Tanah Ibu Kami: Perempuan dan Perjuangan Melawan Perusakan Lingkungan

2845
Film Our Mother's Land (Instagram/Febriana Firdaus)

Perempuan selalu punya cara untuk melawan dan memperjuangkan haknya. Begitulah kira-kira kata yang ada di kepala saya saat menonton film dokumenter “Tanah Ibu Kami” karya kolaborasi Febriana Firdaus bersama Mongabay dan The Gecko Project. Film berdurasi 55.44 menit ini menggambarkan bagaimana getir sekaligus semangat para perempuan dari berbagai daerah di Indonesia yang melakukan perlawanan atas pendudukan tanah mereka oleh perusahaan tambang dan sawit.

Tanah Ibu Kami dimulai dengan layar hitam bertuliskan bahwa Indonesia merupakan pengekspor kelapa sawit, batubara dan nikel terbesar di dunia. Saya yakin, kenyataan ini nampaknya kerap luput dari ingatan kita sehari-hari. Padahal konsekuensi yang harus diterima karena hal tersebut tidaklah kecil. Ada banyak kelompok masyarakat termasuk masyarakat adat yang harus terpinggirkan, misalnya. Bahkan tak jarang nyawa menjadi bayarannya.

Sejak awal pemutaran film, penonton akan diajak melihat berbagai perlawanan yang pernah terjadi karena upaya-upaya pencaplokan tanah masyarakat oleh korporasi. Kita akan disuguhkan pemandangan dimana negara justru memfasilitasi hasrat korporasi. Demi memenuhi hasrat tersebut, langkah represif selalu menjadi jawaban atas banyak perlawanan yang terjadi, bahkan ketika perlawanan dilakukan oleh kelompok perempuan.

Tapi, apakah para perempuan yang punya semangat melawan mundur karena tindakan represif? Jawabannya tidak. Harus diakui memang tak mudah melakukan perlawanan dan mengorganisir sebuah gerakan bila dilakukan oleh perempuan. Bukan tanpa alasan saya bicara begini, kultur masyarakat kita yang terlanjur begitu patriarki kerap membatasi ruang gerak perempuan. Sudah berhadapan dengan tindakan represif, perempuan pun harus menghadapi stigma.

Tembok bernama patriarki memang tak mudah diruntuhkan, tapi bukan berarti tak bisa. Film Tanah Ibu Kami menjawab hal tersebut. Sembilan Kartini Kendeng, Mama Aleta Baun, Mama Lodia Oematan, Eva Bande dan Farwiza Farhan adalah beberapa perempuan yang mampu merobohkan tembok patriarki dan membangun gerakannya sendiri di akar rumput untuk melawan praktik penghancuran lingkungan hidup.

Sembilan Kartini Kendeng misalnya, pada tahun 2016 melakukan aksi semen kaki di depan istana negara. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap pembangunan semen di wilayah pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Saat itu, saya menyaksikan sendiri bagaimana semangat berlawan yang dilakukan para Kartini Kendeng.

Pertengahan tahun 2017, saya berkesempatan menyambangi wilayah Kendeng dan bercengkrama lebih dekat dengan Yu Sukinah dan para kartini kendeng lainnya. Dari mereka saya belajar bahwa perempuan dimanapun berada dengan jalan apapun yang dipilihnya tetap berdaya dan harus berani memperjuangkan nilai-nilai kebenaran.

Saat film memasuki bagian Kartini Kendeng, scene dibuka dengan nyanyian yang tak asing di telinga saya: Ibu bumi wis maringi (Ibu bumi telah memberi) Ibu bumi dilarani (Ibu bumi disakiti) Ibu bumi kang ngadili (Ibu bumi yang akan mengadili). Alunan nyanyian ini masih terdengar lirih dan sendu bagi saya, terbayang wajah salah satu Kartini Kendeng, Yu Patmi yang sudah berpulang tak lama pasca aksi semen kaki di depan istana negara. Perjuangan tak selalu menemui jalan mulus, tapi tidak berarti mereka menjadi terhenti.

Film Our Mother’s Land (Instagram/Febriana Firdaus)

Setelah membahas sembilan Kartini Kendeng, kita akan diajak Febriana menyebrangi Pulau Jawa, menuju ke kawasan pegunungan Mollo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sana, sekelompok perempuan seperti Mama Lodia Oematan yang dipimpin oleh Mama Aleta Baun melakukan perlawanan menolak tambang dengan cara menenun di atas batu.

