Sebenarnya, apa signifikansi Panama Papers bagi Indonesia?
Apakah ketika semua nama orang kaya–yang kabarnya ribuan itu–dibongkar dan diketahui publik lalu orang miskin di Indonesia akan turun jadi di bawah 10 persen? Atau tingkat pengangguran turun jadi 4 persen, misalnya? Atau, apakah pertumbuhan ekonomi bisa tumbuh ke kisaran 6 persen? Atau indeks gini langsung bergerak ke level 0,3?
Sayangnya, tidak. Hehe…
Sebab, sistem ekonomi atau pasar keuangan yang menjadi payung bagi para orang kaya untuk menjalankan bisnisnya tidak pernah bekerja seperti itu. Selalu ada jeda antara informasi, yang bahkan sangat rahasia, untuk menjadi berharga bagi aktivitas ekonomi riil. Selalu.
Atau bahkan, informasi tersebut akan menghilang secara perlahan. Ditutupi. Lalu dilupakan.
Dari sisi keterbukaan informasi dan kerja-kerja jurnalistik, Panama Papers bisa jadi hal yang hebat. Namun, bila kita berharao air bah informasi itu bisa diubah menjadi alat untuk mendorong perekonomian domestik, pengetahuan tentang daftar nama saja jelas tidak cukup.
Dalam rutinitas bisnis, penggunaan perusahaan bayangan (shell company) alias special purpose vehicle (SPV) alias special purpose entity (SPE) atau dalam beberapa spektrum bisnis menjadi special purpose company (SPC) oleh perseorangan atau perusahaan untuk melakukan aksi usaha adalah praktek lazim. Bahkan, kadang menjadi keharusan.
Ilustrasinya seperti ini.
Sebuah perusahaan dengan badan hukum di Indonesia yang ingin menerbitkan surat utang (obligasi) atau meraup kredit di wilayah hukum negara yang bukan negara asalnya, seperti Singapura misalnya, maka ia harus tunduk terhadap ketentuan Singapura. Artinya, ia akan membentuk badan hukum baru yang memenuhi persyaratan hukum Singapura.
Pada titik inilah, perusahaan dari Indonesia tersebut harus membentuk SPV guna mengeksekusi penerbitan obligasi itu. SPV ini bisa saja digunakan hanya sekali, yakni menerbitkan obligasi tertentu pada jangka waktu itu saja, atau bisa melakukan penerbitan berkali-kali. Terserah pemilik saham pengendalinya, yaitu perusahaan berbadan hukum dari Indonesia tadi.
Dalam konteks Panama Papers, SPV ini diduga digunakan untuk tujuan penghindaran pajak secara penuh sehingga menjadi ilegal (atau disebut tax evasion) atau mengurangi beban pengenaan pajak (tax avoidance).
Caranya, tentu saja contoh ini akan menjadi sangat ringkas sehingga oversimplikasi, sebuah korporasi (dalam skala lebih besar menjadi konglomerasi, dalam skala lebih kecil menjadi perseorangan) akan mengalihkan sebagian besar harta dan aset ke SPV yang dibentuk di negara tax haven–seperti Cook Island, British Virgin Island, dll.
Proses pengalihan aset bisa menjadi jauh lebih rumit ketika diiringi oleh proses layering, yaitu ketika suatu ‘pelarian’ aset tidak langsung kepada SPV yang dituju, melainkan melalui beberapa SPV lain. Atau sebaliknya, perusahaan/konglomerasi/perseorangan tersebut menyebarkan aset dan hartanya kepada lebih dari satu SPV di lebih dari satu negara tax haven.
Di sinilah Mossack Fonseca & Co. yang berbasis di Panama–negara yang begitu tunduk kepada Amerika Serikat–berperan. Perusahaan yang didirikan oleh Jurgen Mossack dan Ramon Fonseca ini memiliki keahlian untuk membentuk proses dan menyulap pengalihan aset melalui pembentukan SPV yang dilakukan dengan cara yang legal.
Dalam prakteknya, shell company atau SPV ini bukanlah sebuah entitas bisnis seperti pada umumnya. SPV ini barangkali ‘hanya’ ruangan kosong di sebuah rumah, atau mungkin yang menggelikan, sebuah kotak pos.
Kata ‘diduga’ di atas menjadi krusial karena nama-nama yang terdaftar di Panama Papers tidak serta merta menyalahi aturan perundang-undangan. Para orang berduit ini mungkin melakukan sesuatu yang tidak etis, tapi tidak (atau belum) melanggar hukum. Sehingga, sejumlah nama yang sudah dikonfirmasi pun dengan santai menjawab kalau hal ini adalah biasa.
Di sinilah persoalan kunci yang sekaligus menjadi pertanyaan besar. Mampukah otoritas di Indonesia melacak pelanggaran hukum, baik pidana maupun pajak, orang-orang yang terekam di Panama Papers ini?
Padahal, sejauh pencarian di laman otoritas ini, Otoritas Jasa Keuangan yang menjadi regulator bursa saham–tempat berkumpul dan bermainnya perusahaan terbuka, yang sebagian kepemilikannya dimiliki oleh publik, yang wajib melaporkan apa saja perilakunya kepada publik melalui keterbukaan informasi–belum pernah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan adanya keterbukaan kepemilikan SPV.
Atau sanggupkah, misalnya, Gatot Subroto-1 alias Ditjen Pajak dan Lapangan Banteng-1 alias Kementerian Keuangan membuktikan ada niat atau bahkan praktek penghindaran pajak melalui penggunaan jasa Mossack Fonseca oleh orang atau perusahaan yang berbasis sehingga terkena ketentuan hukum Indonesia?
Sebelum melangkah ke sana, ada beberapa data menarik yang bisa diperhatikan. Global Financial Integrity (GFI) mencatat aliran dana haram atau illicit yang berasal dari penghindaran pajak dan aktivitas ilegal Indonesia mencapai US$ 6,6 triliun dalam satu dekade terakhir.
Hanya dalam kurun 2003 sampai 2012, aliran dana illicit dari Indonesia meningkat lebih dari tiga kali lipat dari US$ 297,41 miliar menjadi US$ 991,3 miliar, atau secara rata-rata meningkat 9,4 persen per tahun. Dalam laporan GFI tersebut, Indonesia menduduki peringkat ketujuh terbesar sebagai negara asal dana illicit di seluruh dunia.
Kedua, sudah ada sinyal bahwa pemerintah mengetahui aliran dana itu. Salah satunya, ada 2.000 perusahaan berbasis penanaman modal asing (PMA) yang tidak membayar pajak dalam 10 tahun karena mengklaim bisnisnya rugi, dan anehnya, terus beroperasi hingga kini. Dengan data ini dan lainnya yang sudah terpegang, kata pemerintah, tax amnesty atau pengampunan pajak bisa efektif.
Sampai di titik ini, satu hal yang tidak kalah penting dan tidak bisa dilupakan adalah: bisakah dana-dana di luar itu, diiringi ‘tembakan’ kepada perusahaan dan individu, bisa masuk dan bertahan cukup lama di dalam negeri sehingga memberi ‘tambahan darah’ bagi perekonomian riil? Mampukah?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, sebelum lebih dalam dan serius lagi, ada baiknya kita nikmati saja dahulu orkestrasi ledakan Panama Papers ini…
Tentang penulis

Arys Aditya, alumni UKPKM Tegalboto, Universitas Jember. Kini menjadi wartawan harian Bisnis Indonesia