Sejarah mencatat bahwa penemuan biji kopi sebagai minuman yang sangat berkhasiat dan berenergi pertama kali ditemukan oleh orang Etiopia di benua Afrika sekitar 3000 tahun yang lalu, atau 1000 tahun Sebelum Masehi. Kopi kemudian terus berkembang hingga sekarang ini menjadi salah satu minuman paling populer di dunia. Negara Indonesia sendiri telah mampu memproduksi lebih dari 400 ribu ton kopi per tahunnya dan kemudian dieksport di berbagai penjuru dunia. Di samping rasa dan aromanya yang sangat menarik, khasiat kopi juga dapat menurunkan risiko terkena penyakit kanker, diabetes , batu empedu , dan berbagai penyakit jantung.

Kata kopi sendiri berasal dari bahasa Arab: “qahwah” yang artinya kekuatan, karena pada awal ditemukan kopi digunakan sebagai makanan berenergi. Kata qahwah kemudian diubah menjadi kahveh yang berasal dari bahasa Turki dan kemudian diubah lagi menjadi koffie. Dalam bahasa Belanda penggunaan kata koffie langsung diartikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kopi yang hingga saat ini dikenal dengan nama kopi.

Penemuan biji kopi sekitar 800 tahun sebelum Masehi (Ada pendapat lain mengatakan pada 850 Masehi). Pada saat itu, banyak orang di Benua Afrika, terutama orang dari bangsa Etiopia, yang mengkonsumsi biji kopi yang dicampurkan dengan lemak hewan dan anggur untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuh. Penemuan kopi terjadi secara tidak sengaja ketika penggembala bernama Khalid, seorang dari Abyssinia, mengamati kawanan kambing gembalaannya yang tetap terjaga bahkan setelah matahari terbenam setelah memakan sejenis buah berry. Ia pun mencoba memasak dan memakannya. Kebiasaan ini kemudian terus berkembang dan menyebar ke berbagai negara di Afrika, namun metode penyajiannya masih menggunakan metode konvensional. Barulah beberapa ratus tahun kemudian biji kopi ini dibawa melewati Laut Merah dan tiba di Arab dengan metode penyajian yang jauh lebih maju.

Ilustrasi tunas kopi, foto Christian Jourdrey
Ilustrasi tunas kopi, foto Christian Jourdrey

Penyebaran Kopi di Indonesia

Pada era Tanam Paksa atau Cultuurstelsel (1830—1870) di masa penjajahan Belanda di Indonesia, pemerintah Belanda membuka sebuah perkebunan komersial pada koloninya di Hindia Belanda, khususnya di pulau Jawa, pulau Sumatera dan sebahagian Indonesia Timur. Jenis kopi yang dikembangkan di Indonesia adalah kopi jenis Arabika yang didatangkan langsung dari Yaman.

Pada awalnya pemerintah Belanda menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Mandailing, dan Sidikalang. Kopi juga ditanam di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Timor, dan Flores.

Pada permulaan abad ke-20 perkebunan kopi di Indonesia mulai terserang hama, yang hampir memusnahkan seluruh tanaman kopi. Akhirnya pemerintah penjajahan Belanda sempat memutuskan untuk mencoba menggantinya dengan jenis kopi yang lebih kuat terhadap serangan penyakit yaitu kopi Liberika dan Ekselsa. Namun di daerah Timor dan Flores yang pada saat itu berada di bawah pemerintahan bangsa Portugis tidak terserang hama meskipun jenis kopi yang dibudidayakan di sana juga kopi Arabica.

Pemerintah Belanda kemudian menanam kopi Liberika untuk menanggulangi hama tersebut. Varietas ini tidak begitu lama populer dan juga terserang hama. Kopi Liberika masih dapat ditemui di pulau Jawa, walau jarang ditanam sebagai bahan produksi komersial. Biji kopi Liberika sedikit lebih besar dari biji kopi Arabika dan kopi Robusta. sebenarnya, perkebunan kopi ini tidak terserang hama, namun ada revolusi perkebunan di mana buruh perkebunan kopi menebang seluruh perkebunan kopi di Jawa pada khususnya dan di seluruh Indonesia pada umumnya. Tapi saat ini Indonesia menjadi negara penghasil biji kopi terbesar nomor 3 di dunia.

