Papua Negeri Kita

883

Papua, tanah surga anugerah Tuhan dengan segala keragaman dan budaya yang terletak di ujung timur Republik Indonesia. Wilayah ini sangat subur dan kaya akan sumber daya alam. Sebagai warga negara Indonesia, kita harus memahami konsep penyatuan seluruh wilayah nusantara ini dan kedaulatan penuhnya secara politik. Dari Sabang sampai Merauke, begitu motto Presiden Sukarno, memperkokoh kita sebagai warga negara untuk bahu-membahu, berjalan beriringan membangun negeri yang kita cintai ini.

Sejarah panjang penyatuan seluruh wilayah Republik Indonesia, merupakan satuan kata dan perbuatan dari para pendiri bangsa untuk melepaskan segala bentuk kolonialisme di negeri ini. Tak terkecuali wilayah Irian Barat, kala itu.

Pecahnya Perang Dunia II menyebabkan Belanda, atas tekanan Amerika Serikat, mulai memperhatikan Irian Barat, mengingat wilayah itu merupakan bagian dari kepentingan strategis Sekutu di Pasifik Selatan. Menyusul proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Belanda melakukan persiapan untuk mempertahankan kepentingannya atas koloni Irian Barat. Dalam tulisan Yosia Bosawer, pengajar Sejarah di Universitas Cendarawasih, berjudul Kebijakan Belanda Mengenai Dekolonisasi Irian Barat (1956 – 1962), terdapat tulisan Robert C. Bone Jr. menyebutkan bahwa terdapat lima kepentingan Belanda yang berhubugan dengan Irian Barat. Yakni (1) Wilayah Irian Barat sebagai pusat penampungan bagi keturunan Eurosia yang tidak dapat kembali ke Belanda; (2) Tempat penampungan para pengusaha Belanda yang tinggal disana; (3) Sebagai basis pertahanan untuk kemungkinan intervensi militer ke Indonesia, apabila Indonesia yang baru memproklamirkan kemerdekaan hancur (4) Keinginan untuk meneruskan misi agama di wilayah Irian Barat (5) Menjadikan Irian Barat sebagai pangkalan kekuasaan Belanda di Pasifik, agar dapat memainkan peran dan bukan dijadikan Provinsi Eropa.

Pada awal abad ke-20, Irian Barat memang digunakan sebagai wilayah hukuman bagi para Pegawai Negeri Belanda yang tidak disiplin dan juga tempat pengasingan para pemimpin Nasionalis Indonesia. Di Irian Barat pada saat itu juga muncul gerakan integrasi nasional yang bisa disebut sebagai “Gerakan Merah Putih”, dengan pusat-pusatnya di Kota Nica (dekat Sentani), Serui, yang kemudian menyebar ke kota lain seperti Biak dan Manokwari.

Di antara tokoh-tokoh non-Irian, ada dua tokoh yang menonjol dalam menyebarkan benih-benih nasionalisme di bumi Cendrawasih, yakni Raden Mas Sugoro Atmoprasodjo, bekas tahanan politik di Digul, dan Dr. GSSJ Sam Ratulangie, tokoh Minahasa yang dibuang ke Serui. Tokoh-tokoh Irian yang menonjol lainnya adalah Martin Indey, J. A. Dimara, Lukas Rumkorem, Silas Papare, Stevanus Rumbewas, Samuel Kawab, Benyamin Imangge, Agus Orabai, Corinus Krey dan Nicolaas Jouwe (sebelum ia pro-Belanda). Mereka ini aktif dalam Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang kemudian menjadi Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII).

Irian Barat merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang kembali bergabung dengan Republik Indonesia melalui Persetujuan New York yang ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia pada 15 Agustus 1962. Persetujuan ini dicatat oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusinya pada 21 September 1962, No. 1752 (XVII). Pada 1 Oktober 1962, dilakukan penyerahan kekuasaan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah sementara PBB, United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Pada 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, berlanjut diadakannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 14 Juli – 2 Agustus 1969. Kedaulatan Indonesia atas Irian Barat menjadi semakin sah dengan adanya Resolusi PBB No. 2504 (XXIV), tanggal 19 November 1969 yang mencatat hasil Pepera tersebut.

