“Perempuan tidak hanya jadi pendengar dan pelaksana peraturan, tapi perempuan bisa terlibat aktif dalam menciptakan perubahan” (Margareth Tatcher)
Sebanyak 171 daerah akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah pada 27 Juni 2018. Jumlah ini terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Termasuk di dalamnya adalah Jawa Timur yang menggelar satu Pilgub dan 18 pemilihan kepala daerah di Kabupaten/Kota.
Dari 17 provinsi yang menggelar pilkada, terdapat 58 pasangan calon. Sayangnya hanya tujuh pasangan calon yang ditempati perempuan entah sebagai calon gubernur atau calon wakil gubernur. Artinya, hanya ada 12 persen dari keseluruhan. Itupun hanya ada dua pasangan yang menempatkan perempuan sebagai Gubernur yakni Karolin Margret Natasa di Kalimantan Barat dan Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur. Sedangkan sisanya, perempuan diposisikan sebagai calon wakil gubernur.
Angka ini menunjukan rendahnya partai politik mengusung perempuan dalam Pilkada Serentak 2018. Perempuan hanya dijadikan pengeruk suara sebagai pemilih bukan dipilih. Keterbatasan akses dan partisipasi perempuan dalam politik akan berdampak pada kebijakan yang tidak sensitif pada kebutuhan-kebutuhan perempuan dan mengabaikan hak-haknya.
Rendahnya pasangan calon perempuan membuktikan sejumlah partai politik berusaha melanggengkan budaya patriarkhi dengan mengkondisikan perempuan tidak dilibatkan dalam proses-proses politik. Politik dianggap merupakan ranah publik sedangkan perempuan hanya bertugas di dalam domestik, sekadar urusan rumah tangga. Kadang kala dengan dalih agama, perempuan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah dianggap mengurangi kodratnya sebagai perempuan dan tak layak dipilih.
Padahal, partisipasi perempuan dalam politik sangatlah penting. Perempuan yang duduk dalam lembaga pemerintahan, dia mempunyai otoritas mengambil keputusan dan membuat kebijakan. Banyak kebijakan nasional hingga daerah yang mengabaikan kepentingan perempuan. Misalnya Perda yang melarang perempuan keluar malam mengakibatkan perempuan yang bekerja di malam hari seperti pedagang sayuran atau penjual makanan kehilangan ekonomi. Ironisnya, tak semua perempuan sadar bahwa ini adalah produk politik ketika ada masalah-masalah menyangkut sistem yang memberatkan mereka. Ketidakpahaman perempuan ini merupakan efek domino tidak terwakilinya perempuan di bidang politik, baik eksekutif maupun legislatif.
Kerena itulah, perempuan harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Partai politik mestinya memberikan kesempatan kepada perempuan-perempuan mandiri dan kritis untuk terjun dalam politik. Caranya dengan meminimalisir praktik money politic dalam hal rekruitmen politik dan membuat persaingan yang adil berdasarkan kemampuan. Semakin sedikit praktik money politic, kian besar peluang perempuan terlibat dalam dunia politik.
Bila dilihat dari ukuran Jawa Timur, partai politik di Jatim telah mempunyai kematangan dalam memandang hak dan kewajiban politik perempuan sama dengan laki-laki.
Terbukti dengan adanya dua pasangan calon yang sama-sama diisi oleh perempuan, Khofifah Indar Parawansa-Emil Elistianto Dardak dan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno. Dua pasangan calon yang diusung di Pilkada Jawa Timur ini menunjukkan tiga hal yang menyangkut partisipasi perempuan dalam politik tinggi. Pertama, keterwakilan perempuan dalam hal politik dalam pengambilan keputusan. Kedua, pendidikan politik di Jawa Timur. Ketiga, terbukanya peluang keberpihakan APBD dan kebijakan pemerintah terhadap perempuan.
