The emotional, sexual, and psychological stereotyping of females begins when the doctor says, “its a girl” (Shirley Chisholm)
Dalam sebuah percakapan di WhatsApps, seorang aktivis perempuan dari Papua bertanya tentang cara mengadvokasi para perempuan korban kekerasan. Salah satu kasus kekerasan yang ia ceritakan adalah ada seorang perempuan yang meninggal karena ulah suami sang perempuan tersebut.
Begini bunyi WA yang masih saya simpan itu:
“Baru seminggu ini salah satu temanku jadi korban di mana dia lagi hamil, suaminya pulang mabuk dan pukul istrinya hingga koma dan kemarin meninggal.”
Alih-alih memberitahu formula tepat untuk advokasi, yang sebenarnya saya juga tidak tahu, saya menyarankan untuk mencari tahu akar permasalahan kekerasan tersebut pada penduduk setempat, bisa melalui ketua-ketua adat setempat misalnya.
Saya menyarankan padanya, sebelum melakukan aneka kegiatan advokasi, mungkin lebih baik mendekati ketua adat atau tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk mengetahui akar permasalahan dan mencari formula tepat bersama dalam menyelesaikan permasalahan. Saya kira hal ini sangat penting, sebelum melangkah ke hal-hal teknis, yang dampak sosialnya langsung bisa dirasakan.
Salah satu tanggapan aktifis tentang usul saya itu “Iya mbak saya sudah dekat dengan salah satu tokoh perempuan. Tapi mereka bilang, apa kata orang kalau suami yang sudah pukul terus kita lapor ke polisi dan malamnya kita tidur bersama lagi,” Dari sini, teman saya menyimpulkan bahwa tokoh-tokoh adat tersebut telah pasrah.
Lebih jauh ia mengatakan, “Saya sekarang banyak coba diskusi dengan tokoh-tokoh adat dan tokoh perempuan di mana memang harus kita coba memberi pemahaman tentang merubah cara hidup bersih dulu dalam diri mereka dengan kebersihan dari pribadi dan rumah dulu mbak dan ini memang sepele tapi ini kan awal mereka harus dibimbing dulu, karena mereka kalau bangun tidur itu tidak urus diri dan rumah, mereka langsung duduk makan pinang.”
Metanarasi, Ruang Bersama Kaum Perempuan
Tentu ada keyakinan kuat dalam diri teman saya ini, bahwa kondisi ini harus diubah. Bahwa para perempuan harus melawan kondisi tersebut dan melakukan perubahan atas situasi yang menindas. Masalahnya, bagaimana hendak bersikap ketika para perempuan ini ditempatkan dalam situasi yang sulit akibat kultur yang—termapankan?
Pada sisi yang lain pun bisa jadi juga timbul persoalan, di mana lelaki yang melakukannya suatu tindak kekerasan tersebut mendapatkan legitimasi baik norma, tradisi maupun sistem yang memberikan ruang bagi mereka untuk melakukan penindasan karena budaya kita memang masih terkesan patriarkis.
Di dalam situasi demikian, yang saya kira sangat penting dilakukan adalah tidak ‘grusa-grusu’ atau gegabah dalam mengambil langkah, seperti menjiplak juklak maupun juknis yang tersedia. Saya kira ini penting untuk menghindari seolah-olah saya dan teman saya itu yang paling tahu, memposisikan diri sebagai ordinat dari sub-ordinat kuasa pengetahuan serta merasa paling mengerti masalah para perempuan yang menjadi korban. Sikap menggali akar permasalahan dan kepentingan para perempuan tersebut menjadi penting untuk menghindari efek buruk yang tidak kita inginkan.
