“Jika ingin mencari surga di muka bumi ini, di Indonesia lah tempatnya”
Indonesia, Sebuah negara terluas ke 7 di dunia dengan luas daratan sebesar 1.919.440 km² dan dihuni oleh 257,6 Juta Penduduk. Bumi Indonesia dilalui garis khatulistiwa yang membuat Indonesia beriklim tropis. Iklim ini berdampak pada tumbuh suburnya tanaman di Indonesia. Saking suburnya kurma yang sejatinya adalah tanaman gurun pasir bisa tumbuh dan juga berbuah di negeri pertiwi ini. Maka dari itu tidak ada yang meragukan kekayaan alam Indonesia. Bahkan Syaikh Ali Thantawi seorang ulama besar dari Syria mengungkapkan “Jika ingin mencari surga di muka bumi ini, di Indonesia lah tempatnya”. Sungguh ini semua merupakan anugerah besar.
Namun keadaan ini masih kontraproduktif dengan kecukupan pangan di Indonesia. Bahan makanan pokok terutama beras produksi petani masih belum cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri. Alhasil kita harus mengimpor beras. Jumlah impor beras di bulan Januari sampai juli 2016 sebesar US$ 447 juta. Jujur saya sempat tertegun sembari tidak percaya melihat uang sebesar itu untuk impor beras dari luar negeri. Cukup ironis memang jika melihat luasnya wilayah dan suburnya lahan Indonesia.
Apakah sejatinya yang terjadi padahal Indonesia sudah dikaruniai lahan pertanian dan tanah yang subur ini? Problematika ini membawa saya mengikuti sebuah diskusi blogger dan media bertajuk Memajukan Pertanian Berkelanjutan Untuk Wujudkan Hak Atas Pangan yang diadakan oleh Oxfam dan Forum Alumni Aktivis PPMI. Dua kata yang menjadi kunci adalah pertanian dan pangan. Ya, saya sendiri menyadari bahwa antara pertanian dan pangan adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan dan saling memengaruhi. Hasil pertanian akan berdampak pada kondisi pangan nasional.
Pertanyaan mengenai kekurangan pangan dan impor bahan pangan yang sebelumnya sempat terngiang di kepala akhirnya terjawab oleh bapak Noor Advianto sebagai Perencana Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian PPN (Bappenas). Pada intinya kekurangan pangan terjadi karena demand lebih besar dari pada supply bahan makanan. Tentu ada beberapa faktor yang mempengaruhi produksi pertanian itu lebih kecil dibanding konsumsinya. Mulai dari luas lahan pertanian, pertumbuhan penduduk dan tentu kondisi petani itu sendiri.
Sepertiga (32,76%) petani berumur di atas 54 tahun. Petani sudah berusia sepuh ini kurang bisa menyesuaikan perkembangan teknologi. Masih belum banyak anak muda yang akan menjadi bibit generasi penerus pengelola sektor pertanian. Anak muda menganggap bahwa profesi petani dianggap sebagai sebuah keterbelakangan. Anak muda bertani itu gengsinya kurang dan gantengnya akan pudar. Yah itulah anggapan awal saya. Ke sawah panas-panasan dan mengelola ladang yang melelahkan terlihat bukan anak muda banget. Kerja kantoran di ruangan menjadi sebuah pekerjaan dambaan anak muda seperti saya. Hal ini diperkuat oleh ungkapan orang tua saya yang juga petani berkata, “Jangan Pernah jadi petani kayak bapak nak, mending kamu kerja kantoran saja atau jadi PNS, sudah panas uang hasil panen hanya bisa untuk hidup sehari-hari.”
Pemerintah (BPS) maupun lembaga-lembaga internasional menyebutkan bahwa sebagian besar rumah tangga petani Indonesia masih merupakan rumah tangga miskin bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengalami kekurangan gizi. Oleh karena itu kesejahteraan petani juga patut menjadi perhatian oleh pemerintah. Jika tidak bisa memberikan bantuan secara materi setidaknya bisa memberikan sebuah bimbingan teknologi terkini melalui tenaga ahli. Petani juga perlu sebuah asupan pengetahuan untuk selalu memperbaharui ilmu pertanian.
Kebijakan yang pro petani juga sangat membantu untuk kesejahteraan petani. Seperti subsidi pupuk, bantuan alat pertanian dan bibit tanaman. Subsidi ini harus diawasi secara ketat sehingga bisa tepat sasaran. Kebijakan lain seputar pertanian harus segera disosialisasikan sehingga petani kita bisa paham dan tidak menimbulkan multitafsir yang bisa memicu perdebatan.
Perlu sebuah jaminan hidup layak untuk petani yang sejatinya merupakan pahlawan pangan. Sehingga bisa menepis anggapan jika profesi petani tidak keren dan bukan anak kekinian banget. Paradigma bahwa petani nggak keren atau kolot kini sudah ada sebuah solusi. Jujur saya pun baru mengetahui bahwa ada duta petani muda. Sebuah pergerakan yang menjadi motivasi anak muda seperti saya bahwa pertanian juga sebuah sektor yang keren dan menjanjikan. Istilahnya kita tetap bertani di ladang tapi bisa berdasi ketika disepadankan dengan profesi kantoran. “Kaum perempuan juga bisa aktif dan turut andil dalam mencukupi kebutuhan pangan melalui sebuah kompetisi pertanian di perempuan pejuang pangan begitu kata ibu Dini Widiastuti selaku direktur program keadilan ekonomi Oxfam pada hari Minggu 24 Oktober 2016.
