Indonesia adalah Negara yang memiliki 659 suku bangsa. Pun beragam dari segi agama dan kepercayaan. Indonesia Plural sejak awal. Realitas itu tidak memungkinkan Indonesia menahbiskan diri sebagai negara bangsa yang berpondasikan pada satu suku bangsa dan atau agama tertentu.
Indonesia memilih mengikatkan diri menjadi satu melalui bahasa.Lee Kuan Yew dalam buku One Man’s View of the World menyatakan bahwa Indonesia memiliki satu warisan berharga yang ditinggalkan para pendiri, yang membuat Negara ini mampu bertahan hingga saat ini. Warisan yang bahkan lebih dulu hadir daripada Republik Indonesia, yang pada 17 Agustus 2018 nantigenap berusia 73 tahun. Warisan itu bernama bahasa Indonesia.
Bahasa adalah identitas sebuah Negara. Negara dan bahasa ibarat dua sisi mata uang. Mereka tak bisa saling menafikkan keberadaan masing-masing. Negara yang berdaulat memerlukan bahasa yang digunakan untuk menjamin keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan. Sementara bahasa membutuhkan komunitas penutur yang menjamin keberlangsungan penggunaannya.
Dalam konteks Indonesia, bahasa Indonesia hadir sebagai alat pemersatu antar suku bangsa yang berbeda bahasa daerahnya. Kehadiran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan proses politik yang panjang, yang diawali dalam Sumpah Pemuda 1928. Proses politik itu kemudian diteguhkan dalam UUD 1945 pasal 36 tentang Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dan UU No 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang Negara, serta lagu kebangsaan. Indonesia dengan sadar memilih untuk merajut, menenun, serta memintal keindonesiannya melalui benang bahasa Indonesia.
Rasa keindonesiaan hadir dalam bahasa Indonesia bukan dengan tiba-tiba. Pada Kongres pertama Pemuda 1926, Muhammad Yamin menyampaikan usulannya terkait butir ketiga Sumpah Pemuda yang berbunyi “Kami poetra dan poetri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Melayu”. Usulan Yamin dikritisi oleh Sanusi Pane dan M. Thabrani yang berargumen jika butir ikrar pertama dan kedua berbunyi “Tanah Air Indonesia” dan “Bangsa Indonesia”, maka butir ikrar ketiga harus sejajar dengan menggunakan frasa “Bahasa Indonesia” dan bukan “Bahasa Melayu”.
Bahasa Indonesia lebih berterima dibandingkan bahasa Melayu, yang merujuk pada suku bangsa tertentu. Rasa keindonesiaan yang plural tereflksikan dan terwadahi dalam bahasa Indonesia. Sampai hari ini ekspresi lisan dan tulis kita tuangkan dalam bahasa Indonesia, meski kita juga fasih melafalkan bahasa daerah dan bahasa asing.
Ekspresi Bahasa Indonesia di Tahun Politik
Perjalanan 73 tahun sebagai sebuah bangsa merdeka melatih daya tahan dan rasa keindonesiaan kita. Ekspresi tentang keindonesiaan begitu mudah dilakukan saat ini, khususnya melalui media sosial. 24 jam dalam sehari, tujuh hari dalam sepekan, dan 30 hari dalam sebulan, siapapun dapat menyampaikan pandangannya, pemikiran serta sikapnya perihal Indonesia. Aktivitas politik di Jakarta maupun di daerah dapat dengan mudah dicari tautan berikut komentar-komentar yang menyertainya di media sosial, termasuk di platform grup WhatsApp, Telegram, Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat, dan lainnya.
Ekspresi itu dikemas dalam rupa-rupa teks dengan berbagai konten. Aktivitas mengekspresikan dan mengomentari perihal Indonesia di media sosial menjadi aktivitas sehari-hari yang menyita atau bahkan menggantikan kebiasaan sebelumnya, seperti membaca koran, buku, dan lainnya. Data dari WeAreSocial pada Januari 2015 menyebutkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu tiga jam sehari untuk mengakses media sosial dengan bermacam platform.
Di satu sisi aktivitas mengekspresikan rasa keindonesiaan yang massif di media sosial menunjukkan kegairahan dalam ikut memikirkan kelangsungan arah dan nasib bangsa ini. Itu salah satu indikator nasionalisme. Aktivitas itu juga berkontribusi signifikan pada pertumbuhan kosa kata bahasa Indonesia. Mahsun (2015) menyatakan bahwa kosa kata dan istilah bahasa Indonesia sudah mencapai 440.000 dengan ejaan dan tata bahasa yang sudah disempurnakan. Jauh sekali jika dibandingkan dengan 23.000 kosa kata dalam kamus bahasa Indonesia yang dikumpulkan pertamakali pada 1953.
