Pak Im yang Selalu “Always”

646
KH Hasyim Wahid

Pertama kali bertemu, medio 1994 di sebuah gang kecil di bilangan Jalan Dewi Sartika Jakarta. Sebuah kantor LSM HAM, tempat berkumpul aktivis, yang konteks waktu itu dalam sebuah kesepakatan bersama rekan-rekan satu visi demokrasi untuk advokasi 21 mahasiswa yang ditahan di Salemba.

Aksi pertama anti-Soeharto yang melibatkan jaringan sejumlah kota di Jawa yang distimulasi penembakan dua orang petani di Nipah, Kabupaten Sampang.

Pria gempal berambut keriting dikuncir, kelihatan kuncir yang terlalu dipaksakan. Soalnya kelihatan sama sekali tidak pantas. Tatapan matanya tajam, meletup-letup gaya bicaranya, nyaris semua materi dari masa lalu sampai konteks paling mutakhir dikuasai. Di akhir kalimat pasti terjadi ledakan tawa keras.

Guyonannya tidak pernah kering, khas NU. Maklum, beberapa bulan kemudian baru saya tahu dia adalah cucu Hadrastussyaikh KH Hasyim Asyari. Karena selama bergaul tidak pernah menyinggung kapan berhaji, tapi kebetulan cucu pendiri NU, banyak yang memanggilnya Gus. Anak pendiri atau setidaknya pengasuh pondok pesantren.

Tapi saya lebih suka memanggilnya Pak Im. Kompletnya KH Hashim Wahid. Ini ejaan yang benar dan sahih, soalnya saya pernah mengetik bareng saat menyusun pertanyaan yang harus saya ajukan kepada salah satu pangdam waktu itu dan segera saya setorkan ke bagian intel sebelum dinaikkan ke kasdam sebagai bahan pembicaraan.

Dalam beberapa kesempatan, Pak Im senantiasa menyelipkan masa lalu mengapa sampai akhir hayat banyak yang menyebut “jadzab”. Saya menyebut lebih tepatnya nyentrik atau cenderung nyeleneh setidaknya bagi otak yang kadung ter-setting seorang gus harus berpeci, berbaju koko dan bersarung. Jauh dari kesan seorang cucu pendiri NU. Sangat jauh, bahkan teramat jauh dari kesan sekarang dalam istilah kadrun hehehehe.

Informasinya selalu mutakhir, orang cenderung terkaget-kaget mendengarnya. Bila Gus Dur, sang kakak, beberapa tahun kemudian baru diketahui maksudnya, Pak Im cederung analisanya dalam jangka pendek. Kira-kira dalam jangka bulan kemudian estimasi dan analisanya banyak yang terbukti. Meskipun ada yang tidak. Manusiawi.

Lompatan-lompatan kalimat, analisis, bahkan praksis kadang terlalu ekstrem. Suatu saat diajak jalan bareng Pak Im, kehabisan uang untuk biaya menginap. Tak ada yang buat sewa sekadar losmes kecil, dia ajak menginap di rumah teman. Dalam bayangan, paling mau diinapkan di pondok pesantren atau setidaknya di rumah salah seorang kerabat di PBNU. Ternyata saya salah besar, Pak Im malah mengajak saya menginap di Jalan Semeru di Grogol. Salah satu seminar Katolik!

Di saat berbeda, medio 1996 pernah menemani Pak Im sewaktu Gus Dur bercerita hasil roadshow ke beberapa tempat wingit di Jawa. Bercerita soal bertemu “makhluk astral” (meminjam istilah klenik popular di TV swasta) di Batutulis Bogor. Indonesia untuk mengganti Orde Baru butuh pengorbanan anak muda. Soalnya Gus Dur bercerita soal sosok astral itu memondong mayat terbungkus rapi dan beraroma anak muda.

Habis itu mengalir deras perihal Indonesia harus mengakhiri era “Anak Menteng”, era anak-anak para elite politik masa lalu yang memang kebanyakan berdiam di daerah Menteng. Padahal, Gus Dur dan Pak Im sendiri pernah tinggal di Menteng dan menceritakan bagaimana pernah main kelereng bareng bersama anak-anak Soekarno, Sumitro Djojohadikoesoemo, bahkan anak-anak elite PKI masa itu!