Coba kita simak kasus kekerasan lain yang juga ia ceritakan:
Di Papua Barat, ada anak kandung yang sudah hidup bersama dengan bapak kandungnya. Tidak ada yang tahu kalau mereka berdua selama ini inses. Baru diketahui inses setelah para tetangga tahu anak ini hamil. Ternyata kehamilan anak ini, yang diketahui banyak orang adalah kehamilan anak ke-5. Sebelumnya, anak ini sudah empat kali hamil dan bisa digugurkan, sehingga orang lain tidak ada yang tahu tentang inses tersebut. Lalu, setelah ketahuan aparat kepolisian menangkap bapak anak tersebut. Fatalnya, setelah ayahnya ditangkap sang anak malah bunuh diri.
Konon kata teman saya ini, alasan bunuh diri itu karena anak tersebut sudah kadung gandrung atau cinta dengan ayahnya. Maksud aparat baik, menurut pengetahuan orang kebanyakan, melarang inses seperti yang kita yakini, bahwa inses tidak diperbolehkan, tetapi lihatlah bagaimana efek tindakan yang sering kita sebut baik itu pada orang lain? Alih-alih ingin menegakkan hukum, yang terjadi justru menjadikan orang lain sebagai korban.
Lantas, apa yang dikatakan ketua adat perempuan tentang alasan mereka menolak untuk memakai hukum posifistik dan aksi seorang perempuan yang memilih bunuh diri setelah bapaknya, ‘kekasihnya’, di penjara, cukup semakin menyakinkan saya bahwa ruang kepentingan bersama perempuan harus terus menerus dicari dan digali sesuai konteks masyarakat. Bahwa memahami betul keinginan dan kemauan maupun kepentingan para perempuan itu jauh lebih penting daripada memaksakan apa yang kita yakini sebagai kepentingan bersama. Jangan sampai semakin banyak korban yang berjatuhan karena kita merasa paling benar.
Keinginan untuk mengubah orang lain, mengubah tata cara hidup orang lain ini agar sesuai dengan standar kita mungkin masih banyak diterapkan para aktifis. Barangkali masih sering kita jumpai para aktifis menggunakan standar dan takaran sesuai selera dan keinginan mereka, dengan menafikan apa yang menjadi keinginan dan kepentingan orang-orang tersebut (baca korban). Bagi saya, hal ini seperti memperlakukan manusia seperti benda. Nalar atau cara pandang seperti ini saya kira tidak berpegang pada prinsip-prinsip kemanusiaan.
Di dalam percakapan itu, saya menekankan diri bahwa ada situasi yang berbeda dan tentu juga pengetahuan berbeda pula. Kita tidak bisa memaksakan takaran dan standar pengetahuan kita pada kondisi yang membutuhkan perlakukan khusus. Sederhananya, kita tidak boleh mengeneralisir persolan. Sebab, memaksakan kehendak meskipun atas nama kepentingan kesetaraan gender saya pikir perlu juga untuk dikoreksi.
Bagi saya, kita harus berhati-hati dalam menyikapi kasus tersebut, alih-alih kita ingin memerdekakan seseorang atas situasi kekerasan yang dialaminya, malah jangan-jangan kita terjebak pada sebuah imaji tentang adanya pengetahuan universal serta penyeragaman pengetahuan untuk sesuatu yang kita sebut baik dan buruk.
Berkaca dari garis hidup Raden Ajeng Kartini, sosok putri ini hanya punya kepentingan sederhana, ingin perempuan –khususnya Jawa- saat itu tercerahkan dengan pendidikan. Ia mengalami sendiri rasanya dipingit dan berharap dengan pengabdian yang ia lakukan untuk kepentingan perempun bisa membawa perubahan.
Sementara kini, alih-alih ingin kritis dan memerdekakan orang lain dari ketertindasan, jangan-jangan kita malah menjejali atau memaksa ide-ide yang juga belum pernah kita diskusikan apalagi kita kritisi sebelumnya. Hanya copy paste.
Kalau sudah begitu kepentingan siapa yang sedang kita perjuangkan? Pernahkah kita mendengar dan bertanya apa yang ingin kita perjuangkan?
Tentang penulis:

Nur Izzah Millati. Alumni Lembaga Pers Mahasiswa ARENA, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kini Staf Ahli Anggota Dewan