To be liberated, woman must feel freeto be herself, not in rivalry to man but in the context of her own capacity and her personality – Indira Gandhi
Gerakan emansipasi gender khususnya di sektor ekonomi punya kedudukan sangat penting dalam mengurangi kemiskinan perempuan. Adanya gerakan menghapuskan stigmatisasi oleh tradisi kultural, agama, sosial dan politik yang negativitas perempuan yang mendapatkan pendidikan tinggi dan bekerja di sektor publik dapat menciptakan pola pembangunan lebih adil kepada perempuan. Faktor pembentuk stratifikasi sosial yang menempatkan perempuan menjadi second sex seperti Adat Istiadat, Agama, Negara, Media Massa, Kapitalisme Pasar, dan pressure group lainnya menentukan masa depan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam sektor ekonomi.
Saat ini sedikit demi sedikit, masyarakat Indonesia mulai menerima perempuan yang bekerja di sektor publik. Namun demikian dalam Laporan Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2014 – 2015 yang diterbitkan oleh International Labour Organization menggambarkan bahwa segregasi perkerjaan antara laki-laki dan perempuan masih cukup besar. Tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja sangat rendah hanya berkisar antara 50 sampai 55 persen selama lima tahun terakhir.
Dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki, perempuan masih mendominasi perkerjaan-perkerjaan yang memiliki pendapatan rendah, dalam posisi yang sama perempuan diberikan penghasilan yang lebih rendah, perempuan memiliki carrier path yang lebih lambat, sebagian besar menjalani pekerja dengan tingatan terendah seperti menjadi buruh lepas yang membuat komponen dalam rantai aktivitas pabrik dan bahkan sebagian melakukan perkerjaan tanpa mendapatkan upah sama sekali.
Perbedaan jumlah persentase pertumbuhan dan perkembangan angkatan kerja laki-laki dan perempuan tersebut disebabkan oleh stereotype sosial atas perempuan yang masih tumbuh signifikan di masyarakat yang menyebabkan sebagian perempuan masih bertanggung jawab untuk mengurus keluarganya secara penuh.
Di daerah-daerah urban di Indonesia, sebagian besar perempuan telah bekerja di profesi yang identik dengan sifat feminim, namun demikian cukup banyak perempuan telah bekerja pada sektor-sektor yang selama ini diidentikan dengan profesi laki-laki seperti tukang ojek, kondektur bus, security sampai executive dalam lembaga Negara dan institusi swasta. Namun demikian, tugas mengurus anak dan rumah tangga tidak sepenuhnya hilang dari perempuan. Bahkan sebaliknya, tugas perempuan semakin berat karena dibebani oleh dua tanggung jawab yaitu melakukan kerja di ruang publik dan tetap menjadi penanggung jawab utama perkerjaan domestik, usai melakukan kerja di luar rumah.
Superwoman Syndrome ini disebabkan pembagian beban domestik rumah tangga tak secara merata, meskipun sebagian dari perkerjaan tersebut dialihkan kepada pembantu rumah tangga yang notabene adalah perempuan lain, namun laki-laki belum dibebani dengan tugas domestik karena sepenuhnya berkonsentrasi pada perkerjaan di sektor publik.
Perempuan menjadi penanggungjawab urusan domestik karena atribut sosial yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki, dihasilkan secara historis oleh konstruksi sosial selama ratusan tahun. Sifat-sifat feminim yang melekat perempuan dianggap lebih cocok untuk menjadi penanggung jawab urusan domestik dibandingkan sifat-sifat maskulin yang dilekatkan pada laki-laki. Karena secara biologis perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui bayi maka secara hormonal hal tersebut cukup menjadi legitimasi bahwa perkembangan dan pertumbuhan anak menjadi tanggung jawab perempuan. Padahal kalau dilihat perkerjaan domestik banyak melibatkan aktivitas fisik dibandingkan softskill sebagai contoh mencuci, membersihkan rumah, memasak dan sebagainya, akan lebih ringan apabila dilakukan oleh laki-laki.
