Dunia pendidikan Indonesia dihebohkan dengan gagasan full day school untuk siswa SD dan SMP yang dilontarkan oleh pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi yang “diamini” oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Pro dan kontra terhadap wacana Muhadjir tak terelakkan terjadi. Ada yang berpendapat bahwa sebagai menteri baru yang masuk pada jajaran pemerintahan ‘di tengah jalan’ sudah sewajarnya ada upaya tancap gas agar dapat mengimbangi menteri sebelumnya. Nah, gagasan ini dianggap sebagai salah satu upaya membuat gebrakan membangun opini publik, meski bisa jadi gebrakan yang dimaksud itu belum melalui penggodokan mendalam. Sebagia lain berpendapat bahwa ide itu tidak mendasar karena tidak mungkin diterapkan di daerah. Muhadjir dianggap tidak paham demografi Indonesia, di mana ada sekolah yang bergantian masuk pagi dan masuk siang.

Adakah alternatif yang dapat diwacanakan oleh para birokrat untuk menjawab persoalan dan menuju pendidikan Indonesia yang lebih baik?

 Pendidikan Karakter

Kalau kita cermati isu pendidikan karakter sebenarnya bukan isu baru dan bukan semata program nawacita, program andalan Presiden Joko Widodo. Pendidikan karakter merupakan produk konstitusi yang harus dijalankan oleh pemangku jabatan bangsa ini. Sebenarnya jika para pejabat negara dapat mengedepankan kepentingan rakyat bukan semata kepentingan proyek negara, saya yakin persoalan pendidikan karakter dapat diselesaikan meskipun tanpa gagasan full day school.

Gagasan yang disampaikan Muhadjir bisa jadi bagus, namun bisa juga ahistoris. Gagasan itu bisa dianggap baik karena mengusung semangat menyelesaikan persoalan hubungan anak dan orang tua, terutama di perkotaan, yang renggang dan kurang komunikasi karena kesibukan orang tua. Dengan full day school, kurangnya perhatian orang tua terhadap anak diharapkan akan mendapatkan pengganti dari perhatian guru. Anak juga mendapat aktivitas lebih terkontrol melalui beragam kegiatan di sekolah. Tapi apakah alasan itu cukup untuk menjadi dasar menerapkan full day school dan menjamin tercapainya pendidikan karakter pada anak didik?

Di sisi lain, gagasan full day school itu bisa jadi ahistoris. Karena sesungguhnya pendidikan karakter sudah bergaung sejak 2003 ketika UU Sisdiknas No. 20 diundangkan. Dalam UU itu dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk peserta didik agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kalau kita cermati pada UU tersebut kekuatan spiritual keagamaan menjadi prioritas pertama tujuan pendidikan di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan karakter dengan definisi adanya hubungan yang baik secara vertikal (ketuhanan) maupun secara horizontal (hubungan sesama). Dengan amanah UU ini sebenarnya para menteri terdahulu sudah menjalankan yang namanya pendidikan karakter dengan berbagai bentuknya. Program nawacita Pak Jokowi dalam poin karakter ini sudah ada pada UU Sisdiknas tersebut.

Bagaimana seharusnya kita menyikapi persoalan karakter ini. Sepeti yang disampaikan oleh Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh, bahwa manusia yang dicipta di dunia mempunyai peran ganda. Pertama peran sebagai hamba Tuhan. Peran manusia sebagai seorang hamba ini tercermin pada semua agama yang ada. Semua agama mengajarkan agar manusia mengenal Tuhan-nya dan kembali kepada-Nya. Sementara peran yang kedua adalah peran di muka bumi ini. Setiap manusia mempunyai peran merawat dan melestarikan dunia dengan sebaik-baiknya. Untuk itu manusia perlu tahu bagaimana caranya hidup dalam kehidupan di dunia ini. Karena adanya peran ganda tersebut, manusia membutuhkan pendidikan agar manusia dapat mengenal Tuhannya sekaligus tahu cara menjalankan kehidupan dalam konteks keduniaan.

Esensi Pendidikan Nasional

Muara pendidikan adalah pada bagaimana memanusiakan manusia dalam artian menjadikan manusia berketuhanan sekaligus menjadikan manusia dapat hidup layak di dunia. Dari sini sebenarnya ada dua hal yang harus digerakkan oleh pemerintah untuk membentuk manusia utuh ini, peran ketuhanan dan peran keduniaan. Peran ini menurut hemat penulis tidak harus diperankan langsung oleh pemerintah tetapi melalui regulasi, good example dari pemerintah harus dilakukan termasuk kesalahan-kesalahan praktik pemerintah dalam menjalankan pendidikan ini. Berikut penulis uraikan alternatif solusi persoalan pendidikan ini dengan mengacu pada esensi pendidikan tersebut dan dalam rangka  menjawab program nawacita Presiden Joko Widodo.

