Sebanyak 16 kabupaten dan kota di Indonesia akan melangsungkan Pilkada Serentak 2018 dengan peserta satu pasangan calon (Paslon). Pemilih nantinya akan menentukan pilihannya dengan mencoblos gambar Paslon atau mencoblos kolom kosong sesuai ketentuan peraturan KPU.
Meski Mahkamah Konstitusi telah memberikan mekanisme keberatan atas hasil penghitungan suara yang diikuti Paslon tunggal, sejumlah kalangan terutama pengamat Pemilu menilai meningkatnya jumlah Paslon tunggal sedari pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 merupakan fenomena kegagalan demokrasi. Benarkah?
Indonesia pada 27 Juni 2018 akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak di 171 daerah meliputi pemilihan di 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota. Sebanyak 574 pasangan calon kepala daerah akan bertarung memperebutkan suara sekitar 160 juta pemilih.
Pilkada Serentak merupakan pemilihan lokal atau local election yang bertujuan membentuk kesebangunan politik di legislatif dan eksekutif dalam sistem pemerintahan Presidensial. Pemerintah membutuhkan kesebangunan kekuatan politik atau mayoritas dukungan legislatif supaya roda pemerintahan eksekutif berjalan efektif, efisien.
Dari 171 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak 2018, 13 diantaranya mengusung Paslon tunggal. Hal ini berarti pada saat pemungutan suara, Paslon yang diusung oleh Parpol atau gabungan Parpol akan melawan kolom kosong untuk memenangi pemilihan. Teknisnya, pemilih pada Pilkada yang diikuti satu Paslon akan mendapatkan surat suara yang memuat dua kolom yang terdiri dari satu kolom berisi foto Paslon dan satu kolom kosong tidak bergambar.
Pada Pilkada Serentak 2015 daerah yang mengusung Paslon tunggal ada 3 daerah, sementara pada 2017 sebanyak 9 daerah. Melihat tren Paslon tunggal yang terus meningkat dari setiap pelaksanaan Pilkada Serentak sejumlah pengamat Pemilu mengatakan demokrasi di Indonesia telah gagal.
Meningkatnya Paslon tunggal sebagai peserta Pilkada Serentak mengindikasikan kegagalan Parpol melakukan kaderisasi, gagal melahirkan pemimpin dan menyerahkan proses elektoral kepada praktek politik transaksional. Mereka berpendapat bahwa Paslon yang bersaing dengan kolom kosong dalam Pilkada Serentak bukanlah sebuah kontestasi politik untuk mendapatkan kekuasaan. Benarkah demikian?
Pertama, penetapan Paslon tunggal sebagai peserta Pilkada merupakan penetapan yang konstitusional. KPU menetapkan Paslon tunggal sebagai peserta pemilihan kepala daerah berdasarkan sejumlah syarat yang diatur dalam ketentuan Pasal 54C UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Pasal 54C ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa Paslon tunggal atau satu Paslon dinyatakan memenuhi syarat sebagai peserta Pilkada setelah KPU melakukan penundaan hingga berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran hanya terdapat satu Paslon yang mendaftar.
Melalui konstruksi norma tersebut umumnya para Pengamat Pemilu langsung menduga meningkatnya tren Paslon tunggal menjadi indikasi politik transaksional, mengesampingkan pertimbangan strategis dan taktis Parpol mengusung Paslon tunggal di sebuah daerah. “Kalau punya kader bagus ya didorong majulah, diperjuangkan, jangan malah mendukung paslon partai lain menjadi paslon tunggal”, kata para pengamat.
Kedua, Paslon tunggal melawan kolom kosong tetap merupakan sebuah kontestasi politik karena keberadaan satu paslon sebagai peserta Pilkada tidak mengurangi hak politik dan kebebasan rakyat untuk memilih sang pemimpin. Kontestasi politik ini nyata, karena Paslon tunggal bisa jadi kalah atau belum tentu menang melawan kolom kosong.
Berhasil atau gagalnya demokrasi tidak ditentukan oleh banyaknya Paslon yang mendaftar sebagai peserta Pilkada Serentak, namun keberhasilan demokrasi ditentukan dengan tetap terpeliharanya kebebasan rakyat untuk mengggunakan hak pilih yang kemudian dijamin dan dilindungi peraturan perundang-undangan sesuai amanah konstitusi.