Wacana perempuan bekerja ini juga kembali dikaburkan dengan wacana kecukupan perempuan yang terangkat stratifikasi sosialnya oleh kesuksesan pasangan saja, tanpa melihat bahwa secara umum bargaining position dalam membagi peran domestik akan semakin tinggi apabila perempuan telah bekerja di sektor publik karena ia independen secara ekonomi. Wacana ini juga mendestruksi gerakan emansipasi khususnya apabila menjadi mindset perempuan yang berasal kelas sosial dan ekonomi terbawah. Dalam kondisi krisis sebagai contoh perceraian, pasangan tidak mampu bekerja kembali, kehilangan perkerjaan atau meninggal dunia, perempuan yang terbiasa tidak mempunyai keterampilan, akses ekonomi dan keberanian yang cukup untuk bisa memenuhi kewajiban menggantikan pasangan untuk bekerja di sektor publik, ia dan anak-anaknya akan terperangkap pada lingkaran kemiskinan.
Siapa saja yang dapat membantu mempercepat atau juga menghambat rekonstruksi subordinasi perempuan?
Pertama, agama dalam hal ini adalah tafsir agama adalah salah satu institusi terkuat yang mempengaruhi pola relasi lelaki perempuan. Agama Islam misalnya datang untuk mengubah budaya partiarki yang menempatkan perempuan hanya sebagai objek seksual, menjadi mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki. Beberapa surat dalam Al-Quran misalnya At-Taubah 9:71-72 dan Al-Hujurat 49:13 menyatakan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan danpernyataan bahwa yang paling mulia di hadapan Allah SWT adalah bukan berdasarkan jenis kelamin namun berdasarkan tingkat ketaqwaan.
Namun demikian, masih banyak tafsir agama yang diskriminatif, akhirnya menjadi legitimasi atas perlaku-perilaku misoginis yang tidak saja dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan tetapi juga oleh perempuan kepada perempuan lain. Salah satu contoh adalah wacana tidak diperbolehkannya memilih pemimpin perempuan dalam pemilihan umum. Pada akhirnya tafsir-tafsir diskriminatif tersebut hanya digunakan sebagai senjata politik, menjadi pisau yang hanya tajam kepada lawan politik namun pada saat memiliki kepentingan yang sama ia tidak diterapkan dengan mengatasnamakan prinsip-prinsip egalitarianisme dan anti diskriminasi.
Kedua, adat istiadat dan norma lokal (local wisdom) yang sudah beratus tahun tumbuh dan diwariskan dari generasi ke generasi adalah faktor yang ikut menentukan dominasi wacana patriarkhi Indonesia pada saat ini. Sebagai contoh adalah pada budaya Jawa, perempuan ditempatkan sebagai Konco Wingking yang hanya bekerja di wilayah domestik yaitu sumur, kasur dan dapur. Contoh lain adalah dalam struktur pemerintahan Kraton dan kerajaan-kerajaan di Jawa yang mana jabatan raja hanya diturunkan kepada anggota kerajaan dengan jenis kelamin laki-laki, dan keturunan yang masuk pada inner circle kerajaan atau berdarah biru harus berasal dari garis keturunan laki-laki, sedangkan yang berasal dari anggota kerjaan perempuan sudah dianggap outsider atau rakyat biasa.
Ketiga, Negara adalah institusi yang secara langsung dapat melakukan intervensi untuk mempromosikan kesetaraan perempuan dan laki-laki. Beberapa hal yang cukup signifikan dilakukan oleh Negara adalah pembuatan batas minimal persentase jumlah perempuan untuk calon anggota parlemen sesuai dengan Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang menyebutkan bahwa setiap parpol peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
Namun demikian, peraturan-peraturan yang diskriminatif juga masih kita dapat temui misalnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 34 yang menegaskan tanggung jawab suami adalah di wilayah publik yaitu melindungi isteri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan kewajiban isteri adalah di wilayah domestik yaitu mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
Selain itu terdapat fenomena pemerintahan-pemerintahan lokal yang menghasilkan produk-produk kebijakan yang diskriminatif kepada perempuan, antara lain Perda Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Masyarakat di Sumatera Barat yang mengatakan “Setiap orang, baik pribadi maupun kelompok, dilarang melakukan tindakan yang mengarah pada terjadinya perzinaan dan tindakan yang merangsang nafsu birahi yang dilakukan dengan gerakan dan/atau tidak menutupi bagian tubuh yang dilarang oleh norma agama dan adat.”
