“Jika kau tak punya kenangan, meski di dalam hati pun kau takkan bersamanya. Tapi, walau jika yang kau miliki hanya kenangan, kau bisa bersama selamanya” – Anonim
Aku mungkin bukan sahabat baik bagimu mas, yang mampu menceritakan segala kehilangan dengan bahasa bersayap dan diksi memikat. Aku hanya sahabat biasa yang ini mencurahkan bulan demi bulan berganti tanpa kamu.
Iya, tak pernah lagi sama setelah kepergian-mu mas. Barangkali aku yang lemah dengan definisi kehilangan, hingga tak kuasa melepaskannya. Padahal kamu tidak kemana-mana kan, kamu tetap bisa melihat dari sana.
Tahukah mas, hal yang paling menyesakkan dari kehilangan ialah kenangan yang datangnya tiba-tiba. Laman Facebook dalam sekejap bisa mengobrak-abrik hati yang kehilangan.
Hampir setiap hari belakangan notifikasi Facebook memberitahu percakapan lewat beberapa status dari seorang kawan baik. Sekadar ajakan ngopi bersama kawan-kawan atau jokes yang bikin tertawa di saat itu. Belum lagi foto-foto saat kita kumpul, rapat, atau sekadar transit mampir ngopi.
Dan jika sudah begitu, dengan manik mata yang hampir mengabur biasanya aku langsung menyambar bukumu. Lembar demi lembar pemikiran dan memoar tentang betapa hangat dan tulusnya dirimu.
Rasanya masih melekat dalam ingatan, manakala kamu berkali-kali bilang ingin membukukan tulisan-tulisan kamu yang berserakan di media sosial.
Sungguh suatu kehormatan bisa menjadi bagian dari tim kilat buku ini. Tahukah kamu, tiap kali ingin mundur lagi-lagi ingatan tentangmu yang membuat kami makin semangat.
Dan lazimnya kehilangan, keinginanmu pun kini terwujud. Buku impian kamu sudah ada dalam genggaman kami, tanpa kamu pernah membacanya, tanpa kamu pernah melihat betapa terharunya kami dengan segala daya dan waktu yang sempit mempersembahkan buku ini untukmu.
Namun, walau buku-mu sudah kami genggam kini, tapi jujur masih ada perasaan menyesal saat tak bisa menemanimu kemping bareng teman-teman lainnya. Padahal kamu berkali-kali nawarin dan sudah menyiapkan semua peralatan kemping.
Andai mas andai aku tahu kalau itu permintaan kamu, tanpa tedeng aling-aling aku menyanggupinya. Andai aku tahu kalau rapat terakhir 2 hari sebelum kamu pergi -tidak biasanya kamu enggan difoto- pun tak biasanya kamu mengantar sampai bus yang aku tumpangi mau jalan.
Tapi begitulah kerja pertanda ia baru bisa dimaknai setelah kehilangan terjadi.
Setidaknya kalau ikut kemping bareng saat itu, aku dikasih kesempatan untuk melihat kamu untuk yang terakhir kali. Tapi kamu kan selalu begitu, tak ingin merepotkan siapa pun sampai akhir napasmu. Kamu pergi begitu singkat, tanpa sempat mengatakan apa-apa, Balasan chat terakhirku waktu kalian kemping hingga kini tak akan dibaca.
Seseorang hadir dalam hidup kita dengan satu alasan. Mungkin ia akan tinggal lebih lama dan memberikan arti yang begitu dalam atau ia ternyata pergi lebih dulu dan meninggalkan kenangan serta pelajaran berharga tentang kehidupan.
Jika berandai-andai, bilangan ialah sejuta triliun, semilyar triliyun, seberapa pun besarnya hanya jadi penanda.
Sebab yang sebenar benar-nya kenangan tak bertanda tak hingga seperti dalam teori matematika.
Mengenang satu tahun kepergian-mu,
aku masih belajar. Iya, belajar menerima keadaan yang tak pernah sama lagi, tak ada lagi canda dan kelakar-mu, chat yang lucu, nasihatmu, diskusi-mu soal negeri ini, ajakan ngopi darimu, dan support kekuatan yang tak ada habis-habisnya.
“Kamu kuat, Cka…kamu pasti kuat,” begitu katamu tiap diri ini ingin menyerah.
Aku jadi saksi bagaimana kamu berbagi pada banyak teman, padahal kamu juga sedang kesusahan. Aku yang selalu terkesan dengan kelegaan hatimu untuk selalu punya inisiatif membantu.
Terima kasih ya mas, telah menerimaku sebagai temanmu sebagaimana adanya diriku. Aku sungguh kehilangan teman yang tak pernah meminta syarat apa-apa.
Tangerang, 16 September 2020
Menulis seraya diiringi lagu Raisa, idolamu.