Bila ditinjau sekilas, sejarah singkat masuknya Irian Barat ke Indonesia tersebut amatlah sederhana. Namun demikian, pada kenyataannya hal itu merupakan jalan panjang yang rumit. Indonesia melewati sekian agenda diplomasi untuk memperoleh wilayah itu. Pada fase pembebasan ini, 1949-1963, sudah muncul benih-benih separatisme di sana.

Benih separatisme ini dipupuk dan dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak awal 1950-an. Saat itu Belanda bukan saja mempercepat pembangunan ekonomi dan administrasi di Irian Barat, tetapi juga pembangunan politik. Di antaranya pembentukan Dewan New Guinea (Nieuw-Guinea Raad), suatu quasi parlementer, pada 5 April 1961. Beberapa tokoh Irian yang pro-Belanda saat itu antara lain adalah Nicolaas Jouwe, P. Torey, Markus Kaisiepo, Nicolaas Tanggahma dan Eliezer Jan Bonai, yang kemudian menjadi Gubernur Irian Barat pertama.

Kebijakan Belanda untuk “mengurus” Irian Barat dan dengan memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada penduduk Irian Barat seperti disebutkan di atas, mengalami kesulitan. Di negerinya, Belanda tak memperoleh dukungan dari kaum terpelajar Irian Barat untuk mempertahankan wilayah itu. Belanda menemukan kesulitan untuk mewujudkan gagasan ini dengan segera, mengingat kurangnya partisipasi penduduk asli dalam pemerintahan kolonial Belanda sebagai “Agent of Change” yang bersifat memaksa dan mengekang untuk percepatan struktur sosial menuju “irianisasi” dalam pemerintahan boneka buatan Belanda di Papua. Upaya mendirikan negara boneka Papua ini dapat dianggap sebagai bom waktu yang sengaja ditinggalkan Belanda di Irian Barat.

Saat ini mulai dirasakan, bahwa bom waktu tersebut mulai meletus. Meskipun tidak terjadi secara masif, namun hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah. Harus ada upaya dari pemerintah bahwa Papua adalah wilayah yang berintegritas dengan wilayah Indonesia.
Dalam artikel Aspek-aspek Internasional dalam Integrasi Nasional: Suatu Tujuan Empiris atas Kasus Irian Jaya karya Ikrar Nusa Bakti, disebutkan bahwa menurut Cynthia H. Enloe, kelompok etnik adalah suatu kesatuan individu-individu “yang memiliki rasa saling memiliki atas dasar ikatan-ikatan budaya – biasanya kombinasi dari agama, bahasa, dan adat-istiadat dan suatu perasaan berasal dari nenek moyang yang sama”. Batas antara satu kelompok etnik dengan lainnya, yang memisahkan antara “kita” dan “mereka” tidaklah harus bersifat teritorial. Batas-batas ini bisa merupakan perasaan loyalitas bersama dan rasa berbeda dengan “orang-orang luar”. Dengan demikian, pada analisa akhir, kelompok-kelompok etnik, seperti juga bangsa-bangsa, adalah suatu kolektif dari sikap pikir dan kesadaran akan perasaan persaudaraan. Kesadaran etnis ini berkembang melalui suatu komunitas bahasa, ras, agama, konsentrasi regional, dalam berbagai kombinasi.

“Integrasi politik”, menurut Ronald L. Watts, “Adalah penyatuan kelompok-kelompok yang berbeda, masyarakat ataupun wilayah ke dalam suatu organisasi politik yang bisa bekerja dan bertahan hidup”. Sedangkan konsep integrasi nasional memacu pada suatu proses atau kondisi penyatuan bagian-bagian dari bangsa, di mana masyarakat yang hidup di wilayah tersebut memiliki persamaan sejarah, satuan simbol-simbol, dan perasaan-perasaan subjektif yang mengikat antara satu anggota dengan anggota lainnya. Watts juga menjelaskan bahwa integrasi politik bisa tumpang-tindih dengan integrasi nasional dalam kasus negara-bangsa, tetapi bisa juga terbatas pada suatu unit sub nasional yang lebih kecil atau dalam bentuk yang lebih luas lagi, seperti organisasi politik multinasional. Dalam makalah ini, integrasi politik lebih dikaitkan dengan integrasi nasional dalam suatu negara-bangsa, yakni Indonesia.