Perjuangan mama-mama pada dekade 1990-2000an ini pun kerap menemui jalan terjal. Tindakan represif tak jarang dialamatkan pada mama-mama ini. Tapi, sama seperti Kartini Kendeng, mama-mama ini tak berhenti. Bahkan, Mama Aleta Baun mengakui bahwa ia harus menghadapi stigma karena ia anak kepala suku tapi tidak bisa mendapatkan mandat hanya karena ia seorang perempuan. Namun, Mama Aleta Baun tak pernah menyerah.

Dari NTT, penonton akan diajak terbang ke Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah. Di sana kita akan bertemu dengan Eva Bande, sosok perempuan tangguh yang melakukan pengorganisiran petani agar menolak pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. Layaknya para Kartini Kendeng, jalan Eva Bande pun tak mudah, Ia difitnah dan membuatnya terpaksa harus berada di balik jeruji besi. Meski begitu, tak sedikitpun menyurutkan semangat dan langkah Eva untuk melindungi tanah kelahirannya dari kepentingan para pebisnis kotor.

Terakhir, Febriana akan mengajak penonton menuju ke barat Indonesia, Aceh. Di sana penonton akan bertemu dengan Farwiza Farhan. Farwiza merupakan perempuan yang aktif melakukan advokasi perusakan lingkungan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

Setelah melihat perjuangan para perempuan di film ini, saya semakin yakin bahwa perempuan memang selalu punya cara untuk melawan ketidakadilan. Bahkan perempuan mampu menjadi garda terdepan dalam sebuah gerakan.

Dalam salah satu cuplikan film ini, Yu Sukinah mengatakan bahwa kita harus terus saling menginngatkan. Bagi saya, kalimat ini bukan sekadar mengingatkan pentingnya menjaga lingkungan, tapi mengingatkan kepada siapa saja untuk tidak meremehkan gerakan yang dipimpin oleh perempuan.

Menurut saya, film Tanah Ibu Kami sukses menggambarkan bagaimana perlawanan untuk melindungi lingkungan yang biasanya terlihat sangat maskulin, justru bisa dilakukan oleh para perempuan. Saya melihat film ini ingin menyampaikan pesan bahwa hari ini sudah seharusnya kita berhenti meragukan perempuan yang melakukan perlawanan atas ketidakadilan. Tanah Ibu Kami berhasil memotret dengan sangat apik bagaimana gerakan feminisme bisa bersinergi dengan isu lingkungan.

Pada akhirnya, saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Farwiza di akhir film. Ia mengatakan bahwa perjuangan melindungi lingkungan tidak pernah selesai dan kita harus mengamplifikasi suara-suara perempuan lainnya yang saat ini sedang melakukan perlawanan terhadap perisakan lingkungan di Indonesia.

Saya pun yakin, di luar sana ada banyak perempuan yang sedang berusaha menembus batas-batas patriarki dan merobek stigma untuk menyelamatkan lingkungan dari cengkraman oligarki.

Panjang umur perempuan yang melawan! Panjang umur perjuangan!

Oleh: Nisa Zonzoa

Alumni Lembaga Pers Mahasiswa Isola Pos, UPI-Bandung. Aktif bekerja di isu antikorupsi. Tertarik dengan isu perempuan dan lingkungan.

BERIKAN KOMENTAR

POPULER SEPEKAN

Ada anekdot yang pernah penulis baca, tersebutlah seorang remaja di beri tantangan untuk menghasilkan uang dari sebuah lahan sawah, dengan...

Tahun lalu 2015 adalah tahun pertama saya mulai rutin olah raga berlari. Sebeneranya memilih olah raga lari ini bukan keinginan sendiri,...

Herodotus berusaha memahami apa yang telah terjadi, mengapa hal itu terjadi dan secara eksplisit dia mengenali bahwa untuk memafhumi peristiwa, orang tak perlu melihat kepada mitos-mitos Yunani atau karya-karya Homer.

Bagi orang yang pernah berkecimpung di dunia gerakan, maka kondisi hari ini patut menjadi refleksi bersama, terlebih statement salah satu...

Sebuah bidal menyebutkan, siapa tersentuh cinta maka mendadak ia bisa menjadi penyair. Tak menutup kemunginan juga menjadi seorang fotografer. Lantas apa jadinya jika sajak dan foto dikawinkan? Lukisan Cina kuno membuka jalan penafsiran puisifoto itu.