Demokrasi harus diwujudkan dengan mengikutsertakan seluruh masyarakat, baik perempuan maupn laki-laki. Partisipasi perempuan dalam Pilkada Jawa Timur sangatlah penting karena mereka menjadi kelompok mayoritas di provinsi ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jatim 2017, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 19,4 juta jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 19,9 juta jiwa. Suara perempuan menjadi penentu kemenangan pasangan calon. Karena itu, perempuan harus sadar politik karena inilah kesempatan yang baik untuk mengubah kebijakan selama lima tahun mendatang.
Tanpa keterwakilan perempuan di bidang eksekutif maupun legislatif, kebutuhan mereka akan diabaikan dan mengalami diskriminasi. Adanya kepala daerah perempuan dianggap lebih memahami permasalahan perempuan di Jawa Timur. Misalnya terkait angka kematian ibu dan angka kematian bayi di Jatim yang tinggi, sebanyak 91 per 100 ribu ibu melahirkan dan 23 per 100 ribu kelahiran, menunjukkan adanya program pembangunan ekonomi yang mengabaikan kebutuhan perempuan. Perempuan sering kali menjadi korban kemiskinan utama sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi dirinya sendiri dan janin yang dikandungnya.
Mendesaknya Program Pro-Perempuan
Program pro-perempuan seperti menurunkan angka kematian ibu dan bayi, penguatan keterampilan bagi perempuan, hingga ekonomi dan bantuan modal usaha perempuan sangat diperlukan di Jawa Timur. Seringkali program pemberdayaan perempuan hanya berakhir pada pelatihan. Setelah mendapatkan pelatihan, perempuan miskin harus membuka usaha sendiri, mencari konsumen, menjual produknya sendiri bersamaan dengan beban gandanya sebagai pengurus rumah tangga. Untuk itu, perlu kebijakan yang memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan meningkatkan income generating.
Program ekonomi yang tak menyentuh kebutuhan perempuan mempunyai efek domino tak hanya kemiskinan tetapi juga kesehatan dan pendidikan seluruh keluarga. Contohnya, kebijakan program ekonomi kerakyatan yang mengesampingkan kebutuhan perempuan membuat mereka memilih menjadi buruh migran karena tidak terfasilitasi bekerja di Indonesia.. Data dari BNP2TKI, Jawa Timur menjadi daerah sumber TKI terbesar nomor tiga dan didominasi perempuan.Mereka meninggalkan anak-anak dan tak bisa mengawasi kebutuhan gizi dan pendidikan buah hati.
Sekarang, kedua paslon terdiri komposisi perempuan yang akan menjadi kepala daerah. Pemimpin perempuan biasanya lebih paham mengenai permasalahan ini dan merumuskan dalam program prioritas. Tinggal bagaimana perempuan-perempuan di Jawa Timur memilih calon yang mengakomodir kebutuhan mereka.
Konstituen perempuan harus sadar bahwa hak politiknya dapat mempengaruhi pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak pada mereka. Hak tawar ini hanya bisa dilakukan jika ada pendidikan politik yang serius. Sejatinya, memberikan pendidikan politik merupakan tugas partai politik dan pemerintah. Faktanya, pendidikan politik yang dilakukan oleh partai biasanya hanya berkutat pada mobilisasi massa, sebatas kampanye lewat simbol atau mengandalkan keterikatan emosional konstituen dengan paslon, bahkan money politic menjelang pemilu. Sementara kepala daerah sangat jarang yang tidak tersandera dengan kepentingan partai pengusungnya.
Akhirnya, kita tak bisa mengandalkan peran partai dalam pendidikan politik. Organisasi non-pemerintah dan media massa berperan penting dalam memberikan pendidikan politik kepada perempuan. Para perempuan di Jawa Timur dididik untuk memilih pasangan calon berdasarkan program yang berpihak pada perempuan dan memiliki kemampuan untuk untuk menjalankannya. Caranya dengan tidak melihat pasangan calon dari aspek emosional yang tak terukur seperti faktor keturunan atau afiliasi partai politik tertentu melainkan lewat program, kerja dan rekam jejak masing-masing di bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan perempuan. (Foto: Shutterstock/Ilustrasi)