Disela tawa berderai, saya rasa itulah saat-saat munculnya gerakan anti-elitis yang kemudian digaungkan rekan-rekan aktivis. Kobaran semangat saya waktu menjadi wartawan yunior pun kadang-kadang terprovokasi analisa-analisa itu. Beberapa kali diprotes pembaca, bahkan senior yang menjadi atasan saya di media, tulisan saya sudah terlalu banyak menulis tentang orang kesrakat. Sebuah intuisi tanpa sadar akibat “provokasi” Pak Im. Pesannya yang selalu saya ingat, “Banyaklah menulis sesuatu yang jarang atau setidaknya tidak pernah ditulis wartawan lain.”

Pilihan itu jatuh untuk menulis orang “kesrakat” tadi. Pilihan yang semula terjadi tanpa sadar yang kemudian menjadi kesadaran penuh. Dari situ lahir liputan saya tentang eks PKI di Blitar Selatan, dari Kademangan sampai Gondanglegi di pinggiran pantai selatan Blitar, dekat Umbul Tuk, sebuah gua tersembunyi tempat petinggi-petinggi PKI kemudian ditangkap.

Lahir pula tulisan tentang tanah yang dikuasai petinggi-petinggi negeri hasil dari rampasan, yang anehnya ada rampasan terjadi setelah tahun 1965. Pak Im pula yang mengilhami bagaimana mesti memihak para seniman dan buruh. Mengadvokasi melalui tulisan. Meskipun tidak dimuat, Pak Im selalu menyemangati, “Setidaknya kamu telah menulis.”

Yang sebenarnya saya tidak terlalu suka, Pak Im kadang bercerita jauh dari konteks rasionalitas saya sebagai wartawan. Saya mencoba memahami, tapi khawatir yang tidak paham bisa tercebur menjadi klenik. Pak Im merasionalisasi semua yang serba klenik ke dalam konteks kekinian.
Semua urusan terkait nama tempat, hari, penanggalan hingga nama seseorang kerap kali dikait-kaitkan dengan “isyarah”. Nah, urusan satu ini kerap kali Pak Im membikin perlambang yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh kalangan rasional, apalagi wartawan atau aktivis pro-demokrasi.

Di Malang, Pak Im biasa berbaur dengan kalangan aktivis LSM dan mahasiswa. Tempatnya di kediaman almarhum KH Usman Mansyur di samping Kampus Unisma, rumah sang pendiri atau di rumah Ahdi Furqon (kebetulan teman paling mapan karena ayahnya waktu itu Bupati Tapin Kalimantan Selatan Haji Mbah Noer di Jalan Salahutu Malang. Bila tidur (sepertinya sengaja merebahkan badan karena urusan tidur kelihatannya sangat jarang sekali) kebanyakan di karpet. Apalagi kalau kasur di kamar sudah dijejali teman-teman mahasiswa yang tidur berjajar seperti pindang.

Kesederhanaan itu pula yang mengilhami betapa degradasi sosial yang dipaksakan ke dirinya sendiri telah menjadi ruh sebuah Hashim Wahid. Suatu saat, Pak Im mengajak untuk jalan-jalan ke arah Ponorogo, menuju sebuah kecamatan bernama Sahung. Dia minta mengontrak rumah barang seminggu untuk sekadar mengaji. Tempat itu bernama Desa Tutup. “Buat menutup Orde Baru,” lagi-lagi dendam terhadap sebuah orde meluap-luap, tidak lupa diiringi bhuahahaha yang khas.

Pernah pula meminta teman-teman Forkom Malang mencarikan rumah di bilangan Pendem, sebuah desa di Kecamatan Junrejo (sekarang masuk Kota Batu Jawa Timur). Mengapa harus desa ini yang dipilih? “Pendem artinya berada di dalam tanah. Kalau disantet tidak kena hehehehehe,” begitulah jawabannya. Selalu ringan tanpa beban.

Pernah Pak Im mengajak saya bersama Taufik, mahasiswa FH Unisma yang “kebetulan” bernasab ke Sunan Kudus, cucu Mbah Mangli juga ke Makam Tralaya di Mojokerto. Seperti biasa, tanpa basa-basi dan hanya memberi informasi minim. “Kita ke Mbah Ngusman, di Troloyo,” ujarnya.
“Siapa Mbah Ngusman Pak Im?” tanya saya.

