Meski hanya dua pekan berkerja di sana, kantor satu media di Ngawi itu selalu lekat dalam ingatan saya. Fasilitas kantornya cukup nyaman dan lengkap. Ada enam ruangan di sana, lengkap dengan ruang resepsionis, ruang kerja redaksi, kamar, dapur, kamar mandi, bahkan ruang santai. Di ruang redaksi ada dua komputer layout, dua komputer redaktur, dan dua komputer wartawan. Tapi, bagi wartawati perempuan, seperti saya, kantor itu begitu horor dan penuh teror. Bahkan sejak hari pertama saya masuk ke sana.
Saya masih ingat benar. Ketika pertama kali duduk di salah satu kursi redaksi. Saat asik menulis berita tiba-tiba seorang redaktur, berinisial DP, mendatangi dan coba memeluk saya dari belakang. Tersentak kaget dan ketakutan, dengan reflek saya menendangnya. Dengan sisa keberanian dan jantung berdebar saya membentak, “Jangan macam-macam!”
Seolah tanpa pernah ada kejadian apa-apa, si redaktur ngeloyor pergi dengan santai. Tanpa ada sepatah kata meminta maaf. Ada banyak mata melihatnya, mulai dari kepala biro, marketing iklan, pemasaran, desainer, hingga wartawan lain. Saya heran setengah mati, begitu beraninya redaktur itu melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan di kantor yang saat itu sedang ramai. Dan yang membuat saya lebih miris, tidak ada satu orang pun dari mereka yang membela saya. Mereka hanya tertawa, tanpa ada sepatah teguran terhadap si redaktur, seolah hal yang dilakukan D itu adalah hal biasa. “Kenapa?”
Sejak saat itu, saya selalu berdebar-debar setiap masuk dan mengetik berita di sana apalagi jika si redaktur itu ada. Tidak ada pilihan lain, karena di media tersebut saya harus tetap mengerjakan berita di kantor. Jika tidak, redaktur akan menelpon saya supaya ke kantor. Padahal secara psikis saya saat itu sudah hancur. Puji tuhan, saya hanya dua pekan bertugas di sana, saya bersyukur dipindah ke Magetan dan selanjutnya ke Madiun.
Lepas dari kantor horor itu tentu membuat perasaan saya lega. Namun saya khawatir, bagaimana nasib pekerja perempuan selain saya di sana. Saya hanya bisa berharap, hal yang menimpa saya tidak terjadi pada orang lain.
Ternyata kekhawatiran saya terjadi. Kemesuman redaktur tersebut berlanjut. Sebuah berita dari salah satu media online mengejutkan saya: seorang wartawati di media tempat saya berkerja dulu itu mengalami pelecehan seksual oleh redakturnya.
Untuk menyakinkannya saya pun mencoba menghubungi beberapa teman yang tugas di Ngawi. Kabar dari Mas Ratno kontributor Trans TV mengejutkan saya. Ditambah, bbm dari Mas Jacky kontibutor Indosiar. Seorang kawan saya, sesama wartawati berinisial D telah mengalami pelecehan seksual oleh redakturnya. Dan pelakunya adalah orang yang sama, si DP, redaktur yang telah mencoba melecehkan saya pada hari pertama kerja. Bahkan perlakuan terhadap D lebih parah dari yang saya alami. Pelecehan itu berlangsung selama dua bulan dan sering kali di depan banyak mata para penghuni kantor. Selama itu pula D tidak pernah mendapat pembelaan.
Akhirnya, D terpaksa ke Surabaya untuk melaporkan perbuatan DP ke Ombudsman dari lembaga perwakilan induk semang media Ngawi itu. Media di Ngawi itu memang merupakan bagian dari salah satu perusahaan media raksasa di Jawa Timur. Kasus itu juga telah dilaporkan ke polisi.
Hingga kini saya masih menunggu adanya keputusan yang adil dan berpihak pada korban. Saya pun masih terus berkomunikasi dengan teman-teman di Ngawi. Berita terakhir yang saya terima, DP tidak mengakui perbuatannya. Group perusahaan media tempat dia berkerja juga belum memberikan sanksi tegas dan kini ia hanya dinonjobkan. Itu menjadi tanda tanya besar bagi saya. Bagaimana sebuah media besar di Jawa Timur itu meletakkan sebuah keadilan bagi pekerjanya?
Jujur saya sangat terpukul dengan peristiwa itu. Bukan hanya karena saya pernah menimba ilmu di media tersebut. Tapi kejadian itu telah meluluhlantakkan kebanggan saya sebagai seorang pegiat media. Sejak mahasiswa, saya telah aktif di dunia pers mahasiswa, tempat saya meneguhkan keyakinan bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi sekaligus sarana utama dalam mendidik publik, termasuk dalam penghormatan terhadap martabat perempuan dan manusia pada umumnya. Lantas idealisme dan penghormatan seperti apa yang hendak disampaikan ke publik jika ruang redaksi membiarkan pelecehan seksual terhadap karyawannya terjadi dengan semena-mena?
Saya kenal betul dengan D saat masih berkerja di sana. Ia mirip seperti saya, seorang perempuan yang memiliki impian besar menjadi seorang jurnalis yang idealis. Ia sempat bercerita tentang perasaan dia ketika pertama menjadi wartawan, menurutnya wartawan itu keren meski gaji tidak besar.
Saat di lapangan, wartawan bisa mendadak menjadi seperti polisi, politikus ataupun ahli lainnya. Di profesi ini kami dituntut untuk belajar dan tahu banyak hal. Wartawan bisa membangun jaringan serta mendapatkan informasi lebih cepat dari orang biasa. Kerja wartawan di lapangan juga keras. Saya pernah terluka saat liputan bahkan pernah diancam dibunuh karena dianggap membongkar kasus calon anggota DPRD di salah satu kabupaten. Karena hal itu masyarakat, polisi, bahkan pejabat sering segan dengan wartawan karena menganggap kami selangkah lebih tahu dari mereka. Namun di dalam gedung salah satu media terbesar di Ngawi itu, semua kebanggaan dan harapan besar itu runtuh. Hingga suatu saat, dengan sangat berat hati, saya melepaskan profesi itu dan memilih pekerjaan yang lain.
Perbuatan si redaktur itu telah mencoreng kehormatan wartawan dan perusahaan medianya. Semestinya para petinggi yang membawahi media itu membuka mata dan menindak tegas pelaku pelecehan seksual sekaligus menjamin hal tersebut tidak terulang. Hanya dengan sikap itu, group perusahaan media besar di Jawa itu bisa kembali memulihkan kepercayaan publik bahwa berita mereka diproduksi di sebuah ruang kerja yang sehat dan aman. Karena hanya dari ruang redaksi yang sehat, aman, dan profesional saja akan bisa tercipta berita yang terpercaya serta bermanfaat bagi rakyat.
P Kusuma