Klaim untuk mendapatkan kebebasan dari pemerintah pusat biasanya sangat efektif di daerah, di mana ikatan-ikatan etnik, budaya dan bahasa amatlah kuat. Seringkali gerakan-gerakan kebebasan ini secara khusus amat aktif di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Daerah ini kemungkinan besar adalah daerah-daerah pertama yang mengalami dampak negatif dari tumbuhnya sentralisasi kekuasaan dan karena itu menunjukkan reaksi kuat. Pola konflik ini disebut oleh Milton J. Esman sebagai pola “pusat dan pinggiran” (centre and periphery).

Sejalan dengan pemikiran ini, Myron Weiner berpendapat bahwa masalah yang amat serius dalam integrasi teritorial adalah upaya pemerintah yang baru untuk mengontrol wilayah perbatasan yang dulu mereka warisi dari pemerintah kolonial. Dengan demikian, masalah integrasi nasional secara khusus mengacu pada masalah menciptakan perasaan nasionalitas teritorial yang menutupi atau melenyapkan ikatan-ikatan subordinat yang sempit.

Namun demikian, konflik komunal antara “pusat dan pinggiran” ini tidaklah harus berbentuk kekerasan. Ada tingkatan konflik komunal: pertama, beberapa “konflik” akan muncul dalam bentuk ketegangan-ketegangan yang merintangi usaha-usaha nasional yang membutuhkan dua atau lebih kelompok etnik untuk bekerjasama secara kooperatif; kedua, konflik juga bisa berbentuk oposisi politik terhadap program-program pemerintah pusat, biasanya karena anggota-anggota dari satu kelompok etnik percaya bahwa kementerian-kementerian di pusat bertindak sebagai agen-agen dari satu masyarakat etnik yang berkompetisi; ketiga, konflik-konflik yang paling ekstrem akan berbentuk gerakan-gerakan separatis di mana satu kelompok etnik atau suatu koalisi minoritas berupaya untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat.

Konflik-konflik komunal yang terjadi di Indonesia biasanya condong kepada model konflik yang kedua dan ketiga atau kombinasi dari dua bentuk konflik di atas. Sebagai contoh, gerakan-gerakan DI/TII dan PRRI/Permesta, menurut hemat penulis, bisa dimasukkan dalam konflik tingkatan kedua. Sedangkan Organisasi Papua Merdeka bisa dimasukkan ke dalam model ketiga. Kelompok etnik yang memiliki kesadaran regional tinggi ini mungkin juga akan mengejar hak untuk menentukan nasib sendiri, yakni hak untuk memilih secara bebas sistem politik, ekonomi dan sosialnya, termasuk hak-hak untuk mendirikan negara-bangsa yang merdeka, untuk menikmati pembangunan dan mengatur sumber-sumber kekayaan alam dan manusianya.

Biasanya kelompok etnik ini akan mencari dukungan dari negara-negara merdeka yang berbatasan atau berdekatan yang memiliki kesamaan latar belakang etnik, dan dari negara-negara lain yang memiliki pengaruh di arena internasional. Dukungan dari negara-negara luar akan tergantung pada, apakah daerah itu secara strategis, ekonomis dan politis penting bagi negara-negara tersebut sehingga mereka memilih apakah akan mendukung kelompok etnik tersebut, atau akan mendukung negara-bangsa, tempat kelompok etnik itu berada, dalam menjaga kesatuan teritorialnya

Segala bentuk penindasan dan kekerasan haruslah kita hindari, karena tidak sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia, seperti yang telah disebutkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Upaya pemerintah Indonesia pada era Presiden Sukarno adalah untuk membebaskan Irian Barat (Papua) dari penindasan Belanda. Konsep tentang national building dan character building yang dibawa oleh Sukarno adalah demi terciptanya tatanan sosial masyarakat di Republik Indonesia yang berkadilan dan makmur, termasuk di wilayah Papua.

