya kembali berlari.
Di antara kilometer 20 dan 21 saya bertemu rute sadis. Di sana ada “turunan maut” dan kemudian “tanjakan sadis”. Edaaannn ini bener-bener edan, ternyata lebih ngeri dari yang di ceritakan teman-teman. Saya susuri turunan dan tanjakan itu pelan-pelan, saya tak berani berlari takut lutut saya gak kuat atau malah jatuh menggelinding. Beberapa peserta lain memberi semangat dengan membaca dengan nyaring pesan pada kaos yang saya kenakan “Bikinnya berdua, urus anaknya berdua”.
Kilometer 21-31 ini titik terberat saya, saya hampir memutusnya untuk menyerah. Ada turunan tajam mirip di kilometer 20, tapi lebih pendek. Cidera engkel tambah sakit, ditambah seperti ada yang narik-narik otot kaki, ditambah sinar terik matahari makin menyengat, duh… neraka lagi bocor kayaknya. Saya merasa benar-benar diuji pada kilometeri ini. Jujur pada kilometer ini mental saya drop. Memang benar apa yang di katakan teman-teman, dalam Full Marathon selain kaki dan stamina berlari, kita harus menyiapkan mental yang kuat.
Di kilomater ini saya mengalami halusinasi, saya bilang saya diri saya sendiri “Ngapain ikutan kayak ginian”, “Ngapain saya begini”, “Tahun depan saya gak akan mengulang lagi”. Saya sempat ingin nangis, nahan sakit yang teramat sakit, sekaligus tidak bisa menjawab pertanyaan dari diri saya sendiri. Sumpah serapah, sampai hewan seluruh kebun binatang keluar dari mulut saya.
Seperti cerita yang sering ditonton Maika, seolah dalam kepala saya ada dua makhluk ghoib, yang satu mengajak untuk curang, Makhuk ini mengajak untuk naik ojek aja, toh pencatat waktu sangat sensitif, walaupun naik ojek waktu masih bisa ke cetak kok, toh nanti bisa turun di kilometer 38 trus lari, masih bisa dapat medali dan kaos finisher. Toh…
Sementara Makhluk ghoib satunya bilang “Ayo lanjutkan terus..jangan cemen kayak gini..kamu bisa lebih dari ini, kamu bukan pecundang!”
Di tengah gejok itu saya berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Di sana masih banyak teman-teman yang terus berlari. Saya merasa malu. Akhirnya saya memilih lanjut berlari, tidak pilih naik ojek . Capek, sakit, panas ? iya..tapi saya harus sampai garis finish dengan kemampuan saya sendiri. Saya tidak mau menyerah begitu saja. Saya pasti bisa.
Kilometer 32-38 (sudah berlari kurang lebih enam jam). Saya makin lelah, cuaca semakin panas, tapi syukur sudah tidak lagi berhalusinasi. Saya berlari dengan kaki pincang sambil menahan sakit. Di setiap water station saya berhenti sebentar, meminta es batu untuk kompres dan balsam untuk saya oleskan ke kaki.
Saya teringat anak dan istri yang sedang menunggui di garis finish. Ah… mereka sudah menunggu saya terlalu lama. Padahal, saya sudah terlanjur bilang ke istri saya kalau target finish paling lama lima jam. “Nanti saya telpon pada kilometer 40. Nanti 200 meter sebelum finish saya akan berlari bersama Maika.”
Membayangkan anak dan istri sudah menunggu di garis finish membuat saya kembali bersemangat. Saya harus lebih cepat sampai di garis finish.. Saya harus sampai.
Kilometer 39-40, saya menerima telepon dari istri kalau finish 30 menit lagi. Saya berlari lebih cepat, saya sudah tidak perduli dengan rasa sakit. Saya harus membuat bangga Maika, saya ingin menunjukan bahwa ayahnya menamatkan 42,195 kilometer dengan berlari tanpa berbuat curang. Tunggu ayah di garis finish ya nak….saya berdoa “Ya Allah..berilah saya kekuatan..paringi kulo power sebanyak-banyaknya.”
Kilometer 41-42 akhir terlihat tanda-tanda mendekati garis finish, terdengar lamat-lamat MC bilang kalau COT (Cut Of Time) kurang 15 menit!
Saya mempercepat lari, sekuat tenaga saya berusaha untuk terus lari. sampai 500 meter sebelum finish peserta lari yang lebih dulu finish memberi semangat.”Ayooo..kurang sedikit lagi” “Ayooo kurang lima menit lagi.”
kilometer 42 saya lihat waktu 6 jam 57 menit , saya tambahkan kekuatan berlari saya. Saat itu saya melihat Maika berlari ke arah saya. Ia berlari sambil memakai medali yang sudah dia dapatkan di kategori anak-anak. “ayaahhhhhhh…..” dia berteriak.
“Istriku maafkan suamimu, anakku maafkan ayahmu…, membuat kamu menunggu terlalu lama, ayah belum bisa mempersembahkan catatan waktu terbaik.. terima kasih menyambut ayah dengan riang gembira.”
Akhirnya, saya finish 58 detik sebelum Cut of time..I am marathoner!!
*Waktu menulis ini, saya sudah pengen lagi ikut FM, semoga FM berikutnya dapat catatan waktu lebih baik*
Tentang Penulis:

Kholik Mawardi, Alumni Majalah Mahasiswa Pesona Wisata, PS Pariwisata Universitas Udayana, Bali.