Pertanian sebaiknya jangan disempitkan artinya sebatas produksi pangan,
tapi merupakan kehidupan itu sendiri.
Meski setiap hari bersentuhan dengan pangan, namun tak banyak yang begitu peduli dengan persoalan pangan yang sedang dihadapi saat ini. Padahal ancaman kurangnya ketersediaan pangan terus membayangi kita di masa yang akan datang. Seperti dilansir Majalah National Geographic edisi April 2015 yang mengkhawatirkan ketersediaan pangan pada tahun 2050, di mana populasi manusia di dunia meningkat hingga 35% sehinga membutuhkan 100 milyar ton bahan pangan per tahun.
Sadarkah kita bahwa pangan yang kita konsumsi sehari-hari sebenarnya berasal dari petani yang hidup pas-pasan? Oleh karena itu, pada dasarnya sebegai konsumen, kita pun harus peduli terhadap permasalahan ketersediaan pangan yang sedang terjadi saat ini. Misalnya dengan mengonsumsi pangan lokal, seperti yang diungkap oleh Dea Ananda, public figure yang ternyata juga memiliki kepedulian terhadap masalah pangan. “Korea dan Jepang mampu menjadikan produk pangan lokal mereka sebagai konsumsi masyarakat di negara lain. Indonesia yang kaya akan keberagaman tanaman pangan seharusnya bisa lebih baik.” katanya. Pendapat ini disampaikan pada Media Talk yang diadakan Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) dan Oxfam Indonesia, 30 Oktober 2016 di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016 menyebutkan bahwa peranan komoditi pangan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibanding peran komoditi non pangan seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Di sisi lain, sektor pertanian yang semestinya menjadi tulang punggung mengatasi persoalan kemiskinan dan kelaparan justru menurun. BPS mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2013 mencapai 28.070.000 jiwa.
Berdasar jumlah tersebut, 17.740.000 diantaranya adalah penduduk desa yang mayoritas petani. Kontribusi sektor pertanian sendiri pada Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional di tahun 2005 mencapai 13%, namun pada tahun 2013 merosot menjadi 10%. Dalam sidang Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia FAO tahun 1991, ketahanan pangan diberikan pengertian sebagai suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap individu mempunyai akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun ekonomi.
Dalam pengertian ini, ketahanan pangan dikaitkan dengan tiga faktor utama, yaitu kecukupan (ketersediaan) pangan, stabilitas ekonomi pangan, dan akses fisik maupun ekonomi bagi individu untuk mendapatkan pangan. Dengan demikian ketahanan pangan bukan hanya mengenai masalah produksi, tetapi juga merupakan masalah keterjangkuan dan distribusi.
Selain Dea Ananda, Media Talk oleh FAA PPMI dan Oxfam Indonesia ini juga mengahdirkan empat pembicara lainnya. Salah satunya Tjuk Eko Eri Basuki dari Kementerian Pertanian yang membahas tentang konsep pertanian berkelanjutan dengan kearifan lokal. Sistem pertanian Indonesia menurut Tjuk sebenarnya sarat dengan kearifan lokal sesuai nilai-nilai yang dianut dan dipraktikkan masyarakat di setiap daerah. Misalnya pertanian di Jawa mengenal istilah pranoto mongso sebagai metode pertanian berkelanjutan dengan tetap menjaga keseimbangan jejaring pangan. Menurutnya, melalui pranoto mongso petani bisa mengetahui dan memprediksikan pola bercocok tanam yang tepat di masa-masa krisis.
Pendapat Tjuk ini sedikit menjawab persoalan kataersediaan pangan di Indonesia yang sebenarnya bukan soal jarak geografis antara produsen dan konsumen, melainkan soal jarak antara petani dengan alat produksinya yang sebagian besar diatur oleh negara. Akibat Revolusi Hijau pada masa Orde Baru, petani tidak memiliki kuasa atas tanah mereka sendiri. Apa yang harus mereka tanam, sampai pupuk dan pestisida jenis apa yang harus digunakan semua telah ditentukan oleh pemerintah. Akibatnya terciptalah ketergantungan akut pada bahan-bahan kimia tersebut yang berujung pada rusaknya unsur hara dalam tanah.
Laporan mingguan majalah Geotimes pada 25 Agustus 2014 yang mengacu pada data Badan Pusat Statistik, ada 26,14 juta petani kecil yang kepemilikan lahannya tidak mencapai 1 hektar. Rata-rata tiap rumah tangga petani menggarap 0,89 hektar. Persoalan keterbatasan lahan ini bisa diakibatkan oleh rusaknya lahan yang disebabkan karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan sehingga merusak unsur hara tanah. Selain itu, alih fungsi lahan untuk pembangunan infrastruktur, perumahan dan pabrik-pabrik. Termasuk pabrik-pabrik agroindustri yang terus melindas tanah-tanah pertanian di pinggiran kota.
Selain persoalan tanah atau lahan, pembicara lain yaitu Khudori sebagai pengamat pangan dan pertanian yang juga merupakan anggota FAA PPMI menyebutkan sejumlah kecenderungan yang menurut beliau bersifat negatif. Misalnya telah terjadi reduksi keanekaragaman hayati, saat ini petani kian tergantung pada paket teknologi, benih, pupuk, pestisida, dari luar negeri. Selain itu, terdapat kerentanan sistem pertanian negara berkembang.