Ada beberapa masalah di Irian Barat yang menyebabkan bangkitnya kembali sikap separatis beberapa kalangan pada fase peralihan. Pertama, sikap sebagian pejabat Irian Barat seperti orang yang baru “menang perang”, sehingga menumbuhkan persepsi di kalangan penduduk asli bahwa para pendatang itu adalah “the new colonial masters”. Kedua, beberapa pejabat sipil dan militer juga mengangkut barang-barang peninggalan Belanda dari Irian Barat, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah para pejabat tersebut “merampok Irian”. Sebenarnya, tidak sedikit pejabat pemerintah yang benar-benar berdedikasi dengan penuh energi untuk membangun provinsi yang baru itu. Namun demikian, seperti kata pribahasa Indonesia, karena nila setitik maka rusak susu sebelanga. Karena itu timbul pula sikap anti Indonesia di Irian Barat. Ketiga, Indonesia saat itu sedang mengalami masa sulitnya ekonomi.

Dampak ekonomi ini juga merembet dari Indonesia Bagian Barat (IBB) ke Indonesia Bagian Timur (IBT), khususnya Irian Barat. Dampak pertama adalah kesulitan untuk membangun Irian Barat, walau telah dibantu oleh dana Belanda lewat Fund of the United Nations for the Development of West Irian (FUNDWI). Kebutuhan pokok penduduk saat itu sulit didapat di pasar. Kalaupun ada, harganya selangit. Kesulitan kedua adalah, banyaknya migrasi penduduk dari IBB dan IBT ke Irian Barat, khususnya dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, untuk mengadu nasib di wilayah baru ini. Hal ini tentunya mengecewakan penduduk asli yang bukan saja tak lagi mengecap pembangunan tetapi juga terpental dari posisi-posisi mereka sebagai pedagang eceran di pasar-pasar Irian Barat. Keempat, keinginan pemerintah untuk memantapkan tertib administrasi di Irian Barat menyebabkan banyaknya orang-orang Irian yang terpental dari posisi-posisi mereka di pemerintahan. Pada masa Belanda, tidak sedikit orang Irian yang duduk di pemerintahan sebagai pegawai rendah dan menengah. Mereka didudukkan pada posisinya pada saat percepatan pribumisasi pemerintahan di akhir 1950-an dan awal 1960-an. Mungkin saja mereka dianggap pemerintah Indonesia tak memenuhi standar kepegawaian, karena itu perlu diganti. Namun dampak politiknya, timbul pandangan bahwa terjadi pengalihan posisi dari penduduk asli ke pendatang.

Seturut itu pula, kondisi politik Indonesia pada saat itu mengalami fase peralihan. Berpindahnya tampuk kepemimpinan nasional dari Sukarno ke Soeharto juga ada hubungannya dengan posisi Papua saat itu. keinginan pemerintah untuk mempercepat Indonesianisasi di Papua, yaitu integrasi masyarakat Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyebabkan penggunaan “pendekatan keamanan” lebih menonjol ketimbang “pendekatan persuasif dan “pendekatan kesejahteraan”.

Dampak negatifnya, tak sedikit orang Papua yang dulunya mendukung Indonesia dan mau bekerjasama dengan Indonesia, berbalik sikap menjadi anti-Indonesia. Dalam pandangan mereka, jika Irian Barat merdeka maka mereka bisa mengatur negara sendiri dan menikmati kemakmuran. Situasi buruk di Irian Jaya saat itu membangkitkan kembali sikap “anti-asing” (anti-amberi) yang kemudian berubah menjadi pemberontakan. Pendekatan keamanan/militer yang terlalu berlebihan untuk memadamkan demonstrasi ataupun pemberontakan di Irian Barat saat itu, mungkin merupakan kesalahan taktik pemerintah. Dari sudut pandang keamanan dan ketertiban, penggunaan cara-cara militer memang akan cepat memadamkan kerusuhan. Namun dampak negatifnya akan panjang. Artinya, rakyat akan tetap memendam ingatan tentang apa yang pernah terjadi tersebut. Walaupun tentara-tentara yang digelarkan dan diterjunkan ke daerah-daerah rawan tersebut terutama ditujukan untuk mengembalikan tata tertib ketimbang merupakan operasi-operasi hukuman, namun kehadiran mereka sudah cukup bagi para pemimpin OPM di luar negeri untuk membuat propaganda bahwa tentara Indonesia membunuh ribuan orang Irian. Hal ini banyak menimbulkan protes dan ketakutan di berbagai negara, khususnya di Papua Nugini.