Orangtua saya yang berprofesi sebagai petani padi juga sering mengeluhkan hama tanaman. Seperti banyak tikus ,wereng, dan cuaca ekstrim yang belakangan menjadi isu global yang turut berimplikasi terhadap hasil pertanian. Untuk mengatasi beberapa permasalahan itu sangat perlu sebuah bimbingan baik itu dari kelompok penyuluh pertanian maupun ahli tani lain.
Jika kita melihat ke belakang, Indonesia sempat swasembada beras pada tahun 1984. Namun itu hanya bisa bertahan 5 tahun. Untuk tahun berikutnya Indonesia terus mengimpor beras. Menurut Tjuk Eko Hari Basuki sebagai Kepala Pusat Ketersediaan Kerawanan Pangan Kementerian Pertanian. Teknik pengelolaan pertanian sesuai kultur budaya dan kearifan lokal setiap daerah juga patut di adopsi di masa sekarang. Contoh saja seperti pada budaya jawa yang percaya dengan “Pranata Mangsa” atau penanggalan yang tepat untuk mulai menebar bibit tanaman.
Untuk keberlanjutan pertanian bapak Khudori salah satu narasumber diskusi yang hadir di hotel ibis tamarin mengungkapkan sebuah konsep pertanian ekoregion. Sebuah sistem pertanian berdasarkan keadaan geografi wilayah. Misal yang di wilayah Sumatera dan Kalimantan lebih cocok untuk ditanami kelapa sawit. Wilayah Papua menanam sagu, Sedangkan di jawa tanaman yang mendominasi adalah padi. Hal ini disesuaikan dengan kondisi curah hujan, suhu dan struktur tanah tiap daerah.
Lingkungan juga harus diperhatikan dalam eksplorasi hasil pertanian. Pemanfaatan pertanian harus proporsional dan memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan. Contoh pemakaian Pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan membuat mikroorganisme yang berguna untuk tanaman hilang dan tanah menjadi gersang. Selain itu ekosistem juga akan terganggu dan mempengaruhi produktivitas tanaman. Tindakan semacam ini sebisa mungkin di cegah dan dicari alternatifnya. Karena pertanian bukan cuma untuk hari ini. Keberlangsungan pertanian untuk mencukupi pangan kini dan nanti di masa depan.
Pangan menjadi dasar penyangga stabilitas ekonomi, politik dan keamanan negara. Coba deh bayangin jika anda lapar emosi tentu tidak terkontrol bukan? Pun demikian dengan masyarakat. Apabila pangan belum tercukupi atau istilahnya kelaparan, tentu tindakan anarkis juga bisa dilakukan. Seperti yang pernah diucapkan presiden Soekarno “rakyat akan mengalami bencana, malapetaka, jika soal makanan tidak segera dipecahkan, karena soal makanan adalah soal hidup dan mati.
Di akhir diskusi hari minggu tanggal 30 Oktober 2016 kala itu turut hadir juga seorang penyanyi cilik Dea Ananda. Parasnya yang cantik dan lesung pipi tergurat di wajahnya mengajak para blogger dan media yang hadir untuk bernyanyi. Saya yang semula tegang dalam menyimak setiap narasumber sedikit terhibur. Bagi dia banyak produk pertanian Indonesia memiliki kualitas yang bagus. Beras Cianjur, jagung Boyolali dan masih banyak lagi. Kendala yang dihadapi adalah produk pertanian ini belum banyak dikenal dunia. Oleh karena itu perlu sebuah promosi melalui berbagai media.
Pertanian menjadi sektor vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagi saya sangat salah jika kita mencari sekarung beras ke negeri orang, dengan anugerah yang sedemikian banyak harusnya mereka yang mencari produk pertanian ke Indonesia. Kita tidak bisa leyeh-leyeh, bersantai ria lantas mengharapkan keluar dari cengkraman impor beras. Namun perlu Kerjasama pemerintah bersama dengan masyarakat bahu membahu saling transparan dan satu tujuan memajukan sektor pertanian.
Ketersediaan pangan tidak hanya dalam artian secara kuantitas produk pertanian memenuhi namun juga secara kualitas produk pertanian itu memiliki gizi yang sesuai kebutuhan tubuh. Kondisi ini tentu juga harus diikuti dengan keterjangkauan harga bahan pangan itu sendiri. Sekarang bagaimana kita sebagai rakyat mengelola karunia yang sangat melimpah yang telah diberikan oleh tuhan ini. Memperhatikan pelestarian lingkungan dan ilmu pengetahuan tentang teknologi pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan kini dan nanti di masa depan. (Foto: Shutterstock&Anjar Setyoko)
Anjar Setyoko
Pemenang Lomba Blogger Media Talk FAA PPMI