Lebih lanjut lagi menurut Khudori, faktor yang memengaruhi kecenderungan tersebut misalnya Dari 3.000 spesies tumbuhan yang dibudidayakan untuk pangan, hanya berfokus pada 16 tanaman pangan utama, terutama biji-bijian beras, jagung dan gandum. Begitu pula pada komoditas aneka kacang, hanya fokus pada kedelai dan kacang tanah.
Dengan presentasi tentang pertanian berbasis ekoregion, Khudori memberikan alternatif pertanian berkelanjutan yang sistemnya mirip seperti otonomi daerah. Sistem ini menggunakan pendekatan sesuai kondisi dan kebutuhan region, bukan pendekatan komoditas. Karena memenuhi aspirasi lokal, partisipasi dan kreativitas mudah tumbuh dan berkembang, dan secara bertahap bakal terjadi spesialisasi.
Pendapat menarik juga datang dari Direktur Keadilan Ekonomi Oxfam Indonesia, Dini Widiastuti, yang melihat bahwa posisi perempuan juga memainkan peran penting dalam praktik pertanian berkelanjutan. “Perempuan mesti terus dilibatkan dalam mekanisme produksi pangan, berperan aktif melaksanakan pertanian bekelanjutan,” tuturnya. Memang kerapkali kita selalu mengaitkan petani dengan laki-laki saja, padahal siapa saja memiliki potensi untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pertanian baik laki-laki maupun perempuan. Seperti yang dicontohkan oleh Dini, di beberapa daerah banyak perempuan yang ikut terlibat langsung dalam pengelolaan pertanian. Mulai dari penanaman, perawatan, sampai pengelolaan pasca panen seperti menjemur atau memilah hasil panen yang berkualitas tinggi sampai rendah. Oleh karena itu, dalam pelatihan-pelatihan masalah pertanian, seharusnya perempuan pun diikutsertakan untuk mengembangkan potensi mereka.
Dari perspektif pemerintah sendiri diwakili oleh Perencana Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian PPN (Bappenas), Noor Avianto mengaminkan bahwa terdapat permasalahan serius terkait produktivitas pangan, lahan, dan perubahan iklim. Selain itu, pola pertumbuhan penduduk yang didominasi oleh kelas menengah ke atas akan mempengaruhi pola permintaan pangan ke depan. Pada kesempatan tersebut, Noor Avianto menyampaikan arah Pembangunan Pangan 2005-2025 (UU 17/2007: RPJPN 2005-2025) memfokuskan kepada:
1. Peningkatan ketahanan pangan melalui perluasan pemenuhan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga: cukup jumlah, bermutu, aman, merata, terjangkau.
2. Penguatan ketahanan pangan dengan meningkatkan ketersediaan pangan, menjaga stabilitas penyediaan bahan pangan, meningkatkan akses rumah tangga untuk memperoleh pangan.
Terkait pangan dan pertanian berkelanjutan, pemerintah akan meningkatkan tanaman pangan padi mencapai surplus beras. Memfokuskan jagung untuk memenuhi keragaman pangan lokal, mengamankan kecukupan kebutuhan kedelai untuk konsumsi produsen tahu dan tempe. Selain itu pemerintah akan memfokuskan pemenuhan konsumsi rumah tangga terkait gula, daging sapi dan garam.
Menanggapi pembahasan terkait hak atas pangan dan pertanian berkelanjutan, Koordinator Presidium FAA PPMI, Agung Sedayu, menerangkan bahwa pertanian dan petani di masa kemerdekaan merupakan soko guru revolusi Indonesia. Kini, petani terpinggirkan jauh dari ladang dan tanah garapnya. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan tentunya menginginkan kemandirian pangan sehingga mampu menciptakan ketahanan pangan. “Program pertanian berkelanjutan sudah semestinya menjadi tujuan jangka panjang dan menengah nasional, penting untuk terus mensinergikan program dan kegiatan yang mendorong kemandirian petani,” pungkasnya.
Jika potensi akan pertanian semakin besar dan mampu mensejahterakan petani, secara otomatis generasi muda akan tertarik untuk bertani. Masa depan pertanian yang sangat berkaitan erat dengan ketersediaan pangan tentu saja bergantung dari generasi muda. Jika tidak segera disikapi, maka gempuran impor pangan akan semakin besar dan menyebabkan ketergantungan pada pangan dari luar. Padahal negara kita adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar nomor dua setalah Brazil.
Masalah pertanian pada dasarnya bukan hanya masalah petani saja melainkan masalah seluruh masyarakat. Pertanian pada dasarnya menghidupi dan memberi pekerjaan banyak orang. Mulai dari produsen, distributor, produsen tahap kedua yang mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi, sampai ke konsumen. Maka dari itu, kebijakan menjawab persoalan pangan yang tertuang dalam pertanian berkelanjutan mestilah memperhatikan banyak perspektif pihak yang terlibat di dalamnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tjuk Eko Eri Basuki, “Pertanian sebaiknya jangan disempitkan artinya sebatas produksi pangan, tapi merupakan kehidupan itu sendiri.”

Halia Asriyani
Pemenang Lomba Blogger Media Talk FAA PPMI