MELALUI The Histories, Herodotus berteori. Dia menunjukkan pola pertumbuhan dan kemunduran dari sebuah dinasti politik. Fase pertumbuhan dan kemunduran, dia percaya, dapat dijelaskan dalam dua cara. Pertama, nasib baik terus-menerus akan melahirkan arogansi.
Penguasa yang sombong, ujar Herodotus mengatakan, sering kali mengabaikan saran dan kritik. Setelah mereka melampaui batas fana mereka, hukum alam akan menyambangi mereka dalam bentuk palu godam keadilan. Hal ihwal ini dapat dilihat di sejarah naik-turunnya kekuasaan Cyrus dalam bagian pertama The Histories.
Ke dua, naik turunnya kekaisaran dapat dijelaskan sebagai fenomena budaya ‘keras’ dan ‘lunak’. Menurut Herodotus, budaya keras kurang bisa berkembang, pemerintahannya terpusat dan sangat kurang independen. Budaya lunak yang kaya, sering diperintah oleh raja yang absolut namun terbuka oleh potensi penaklukan oleh pihak luar.
Dalam budaya keras, Herodotus menyarankan, kecenderungan untuk menaklukkan budaya lunak. Ketika mereka melakukannya, mereka cenderung menjadi lunak dan dengan demikian berakibat pada invasi. Persia menunjukkan siklus ini. Pada awal periode rincian Herodotus, Persia miskin dan terbelakang.
Namun dalam buku ke tujuh, semua orang Persia berdaulat ke Xerxes untuk menjaga keselamatan dan gaya hidup mewah mereka. Herodotus membuat kita tidak ragu bahwa Xerxes adalah penguasa yang keras dan megalomaniak. Kelembutan atau kelemahan dari Persia inilah yang menjadi kelemahan Xerxes dalam menghadapi orang-orang Yunani.
Orang-orang Yunani, dilukiskan oleh Herodotus, sebagai orang-orang berwatak keras yang bekerja sama untuk menaklukkan dan menkolonisasi di daerah teluk. Perbedaan antara ‘kekerasan’ dan ‘kelembutan’ inilah yang dapat menjelaskan keberhasilan orang-orang Yunani.
Dalam The Histories, Herodotus hanya menyebutkan seorang pendahulunya, Hecataeus dari Miletus, yang menulis sebuah karya mengenai geografi sejarah, Periodos. Hecataeus (Herodotus memberitahu kita), hidup di masa Pemberontakan Ionia dari 499 SM dan dia dua kali memberi saran kepada para pemberontak, namun masukannya itu ditolak. Herodotus mengakui telah membaca apa yang Hecataeus tulis tentang Mesir, tapi terlalu sedikit dari informasi dari Periodos yang dapat dinukil darinya.
Tampaknya kedua sejarawan tersebut memiliki ide-ide yang sangat mirip tentang Pemberontakan Ionian, tetapi Herodotus memiliki ide-ide yang lebih maju mengenai kartografi. Dia meremehkan, misalnya, peta yang menunjukkan dunia sebagai cakram yang dikelilingi oleh sungai yang disebut sebagai samudera. Pengaruh intelektual lain di diri seorang Herodotus lebih sulit dilacak. Dia mungkin telah melihat Charon asal Campsaus di Persia, Xanthus (dari Lydia) di Lydia dan bahkan mungkin bekerja dengan Dionysius dari Miletus, Hellanicus dari Cesbo dan Pherekydes asal Athena.
Walaupun dia gagal untuk menyebutkan para penulis prosa, terkecuali Hecataeus, Herodotus sering mengutip penyair seperti Homer dan Hesiod. Meskipun dia mencela penyair untuk lebih memilih data yang sesuai dan akurat, kita dapat melihat pengaruh puisi pada kedua struktur tulisannya dan pilihannya frase tertentu. Misalnya, pekerjaan Herodotus ditandai dengan ‘komposisi cincin’, dalam buku ke enamnya. Ini juga terlihat jelas dalam buku-buku ke dua dan ke tiga, yang berisi tentang pengumuman niat Cambyses untuk menginvasi Mesir.
The Histories, karya Herodotus yang mengagumkan ini, telah membuncah untuk mencari asal-usul dari masa lalu (dan masih begitu nampak) di hadapan kita. Keinginan historisitasnya tetap tak tertahankan. Mengetahui apa yang ada di sekitar dan di belakangnya, bisa membuat lebih jelas apa yang unik tentangnya; itu bisa, dengan asumsi definisi yang disepakati oleh para sarjana, untuk memberitahu kita, apakah dia benar-benar laik sebagai “Bapak Sejarah”.
Hal ihwal ini terjadi jika kita memiliki sejumlah informasi–yang sangat fragmentaris, memungkinkan hanya jumlah terkecil hipotesis diverifikasi–tentang pendahulunya dan sezamannya. Tapi sebenarnya, jika seseorang ingin tahu apa ada hubungan antara Herodotus dan rekan-rekannya, yang terbaik adalah dengan cara melihat Herodotus dari teks itu sendiri.
Herodotus sering kali argumentatif dan menghakimi. Dari bagian pertama bukunya, dia sangat menolak pendapat bodoh, bukti yang bertentangan dan berat sebelah, membuat pernyataan tegas tentang metode (kalau bukan karena pesonanya yang akhirnya berpihak pada sang pemenang).
Meskipun Herodotus menggunakan tradisi sastra, namun dia tidak semata-mata terikat kepada tradisi itu. Dia menuliskan karyanya sebagai suatu karya yang indah dan imajinatif, tetapi disampaikan sebagai suatu karya yang lebih pantas daripada sekadar sebuah epik. Herodotus menghormati Dewi Calliope sebagai “Dewi Sastra” Yunani Kuno, tetapi sekaligus tetap mempertahankan Dewi Clio sebagai “Dewi Sejarah”.
Herodotus berusaha memahami apa yang telah terjadi, mengapa hal itu terjadi dan secara eksplisit dia mengenali bahwa untuk memafhumi peristiwa, orang tak perlu melihat kepada mitos-mitos Yunani atau karya-karya Homer.
Lewat kombinasi ketegasan seorang peneliti arkaik yang sunggung-sungguh, skeptisisme dalam proses pengumpulan dan pengujian atas pelbagai bukti yang diperoleh, dan apresiasi puitis, Herodotus membuat suatu terobosan dalam tradisi sejarah yang ada pada era itu. Herodotus membuat semacam “pemberontakan senyap”, namun disadari, atas pemikiran dan puisi mitos dari Homerus yang hegemonis.
Saya kira, pantaslah, gelar “Sang Globalis Pertama”, meminjam julukan dari jurnalis cum sejarawan Ryszard Kapuscinski, disematkan padanya. Tabik, Herodotus!