Ilustrasi beragam kopi, foto Nausnou Iwasaki
Ilustrasi beragam kopi, foto Nausnou Iwasaki

Menduniakan Kopi Melalui Film

Indonesia adalah salah satu negara penghasil kopi terbesar dan terbaik di dunia. Menelusur sejarahnya, bangsa ini adalah bangsa kopi. Kopi Luwak, Gayo, Toraja, Lampung, Wamena, Mandailing, atau Kintamani adalah kopi-kopi asli Indonesia yang begitu terkenal dan sangat disukai masyarakat dunia. Karena itu nilai ekonomi kopi Indonesia di pasar dunia demikian tinggi. Namun ironis, di balik potensi kopi Indonesia yang demikian dahsyat nasib petani kita demikian memprihatinkan. Harga terus anjlog, produktivitas merosot, kesejahteraan petani menurun, dan profesi petani menjadi kian tak menarik.

Nasib kopi Indonesia juga menyedihkan karena kemampuan kita dalam mengolah biji kopi menjadi produk bernilai tambah tinggi masih sangat terbatas. Kopi-kopi terbaik kita justru diambil dan dimanfaatkan menjadi produk branded dan kedai kopi branded oleh perusahaan-perusahaan global. Dengan kemampuan modal dan teknologi nyaris tak terbatas mereka mengambil, mem-branding, kemudian memasarkan kopi terbaik kita ke seluruh dunia dengan nilai ekonomis yang sangat tinggi. Inilah tragedi kopi Indonesia!

Kopi Indonesia harus diselamatkan dan dibangkitkan dengan sebuah nasionalisme: “nasionalisme kopi”. Petani kopi harus sejahtera, kemampuan mereka harus berkelas dunia dengan suntikan teknologi dan manajemen. Produk kopi lokal harus dikembangkan, sementara kedai-kedai kopi branded lokal harus menyebar di seluruh pelosok nusantara. Barista harus menjadi profesi yang seksi dan bergengsi. Lembaga riset dan institusi pendidikan kopi harus menjamur.

Filosofi Kopi” bukanlah sekedar sebuah film, ia adalah sebuah gerakan bagi kebangkitan kopi Indonesia. Di dalamnya terdapat sebuah idealisme dan aksi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara kopi yang dihormati di kancah dunia. Demikian disampaikan oleh Handoko Hendroyono, Produser Film ” Filosofi Kopi” dalam acara diskusi dan nonton bareng yang digelar di Blitz Megaplex, beberapa waktu lalu. Produser Film ini ingin kopi Indonesia lebih dikenal dunia.

Ilustrasi sajian secangkir kopi, foto Annie S
Ilustrasi sajian secangkir kopi, foto Annie S

“Saya sebenarnya tidak begitu tahu tentang kopi. Pas setelah produksi ‘Filosofi Kopi’ berjalan, mulai dari produksi hingga pascaproduksi, pada saat kita mendiskusikan tentang kopi, saya menyadari ada gap generasi yang hilang tentang sejarah kopi di Indonesia,” jelas Handoko. Setelah mengetahui sejarah dan seluk-beluk kopi di Indonesia, producer “Filosofi Kopi” ini berkeinginan mendongkrak pamor kopi.

“Pada saat kopi kembali menjadi lifestyle, kita ingin kasih tahu lewat ‘Filosofi Kopi’ bahwa Indonesia kaya akan kopi. Jejak sejarah, bahkan Indonesia sendiri identik dengan kopi. Bicara Indonesia, ya kita bicara kopi,” tutur Handoko lagi. Film “Filosofi Kopi” diangkat dari cerpen karya Dewi “Dee” Lestari (2006). Sebenarnya ide Dee menuangkan tema kopi ke dalam cerpen sudah ada sejak 1995.

Film “Filosofi Kopi” menceritakan tentang persahabatan. Juga ditampilkan tentang perebutan lahan petani kopi. Di situ Handoko menekankan pentingnya mengangkat tentang kopi dan komunitasnya. “Menarik ketika kita mengemasnya menjadi sebuah hiburan, sekaligus sebuah pesan di dalamnya di mana kita membangun kecintaan terhadap kopi dan mengenal kopi Indonesia. ‘Filosofi Kopi’ bukan sekadar film, tapi juga tentang nasib kopi di Indonesia,” terang Handoko.

Lebih lanjut, Handoko berharap ke depan nanti kopi bisa menjadi ciri khas Indonesia, terutama di mata dunia internasional. “Saya meyakini bahwa tidak hanya masyarakat urban, masyarakat pedesaan juga menjadikan kopi sebagai gaya hidup. Kopi menjadi identitas Indonesia,” tandasnya.

Untuk diketahui, daerah penghasil kopi di Indonesia cukup banyak, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Papua. Kopi Indonesia saat ini menempati peringkat ketiga terbesar di dunia dari segi hasil produksi. Sekitar 92 persen produksi kopi berada di bawah petani-petani kecil atau koperasi.

BERIKAN KOMENTAR