Pertama, jika memang pemerintah pusat serius menangani persoalan karakter bangsa ini maka sistem ujian nasional harus dihapus dan menguatkan peran pemerintah daerah dalam menjaga kualitas pendidikan Indonesia. Cukuplah pemerintah pusat memberikan regulasi yang jelas kepada sekolah agar standar pendidikan tetap terjaga. Dengan demikian maka kreativitas dan inovasi akan muncul dari pemerintah daerah dan sekolah.

Kedua, pemerintah perlu mendorong sekolah mengoptimalisasi jargon karakter di sekolahnya masing-masing. Jargon tersebut harus membumi, artinya seluruh warga sekolah secara sadar memahami dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun di luar sekolah. Sehingga jargon itu menjadi nuansa kehidupan sekolah. Sebenarnya hal jargon ini bukanlah sesuatu yang baru, sudah ada sekolah dan daerah yang menggunakan jargon. Semisal jargon sekolah BERIMAN (bersih, indah, mandiri), Otak Amerika Hati Serambi Mekkah, dari Sini untuk Indonesia dan Peradaban Dunia, Siapa yang Bersungguh-sungguh Akan Tercapai Usahanya, Senyum Salam Sapa, dan lain sebagainya. Hanya saja tidak banyak yang sudah menerapkan jargon itu dalam kehidupan sehari-hari dengan baik.

Ketiga, penguatan sosok tokoh panutan di setiap sekolah untuk memberikan contoh nyata kepada peserta didik. Tokoh panutan biasa menjadi ikon sebuah sekolah. Dulu pendidikan pesantren, misalnya, seorang kiyai bisa menjadi ikon karena kealimannya, ketokohanya. Tokoh sekolah ini harus mampu membawa ritme siswa sehingga terbentuk sebuah karakter yang diinginkan. Tokoh ini bisa jadi dari kepala sekolah atau dari guru senior yang mempunyai kredibilitas tinggi baik di sekolah maupun di masyarakat. Sehingga saat orang tua memilih sekolah untuk anaknya tidak berdasarkan gengsi, melainkan karena ada sosok guru yang dapat dipercaya untuk mendidik.

Keempat, dekatkan anak dengan tempat peribadatan. Hal ini harus disinergikan dengan pemerintah terkecil, RT/RW misalnya. Harus ada sebuah sistem yang holistik untuk mengarahkan anak-anak kita dekat dengan tempat peribadatan. Tempat ibadah adalah sarana pembentukan karakter yang luar biasa. Transformasi nilai dari para sesepuh atau tokoh masyarakat akan mudah ditularkan dari tempat ibadah. Jadi Pak Menteri tidak perlu repot-repot mengundang, misalnya, para ustdaz ke sekolah.

Kelima, pembiasaan makan bersama di keluarga. Mungkin ini hal sederhana tapi ada cinta yang besar jika ini bisa dilakukan. Anies Baswedan telah sukses menghimbau masyarakat untuk mengantar putra-putrinya di hari pertama sekolah. Menurut informasi tanggal 18 Juli 2016 kemarin ada sekitar 30 juta orang tua mengantar putra-putrinya ke sekolah. Nah, Menteri Muhadjir bisa melakukan hal yang sama positifnya dengan menghimbau para orang tua makan bersama anak-anak mereka untuk menciptakan hubungan harmonis dalam keluarga. Ini hal sederhana, namun mampu menghasilkan hal luar biasa.

Akhirnya, persoalan karakter adalah persoalan bersama bangsa. Baik buruknya masa depan bangsa ini ditentukan oleh baik buruknya generasi saat ini. Jika pemerintah dapat menciptakan regulasi bermutu dan masyarakat merespon serta menjalankan dengan baik, maka tidak mustahil Indonesia bakal lebih optimis menjawab tantangan masa depan.

Tentang penulis:

Muhammad Yunus
Muhammad Yunus

Muhammad Yunus. Dosen FKIP Unisma Malang, mantan aktivis Lembaga Pers Mahasiswa ‘Fenomena’ FKIP Unisma. Saat ini sedang menempuh S-3 di Universitas Negeri Malang

BERIKAN KOMENTAR