Negara masih menganggap tubuh perempuan sebagai penyebab timbulnya libido laki-laki yang akhirnya menyebabkan masyarakat mengukur tingkat keimanan perempuan dari tertutup atau tidaknya tubuhnya. Dalam kasus pelecehan seksual misalnya, masyarakat kerap kali menyalahkan perempuan atas jenis pakaian yang dikenakan dan bukan menuntut perubahan mindset laki-laki yang melakukan pelecehan.
Kebijakan Negara kemudian menjadi perangkat yang efektif untuk mengukuhkan tafsir agama yang cenderung partriarkhi sehingga sanksi sosial dapat dimanifestasikan dalam sanksi hukum formal. Negara yang dilengkapi dengan perangkat penegak yang legal dan memiliki kekuatan finansial bahkan dapat memperkuat stigma negatif kepada perempuan, yang juga menjadi legitimasi bagi unsur masyarakat lain untuk melakukan penghakiman atas perempuan.
Selain itu, anggapan bahwa perkerjaan domestik bukan salah satu perkerjaan yang bernilai ekonomi membuat Negara belum memberikan perhatian yang cukup yang memungkinkan perempuan dapat melakukan kerja di luar itu. Kebijakan-kebijakan seperti pengaturan jam kerja yang flexible dan pengaturan cuti bagi laki-laki dan perempuan yang telah menikah dan memiliki anak, pengaturan pola pengasuhan dan pendidikan anak, dan program lainnya yang memudahkan pengelolaan urusan-urusan domestik akan sangat dibutuhkan untuk memberikan kesempatan bagi perempuan bekerja di sektor publik.
Keempat, liberalisasi media massa di Negara yang mengadopsi sistem demokrasi seperti di Indonesia memberikan kebebasan bagi unsur masyarakat untuk bisa memberikan segala macam informasi, termasuk juga informasi yang menggiring kembali perempuan dari ruang publik untuk kembali ke ruang domestik. Mudahnya menyebarkan egalitarianisme dalam era media sosial seperti sekarang sama mudahnya menemui wacana diskriminatif dan misoginis. Tingkat edukasi dan konsumsi media massa termasuk media sosial yang cukup tinggi ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat kesadaran akan kesetaraan kedudukan perempuan dan laki-laki.
Kelima, Kapitalisme pasar ikut mengambil peran antara mendukung kesetaraan gender dan sekaligus mendukung tradisi lama bergantung pada konteks apakah menguntungkan atau tidak bagi Kapitalisme itu sendiri. Pada saat emansipasi memberikan keuntungan, maka Pasar akan mempromosikan sekaligus juga tetap menyimpan unsur-unsur patriarki dengan tujuan yang sama. Industri memberikan tempat bagi perempuan untuk bekerja di ruang publik misalnya memberikan lapangan perkerjaan bagi buruh, namun dalam melakukan desain, produksi dan pemasaan produk-produk masih menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab wilayah domestik.
Wacana tersebut masih dominan karena diyakini kebenarannya oleh masyarakat luas dan memberikan wacana tandingan yang bertentangan dengan itu artinya akan menghambat mesin penghasil uang. Sebagai contoh, iklan-iklan produk dan jasa yang terkait dengan urusan domestik seperti sabun cuci, sabun pembersih lantai, produk dan jasa yang berhubungan dengan anak masih didominasi oleh perempuan, bukan laki-laki.
Gerakan anti diskriminasi gender di Indonesia yang tumbuh oleh berbagai macam pressure group sudah menuju ke arah yang lebih baik, namun isu ini harus tetap di kawal oleh seluruh elemen karena kebijakan dan keputusan yang dibuat oleh Negara, Media Massa, Pasar, institusi-institusi Agama, Adat Istiadat dan pressure group lainnya belum memiliki komitmen yang bisa dipercaya sepenuhnya untuk mengusung program-program yang mendorong penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Jika seluruh elemen tersebut baik dari laki-laki dan perempuan bahu membahu untuk mendorong transformasi kesetaraan hubungan gender yang memungkinkan perempuan mengakses strutur ekonomi, sosial dan politik setara dengan laki-laki, maka niscaya kemiskinan khususnya pada perempuan lebih mudah diatasi. (Foto: Pixabay&Poskota)
Ilmia A. Rahayu
Bekerja sebagai Banker pada bagian Kepatuhan di salah satu Bank Asing di Jakarta. Alumni Fisipol Universitas Gadjah Mada dan Alumni Lembaga Pers Mahasiswa Himmah Universitas Islam Indonesia (UII)