Kita yang begitu latah istilah asing. Terbaru soal ‘new normal’, padahal, padanannya dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) sudah ada.
New normal bisa diartikan jadi kenormalan baru. Ada lagi alternatif lain, seperti kewajaran baru atau kelaziman baru; kebiasaan baru atau bisa karena biasa; serta bahkan biasa yang baru.
Apa susahnya gunakan salah satu di antara ini? Kalau sudah begini, tujuan kita belajar Bahasa Indonesia lantas untuk apa? Untuk menambah mata pelajaran/kuliah saja di kursi pendidikan atau biar terdengar cinta bahasa lokal? Barangkali iya!
Menyambung dan mengaitkan dengan Keren. Bisa jadi pemerintah kita ingin itu, yang jelas saja abai dengan nasionalisme di ranah kebahasaan. Ah, tapi kita sudah terbiasa dengan kejutan-kejutan konyol dari negara soal beginian. Mulai ‘berdamai dengan Virus Corona’, ‘Corona layaknya Istri’, dan masih banyak lainnya.
Soal New Normal, kali pertama disampaikan Presiden pada Senin lalu (25/5/2020) dan kini terus digaungkan. Layaknya, kampanye Industri 4.0. Meskipun dua hal yang berbeda tapi polarisasi sama saja. “Kita lawan Covid-19 dengan kedepankan dan mewajibkan protokol kesehatan ketat,” kata Presiden.
Menjadi pertanyaan kemudian, saat ada pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah/kota saja, masyarakat belum disiplin menerapkan itu. Apalagi new normal yang bisa dipahami secara awam ialah “kegiatan ekonomi mulai dibuka tanpa memedulikan kurva positif corona yang belum fase puncak”. Ini, amat sangat punya risiko besar dan tinggi terkait potensi penularan dan penyebaran SARS-CoV-2 tersebut.
Menilik kebijakan demi kebijakan pemerintah soal penanggulang Covid-19, geli-geli sedap memang. Misalnya, kepala negara ketika itu minta agar pelaksanaan tes polymerase chain reaction (PCR) lebih dari 10 ribu kali dalam sehari, belum jelas soal ini sampai sekarang berapa banyak yang sudah dites, lalu muncul PSBB,…… hingga akhirnya muncul new normal. Gitu kali ya, satu belum beres malah ada yang lain. Maunya negara apa?
Beberapa kali penyelenggaraan negara terdengar menyampaikan penerapan new normal ini berkaca pada negara Eropa, seperti Australia dan Jerman. Boleh saja jadi referensi terus adopsi kebijakan itu dalam negeri, tapi liat sikon juga Boss, apa yang sudah kita perbuat, tahapan demi tahapan jika mengimplementasikan new normal itu.
Jika bicara Australia, adalah menjadi negara yang melakukan tes virus corona terbanyak di dunia. Catat itu. Pada Kamis, 2 April lalu saja, angka tes di negara Kangguru ini sudah lebih dari 260 ribu penduduknya dan kini tentu saja sudah sudah bertambah. Dari angka itu, bisa simpulkan bahwa tes Covid-19 sudah satu persen dari jumlah penduduk Australia, yang saat ini berjumlah 260 juta.
“Australia sekarang mencapai taraf 1.000 tes per 100 ribu penduduk. Ini berarti 1 persen dari jumlah penduduk. Kita adalah negara pertama, sepengetahuan saya, yang mencapai taraf tersebut,” ungkap Perdana Menteri Australia, Scott Morrison saat itu.
Tingginya tingkat pengetesan membuat Australia sekarang mampu mencegah angka penularan yang tidak terkendali. Sehingga bisa membuat kebijakan dengan benar dan bijak dengan berbasiskan data tentunya saja.
Lain Australia, lain pula Jerman. Kanselir Jerman, Angela Merkel, dalam sebuah pidato pada Maret lalu, mengatakan bahwa Pandemi Covid-19 merupakan musibah terburuk setelah Perang Dunia 2 dan berdampak sangat serius.
Kerena itu, menurutnya, dibutuhkan pola penanganan yang serius dan sistematis yang menerapkan protokol kesehatan masif seperti menjaga jarak, melarang keras aktivitas di luar rumah, termasuk penutupan seluruh pelayanan publik, sekolah, universitas, hingga kegiatan bisnis atau usaha, kecuali yang esensial yakni logistik dan kesehatan.
Selain itu, menjaga jarak 1,5 meter di tempat umum dan melarang adanya kegiatan yang melibatkan keramaian. Pada perjalanan hasilnya mulai terlihat di pertengahan April, angka kasus positif mengalami penurunan. Kini berangsur-angsur melandai dan yang sembuh terus kian banyak.
Sejauh ini diketahui sebanyak 180 ribu warga Jerman terinfeksi Covid-19 dan jumlah ini sebanyak 164 ribu orang dinyatakan sembuh atau angka kesembuhan mencapai 82 persen.
“Pada 28 Mei, dimana pada hari ini tercatat 180 ribu warga di Jerman yang terinfeksi. Dan 164 ribu yang sembuh atau recover,” kata Duta Besar RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno ketika saya ikuti konferensi persnya di akun YouTube BNPB, Sabtu lalu (30/5).
Saat ini Jerman sudah memberlakukan new normal secara pelan-pelan dan ini bisa dilihat dari aktivitas di negara yang juga berjuluk ‘negara industri alat-alat berat’ dan ‘negeri panzer’, di kacah sepakbola itu.
Tapi yang perlu dicatat dan diketahui ialah negara dengan luas 357.021 kilometer persegi ini sudah melakukan sejumlah upaya penanggulangan Covid-19 secara konsisten dan serius, mereka sudah melakukan tes mencapai 4 juta. Ini adalah tes dengan peringkat ketiga terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Rusia.
Lagi-lagi soal tes, tes, dan tes Covid-19 kan? Setidaknya inilah yang harus dan sudah dilakukan Indonesia jika ingin terapkan new normal. Meskipun semestinya melakukan enam hal terkait seperti anjuran Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
WHO telah menetapkan standar yang tidak enteng dan ugal-ugalan jika pemerintahan suatu negara ingin menjalankan kebijakan new normal.
Adapun enam poin utama itu di antaranya: wabah dipastikan sepenuhnya terkendali, tersedia sistem kesehatan secara nasional yang sanggup mendeteksi, mengisolasi, lantas menangani setiap kasus, melacak peta penularan, dan memastikan masyarakat tetap patuh pada social distancing. Berat dan serius kan? Jelas, karena ini menyangkut hajat dan hidup atau nyawa orang banyak.
Balik lagi ke slogan new normal di Indonesia, eh salah, rencana pelaksanaan new normal maksudnya. Maaf keceplosan, namanya juga new normal jadi kenormalan lama agak hilang. Berkaca dari kedua negara di atas, setidaknya kita sudah punya tolok ukur bagaimana tahapan demi tahapan harus dilakukan menuju era new normal itu.
Jujur saja, fakta di Australia dan Jerman ini sangat jelas timpang dibandingkan dengan Indonesia. Lalu, apakah sudah layak atau relevan dan bijak melaksanakan new normal itu di Tanah Air? Anda tentu punya jawaban dan kesimpulan sendiri. Apakah pemerintah kita latah, biar keren, atau mau yang lain soal new normal?