Kejadian-kejadian pada masa transisi ini merupakan pengalaman traumatis bagi segolongan orang Irian. Kemungkinan besar, sebagian anggota generasi muda di Irian Jaya saat ini masih menyimpan pengalaman pahit yang dialami oleh orang tua, paman, kakek, ataupun keluarga dekat lainnya. Seandainya dulu itu pendekatan persuasif dan kesejahteraan lebih ditonjolkan, mungkin cerita yang berkembang kemudian akan lain.

Cara-cara persuasif dan kesejahteraan memang akan lama untuk dinikmati hasilnya. Namun demikian, cara-cara ini akan terus dikenang makna positifnya di kalangan masyarakat. Tanpa adanya perubahan pendekatan dari “pendekatan keamanan” ke “pendekatan kesejahteraan”, gagasan tentang “Papua Merdeka” ini tak akan lenyap.

Pendekatan keamanan juga tidak cocok lagi pada saat ini dan perlu menonjolkan pendekatan persuasif dan kesejahteraan. Seandainya penanggung jawab keamanan di provinsi paling timur Indonesia tersebut salah langkah, maka tak mustahil akan menimbulkan masalah yang besar di masa datang.

Di tengah arus globalisasi informasi saat ini, adalah lebih arif jika kita lebih menonjolkan pendekatan manusiawi di provinsi tersebut. Saat ini, kebijakan terhadap Papua yang telah diputuskan Presiden Jokowi adalah mengutamakan pendekatan persuasif di bidang politik, dan pendekatan kesejahteraan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai langkah awal realisasi kebijakan itu, Presiden Jokowi berkunjung ke Papua, 8-11 Mei 2015 lalu. Pada 10 Mei, di Abepura, Jayapura, Presiden Jokowi memimpin acara pembebaskan lima narapidana OPM yang berasal dari Provinsi Papua dan Papua Barat. Ia juga menjamin keselamatan mereka setelah itu. Pembebasan lima narapidana politik tersebut, kata Jokowi, merupakan upaya sepenuh hati dan tulus dari Pemerintah Pusat untuk memadamkan konflik yang selama ini terjadi di tanah Papua. Pada tahun 2016 ini, dana otonomi khusus untuk wilayah Papua mencapai 5 trilyun rupiah, sebagai upaya untuk memajukan wilayah Papua.

Kita berharap kesejahteraan yang merata akan terwujud di semua wilayah Indonesia. Dengan melibatkan seluruh anak bangsa, bersama mewujudkan Indonesia Sejahtera. Karena kita merupakan negara-bangsa yang kuat dan hebat yang terdiri dari beragam suku, agama dan ras.

BERIKAN KOMENTAR

POPULER SEPEKAN

Setiap tanggal 1 Juni, ingatan kita terlintas visual seekor burung garuda bernama Garuda Pancasila, mengenakan perisai di dada yang berisi...

Peserta Media Talk dapat mengikuti Lomba Blogger pada 30 - 4 Novermber 2016.

Tahun lalu 2015 adalah tahun pertama saya mulai rutin olah raga berlari. Sebeneranya memilih olah raga lari ini bukan keinginan sendiri,...

Dengan otonomi khusus yang dimiliki, Aceh menerapkan hukuman cambuk bagi yang melanggar aturan. Mak Ucok menjadi warga non-muslim pertama yang...

Kasus Pelaporan ke Kepolisian Terhadap Wayan Gendo Suardana (Aktivis Walhi, Penolak Reklamasi Teluk Benoa, Bali) dan Haris Azhar (Aktivis KontraS) Merebaknya...