Sayang, gairah mengekspresikan rasa keindonesiaan di media sosial belum dibarengi keterampilan berbahasa Indonesia dengan baik dan bertanggung jawab. Kasus ujaran kebencian (hate speech) di media sosial juga meningkat tajam. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya mencatat 1000 lebih kasus yang berkaitan dengan provokasi dan pencemaran nama baik melalui media sosial.
Pada 2018, Indonesia akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 171 daerah. Tepatnya di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) menetapkan tanggal pencoblosan yaitu pada 27 Juni 2018. Tahun ini hingga 2019, disebut para pakar politik sebagai tahun politik. Tahun untuk menentukan pemimpin daerah maupun pemimpin nasional.
Tak dapat dimungkiri, eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa yang majemuk tengah diuji, pra dan pasca Pemilihan Presiden 2014. Ujaran kebencian seakan menjadi hal yang biasa dalam berinteraksi, khususnya di dunia maya. Keterampilan berbahasa Indonesia yang diajarkan dan dipajankan di sekolah dan jenjang pendidikan tinggi menjadi tidak berjejak ketika melihat realitas yang muncul di dunia maya.
Ekspresi keindonesiaan kita hari ini di media sosial menjadi cermin betapa masih minimnya kemampuan mempraktikkan laku sebagai manusia Indonesia yang sejatinya plural melalui komunikasi bahasa Indonesia yang baik dan bertanggung jawab. Dalam kasus ujaran kebencian yang berbau SARA, bahasa Indonesia seolah hanya diproduksi sebagai bahasa yang digunakan untuk menyerang, mendiskreditkan, merisak, mencaci, bahkan merusak reputasi pihak lain tanpa data yang memadai. Sebagian dari kita abai pada sejarah kehadiran bahasa Indonesia dalam menyatukan keberagaman negeri ini. Kita seperti lupa bahwa pendiri Negara bangsa ini membangun nasionalismenya melalui rajutan benang bahasa Indonesia.
Ketahanan Bahasa Indonesia
Tak akan tumbuh rasa cinta pada Indonesia jika kita sendiri abai pada bahasa Indonesia. Identitas keindonesiaan kita diteguhkan melalui bahasa Indonesia. Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan, untuk keduakalinya para pendiri bangsa menunjukkan keteladanan mereka dalam menyikapi perbedaan serta keragaman yang dimiliki Indonesia, dengan mengesahkan UUD 1945 yang mendudukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan.
Memutuskan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan adalah pilihan sulit saat itu, meski Sumpah Pemuda 1928 sudah memutuskan ikrar ketiga berbunyi ‘Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Para pendiri bangsa sepakat melepaskan ikatan suku bangsa masing-masing dan menanggalkan ego bahasa daerah demi terbentuknya nasionalisme pada Negara berdaulat yang baru diproklamasikan.
Teladan dan pelajaran yang dapat dipetik dari kesediaan para pemimpin Indonesia terdahulu meninggalkan sekat ikatan suku bangsa dan bahasa daerah menjadi modal berharga yang wajib dijaga baik-baik.Penulisan ulang sejarah relasi pembentukan Negara dan bahasa indonesia ditujukan untuk memberi pemahaman dan penguatan bagi peserta didik terhadap karakter nasionalis, yang menjadi satu dari lima karakter utama (relijius, integritas, nasionalis, gotong royong, dan mandiri) yang dikembangkan oleh Kemendikbud melalui Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Penulisan ulang sejarah relasi Negara dan bahasa Indonesia juga dimaksudkan untuk menumbuhkan sikap menghargai dan mengutamakan bahasa Indonesia, percaya diri untuk menguasai bahasa asing, dan memiliki rasa tanggung jawab untuk melestarikan bahasa daerah yang ada di Indonesia.
Keindonesiaan dan bahasa Indonesia kita adalah dua hal yang hendaknya menjadi bekal bincang bersama di ruang-ruang dialog formal maupun informal untuk meneguhkan kembali pengakuan terhadap kebinekaan kita yang akhir-akhir ini terdistorsi akibat sikap intoleran, perbedaan preferensi pemimpin dan partai politik. Pemimpin dan tahun politik boleh datang dan pergi, tetapi tegaknya negeri ini melalui ikatan bahasa Indonesia tetap harus diperjuangkan. (Foto: Ilustrasi/Pixabay)
Penulis:
Ari Ambarwati (Alumni Tabloid SAS Fakultas Sastra Universitas Jember, kini sebagai Dosen dan Ketua Pusat Studi Literasi di Universitas Islam Malang)