Dalam perjalanan menggunakan Bus Puspa Indah, Pak Im hanya berujar, Mbah Ngusman adalah pejuang proletariat pertama kali di Tanah Jawa, di era jaman para wali. Makanya di sebelah barat –kalau saya tidak salah—di Makam (atau tepatnya petilasan) Syeh Jumadil Qubra. Magrib itu hujan deras, merunut waktu perjalanan, kemungkinan mulai pagi hujan sudah deras.

Di pregolan (gepura) makam, air sudah setinggi lutut. Basah kuyup terdera hujan, dingin bukan main. “Ini Makam Mbah Ngusman, seorang anti-elite di era Kejayaan Majapahit, “paparnya. Belakangan saya tahu, Mbah Nguman adalah Sunan Ngudung. Sosok yang berjasa mengajak petani untuk melawan dengan cara membuat pertanian teknis pertama kali di Jawa. Mengajak petani mengalihkan kejenuhan diajak elite setelah bertahun-tahun terkepung Perang Paregreg.

Tetiba Pak Im, meminta untuk bersila di makam tua itu. Tingginya sekira 1,5 meter. Dengan air selutut kira-kira kalau kita bersila sekitar dada orang dewasa. Waktu itu usia saya 25 tahun. Jadi bisa disebut dewasa hehehehe.
Maaf ini buka cerita klenik, tapi saya mencoba bercerita soal ditemukannya sebuah tombak bermata tiga berwujud trisula tanpa pamor yang mendadak muncul dari dalam air sudah dalam genggaman Pak Im. “Aku dikasih (trisula) ini dari Mbah Ngusman. Yo wis, ayo ndang mbalik…”

“Penemuan” tidak sengaja trisula itu, paling tidak bagi saya, fenomenal. Sewaktu di PBNU, sewaktu saya tanya kemana trisula itu sekarang, Pak Im bercerita sudah dilebur di Tangkuban Parahu bersama pusaka-pusakanya yang lain. Dilebur dijadikan satu dalam bentuk keris besar. Desainnya agak aneh, warangkanya mirip dengan pesawat jet tempur F-16.

Rencananya, keris itu akan dinamakan Ki Ageng Blanwir. Sebuah nama institusi pemadam kebakaran jaman Belanda. “Buat jaga-jaga kalau Jakarta kobong (kebakaran). Tapi kayaknya (Keris) ini lebih tepat aku namakan Kiai Always.”

Ya, asal diingat keris itu melebur berbarengan dengan meledaknya album Bon Jovi bertajuk “Always”. Tawanya kemudian berderai-derai., Durasinya cenderung lebih panjang dibandingkan saat ketawa mendengar anekdot dari Gus Dur paling lucu sekalipun. Tawanya itu penuh makna, teringang sampai sekarang saat mendengar Pak Im berpulang.

“Kita mesti “always” berada di track yang benar, di track yang dikehendaki rakyat,” kali ini dia serius sekali. Dan “always” selalu dinyanyikan di café atau tempat yang memungkinkannya untuk bernanyai selain lagu-lagu metal –yang menurut Pak Im—beraroma sedih menyayat hati. Pak Im memang suka banget menarik otot leher menyanyikan lagu-lagu Metallica.

Pak Im, pribadi yang komplet. Analisis sosial dan politik ulung, seorang penyanyi yang notasi dan nada suaranya nyaris sempurna, penggemar Metallica dan Bon Jovi, bisa mengajak Romo Mudji Sutrisno dan beberapa romo Jesuit bisa terseret ikut-ikutan bicara soal keris.

Akhirul, mendengar kabar Pak Im pergi, mengundang naluri otomatis bergumam Al Fatihah sambil mencari-cari file MP3 Bon Jovi. Pak Im, memang “always”……

BERIKAN KOMENTAR

POPULER SEPEKAN

Setiap tanggal 1 Juni, ingatan kita terlintas visual seekor burung garuda bernama Garuda Pancasila, mengenakan perisai di dada yang berisi...

Peserta Media Talk dapat mengikuti Lomba Blogger pada 30 - 4 Novermber 2016.

Tahun lalu 2015 adalah tahun pertama saya mulai rutin olah raga berlari. Sebeneranya memilih olah raga lari ini bukan keinginan sendiri,...

Dengan otonomi khusus yang dimiliki, Aceh menerapkan hukuman cambuk bagi yang melanggar aturan. Mak Ucok menjadi warga non-muslim pertama yang...

Begitu turun dari motor, tiga bocah kecil itu berlari menuruni lembah. Di bawah sana, di depan danau, teronggok badak besar...