Palang Merah Sedunia “Everywhere for Everyone”

850
Bendera Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Foto: quidnoticias.com

Para insan PMI, sambil menunggu disahkannya RUU Kepalangmerahan, mari selalu siaga bencana untuk selamatkan jiwa dan masa depan bangsa. Merawat semangat Jean Henry Dunant: “Dalam penderitaan, kita semua saudara”.

Andai tak pernah ada pertempuran mengerikan di Solferino tanggal 24 Juni 1859 dan buku “Un Souvenir de Solferino” atau “A Memory of Solferino atau “Kenangan dari Solferino”, tentu catatan sejarah bantuan kemanusiaan modern dan organisasi kemanusiaan terbesar di dunia “Palang Merah dan Bulan Sabit Merah” mungkin akan berkata lain.

Ya di Solferino, sebuah pedesaan (waktu itu) di Italia bagian utara, gabungan balatentara Perancis dan Sardinia bertempur melawan pasukan Austria. Pada petang harinya, hampir 40.000 prajurit tergeletak tewas atau terluka tanpa perawatan. Dinas kesehatan militer kedua pihak pun kewalahan dan mereka tak punya perlindungan khusus.

Jean Henry Dunant, seorang pengusaha dan warga negara Swiss, tiba di Solferino pada malam tanggal 24 Juni 1859 di saat pertempuran dahsyat itu telah terjadi. Melihat puluhan ribu tentara mati dan terluka, sementara personil medis militer kewalahan merawat, mengobati mereka yang terluka, serta obat-obatan yang tidak lengkap dan mencukupi, Henry Dunant menghentikan keinginannya untuk bertemu kaisar Napoleon III dalam urusan bisnis. Dia mulai membantu para korban, dia mengorganisir pertolongan pertama.

Menurut buku “Un Souvenir de Solferino” yang ditulis Dunant, korban yang tewas atau terluka ada tiga Marsekal, sembilan Jenderal, 1.566 Opsir dari segala tingkatan dan kurang lebih 40.000 Bintara dan Prajurit. Yang mati dalam jangka waktu 15 jam sebanyak 38.000 orang, kebanyakan mati karena tidak mendapatkan pertolongan atau pengobatan pada waktunya atau karena kurangnya perawatan.

Mencermati situasi dan kondisi pada waktu itu, Dunant merasa ngeri dan tergetar hatinya akan begitu banyaknya korban, sehingga dia mengajak penduduk setempat, terutama perempuan, untuk merawat semua korban yang terluka, mencatat hal-hal yang penting dari korban, atau menguburkan yang wafat. Dia berhasil meyakinkan warga untuk menolong semua korban tanpa diskriminasi. Kata-kata bijak yang dikatakannya waktu itu yaitu, “Dalam penderitaan, kita semua saudara”–Siamo tutti fratelli!, Dunant berhasil menggugah rasa kemanusiaan mereka.

Meski perang Solferino telah berakhir, namun kenang-kenangan saat menolong korban pertempuran di sana terus membekas dalam ingatan humanisnya Dunant. Dia tidak begitu saja melupakan tragedi kemanusiaan itu. Benaknya dipenuhi visi untuk kebaikan umat manusia di masa depan, maka dia menulis buku “Un Souvenir de Solferino” yang terbit di tahun 1862.

Bukunya mengemparkan dunia kala itu, namun ada yang lebih penting di sana. Gagasan cemerlangnya lahir untuk misi kemanusiaan yaitu pertama, perlunya membentuk organisasi sukarelawan yang disiakan pada masa damai untuk menolong para prajurit yang terluka di medan perang. Kedua, perlunya suatu perjanjian internasional untuk memberikan pengakuan dan perlindungan kepada para prajurit yang terluka di medan perang.

Para pakar dan tokoh-tokoh penting pada waktu itu tertarik akan idenya, mereka sependapat dengannya. Maka di tahun 1963, diadakanlah Konferensi Internasional di kota Jenewa, Swiss, yang melahirkan Komite Internasional Palang Merah, organisasi kemanusiaan pertama di dunia yang bersifat netral, tidak memihak dan mandiri, serta disepakatinya Konvensi yang diberi nama Konvensi Jenewa, konvensi paling bersejarah yang menjadi tonggak penegakan Hukum Perikemanusiaan Internasional atau Hukum Humaniter Internasional.