Ketiga, meningkatnya tren Paslon tunggal sebagai peserta Pilkada bukanlah indikator dari kegagalan partai politik melakukan kaderisasi atau gagal melahirkan pemimpin sehingga menyerahkan proses demokrasi pada politik transaksional. Parpol memilih mengusung Paslon tunggal tidak selalu harus dikaitkan dengan politik transaksional, karena pada prinsipnya kontestasi kekuatan politik masih ada, rakyat masih memiliki hak pilih meski KPU hanya menetapkan satu Paslon sebagai peserta Pilkada. Pun, yang pasti Parpol telah memiliki konsep, teori dan metode perjuangan terutama untuk menghadapi situasi lapangan yang dinamis sehingga harus memutuskan untuk mengusung Paslon tunggal sebagai peserta Pilkada Serentak.
Mungkin para pengamat Pemilu lupa jika Pilkada yang diikuti Paslon tunggal merupakan praktek demokrasi yang bersumber dari kultur masyarakat Indonesia. Lazim dijumpai di seluruh daerah di Indonesia pelaksanaan pemilihan kepala desa yang diikuti oleh seorang calon kepala desa melawan bumbung kosong. Sehingga anggapan Paslon tunggal melawan kolom kosong adalah wujud kegagalan demokrasi jelas tidak benar.
Bahkan Mahkamah Konstitusi menimbang pemilihan yang hanya diikuti satu Paslon tetap memerlukan mekanisme penyelesaian perselisihan pemilihan. MK membuat Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2015 yang memberikan kedudukan hukum atau legal standing kepada Paslon tunggal dan Pemantau pemilihan untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan KPUD. Gugatan tentang perbedaan selisih hasil penghitungan suara dengan tenggang waktu pengajuan gugatan 3×24 jam.
Menegakkan Asas Pemilu, Melawan Politik Uang
Sebenarnya yang perlu dicermati fenomena meningkatnya jumlah Paslon tunggal sedari Pilkada Serentak 2015, 2017 dan 2018 bahwa sosok individu calon kepala daerah lebih menjadi magnet bagi publik ataupun pemilih ketimbang Parpol. Kontestasi politik yang dibayangkan sebagai persaingan perebutan suara pemilih oleh kandidat Paslon sebenarnya berporos pada sosok individu, bukan Parpol sebagai pengusung. Mengapa demikian? Karena sistem model pemilihan langsung memungkinkan sosok individu muncul ke publik lebih dominan ketimbang Parpol pengusung.
Jika antara individu dan parpol memiliki persamaan perspektif politik dan ideologi, bahkan individu tersebut merupakan kader dari parpol yang bersangkutan, maka akan jelas arah pencalonannya sebagai kepala daerah. Namun jika individu dan parpol tidak memiliki banyak irisan strategis, yang terjadi adalah adanya kemungkinan politik “sewa perahu” atau candidacy buying yang bertentangan dengan asas Pemilu: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Untuk mengantisipasi terjadinya candidacy buying undang-undang tentang Pilkada di dalam Pasal 47 ayat (4) melarang setiap orang atau lembaga memberi imbalan kepada Parpol atau gabungan parpol dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan kepala daerah.
Meningkatnya jumlah Paslon tunggal ataupun tidak, nampaknya bukanlah indikator langsung dari kegagalan demokrasi. Demokrasi bisa dikategorikan gagal jika rakyat pemilih tak lagi mendapatkan perlindungan dan kebebasan menentukan pilihan politiknya. Untuk itu penting untuk mengawal Pilkada dan Pemilu Serentak, berjalan sesuai asas demokrasi. Maka yang harus dicermati dalam proses demokrasi dengan mekanisme pemilihan langsung adalah memastikan asas Pemilu ditaati oleh peserta pemilihan, mengantisipasi praktek politik uang dan politik sewa perahu yang tidak fair.
Mestinya para pengamat Pemilu bersama-sama mencermati pelaksanaan pemilihan yang masih berbiaya mahal. Praktek elektoral berbiaya mahal rentan dengan praktek politik uang atau money politic. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mendapatkan laporan terkait dugaan politik uang pada Pilkada Serentak 2017 sebanyak 600 laporan dalam tahapan kampanye hingga pemilihan. Pada Pilkada Serentak 2015 Bawaslu mendapat sekitar 493 laporan dugaan politik uang (Kompas, 27/1).
Kesadaran membangun perspektif anti politik uang dalam sistem pemilihan berbiaya mahal sangat penting karena akan memberikan jalan kepada masyarakat, warga negara serta kader-kader partai potensial untuk tampil ke panggung politik elektoral sebagai pemimpin. Mungkin diantara pengamat Pemilu ada yang merasa berpotensi menjadi pemimpin dan berani tampil. Dicoba dulu lah, siapa tahu? (Foto: Ilustrasi/Liputan 6/Okezone)
Franditya Utomo (Alumni LPM Imparsial Fakultas Hukum Universitas Jember, kini berprofesi sebagai Advokat dan Peneliti Hukum)