Bagi saya, buku “Un souvenir de Solferino” bukan sekedar buku kenangan pahit tentang sebuah peristiwa yang memiluhkan nurani dan rasa kemanusiaan kita. Tapi dia menjadi batu tapal perjalanan organisasi Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, dan tentang hidup dari manusia-manusia yang bergiat sebagai sukarelawan di dalamnya. Dia adalah batu tapal dari perjuangan kemanusiaan seorang Henry Dunant yang diwariskan temurun ke generasi-generasinya masa kini.

Dia jadi batu tapal dalam sejarah peradaban umat manusia dan batu tapal hadirnya Perhimpunan Palang Merah Indonesia (PMI) di muka bumi pertiwi ini. Karena bagi buku yang sangat mengemparkan dunia itu, gagasan cemerlangnya telah melampaui sekat-sekat pemikiran, ideologis, transendental, genealogis, dan sebagainya. Itulah mahakarya utama seorang anak manusia sesungguhnya! Visioner, sang Pembaharu!

Terima kasih Jean Henry Dunant. Karena tanpamu, maka “Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional” mungkin tak akan pernah ada, begitu pun tentang Palang Merah Indonesia yang telah mengukir jasa-jasa kemanusiaan tiada tara bagi bangsa dan negara besar nan merdeka di 17 Agustus 1945 yang kita banggakan ini. Jasadmu boleh lebur berkalang tanah, namun jasamu mengabadi selama-lamanya, terpatri kuat-kuat di dalam sanubari kami, generasi-generasi kemanusiaan.

Hari lahir Jean Henry Dunant, 8 Mei, hingga kini diperingati sebagai Hari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Tahun ini telah menginjak ke 188. Sir Jean Henry Dunant yang menjadi penerima Nobel Perdamaian pertama pernah berkata bahwa: “Sebuah Negara tidak akan kekurangan sosok pemimpinya jika generasi mudanya sering berpetualang di hutan, gunung, dan lautan”.

Ia telah memberi semangat Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Sedunia untuk mengabdikan diri kepada siapa saja dan di mana saja, “Everywhere for Everyone“. Di mana pun kita berada, dan apa pun pekerjaan kita, semoga kita selalu dapat memberikan manfaat bagi sesama manusia yang membutuhkan atas dasar kemanusiaan, tanpa melihat latar belakang, suku, agama, golongan, atau ideologi politik.

Dan bagi insan-insan PMI, dalam gerak bantuannya tentu selalu berkarya berdasarkan tujuh prinsip dasar, yaitu Kemanusiaan, Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan, dan Kesemestaan. Sembari menunggu disahkannya Rancangan Undang-Undang Kepalangmerahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, teruslah berkarya di dalam masyarakat, di lingkungan sekitar kita, di tengah keluarga kita, bagi bangsa dan negara yang kita cintai ini, untuk membangun kesiapsiagaan bencana dan kepedulian serta pertolongan terhadap para korban tragedi kemanusiaan.

Teruslah melakukan dan mengkampanyekan “Mari Siaga Bencana, untuk Selamatkan Jiwa dan Masa Depan” karena memang negeri kita sebenar-benarnya rawan bencana.

Tentang penulis

Irwan Lalegit
Irwan Lalegit

Irwan “Opo” Lalegit. Alumni pers mahasiswa Manado, Advokat PERADI, Sukarelawan PMI dan Wasekjen DPP GPPMP 14 Februari 1946.

 

 

 


 

Artikel ini juga dimuat di benderanews.com

BERIKAN KOMENTAR

POPULER SEPEKAN

Tahun lalu 2015 adalah tahun pertama saya mulai rutin olah raga berlari. Sebeneranya memilih olah raga lari ini bukan keinginan sendiri,...

Lembaga Pers Mahasiswa merupakan kekuatan penting untuk menjaga kebebasan akademis di kampus sekaligus memelihara ruang kreativitas dan budaya kritis mahasiswa....

Setiap tanggal 1 Juni, ingatan kita terlintas visual seekor burung garuda bernama Garuda Pancasila, mengenakan perisai di dada yang berisi...

Ibu pertiwi Paring boga lan sandhang Kang murakabi Peparing rejeki Manungsa kang bekti Ibu Periwi. Ibu Pertiwi Kang adil luhuring budi Ayo sungkem mring Ibu Pertiwi Lantunan tembang...

Gili Labak. Pulau kecil di ujung Madura ini menyimpan keindahan alam luar biasa. Di sana, pesona Dewa Surya terbit dan tenggelam...