Sonya adalah telaga yang memantulkan wajah birokrasi kita yang penuh jelaga. Remaja korban kejahatan koorporasi media yang menjejali publik dengan sampah informasi dan hedonitas. Remaja yang tumbuh bersama sinetron kita.
Gadis berambut panjang itu bernama Sonya, seorang siswi sekolah menengah atas di Medan. Namanya mendadak tenar setelah video yang menampilka ia membentak polwan viral di berbagai media sosial.
Rabu sore lalu, polisi lalu lintas memberhentikan mobil Honda Brio yang di kendarai Sonya saat melintas dengan pintu belakang terbuka di Jalan Sudirman, Medan. Merasa keberatan, Sonya menghardik. “Oke Bu, aku enggak main-main ya, kalau sampai fotoku masuk koran, aku tandai Ibu. Aku anak Arman Depari,” katanya sambil menunjuk-nunjuk si polwan. Belakangan diketahui bahwa Sonya adalah keponakan dari Inspektur Jenderal Arman Depari adalah perwira tinggi polisi yang kini menjabat sebagai Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional.
Tak perlu menunggu lama, video Sonya tersebar luas. Media berpesta mengunyahnya menjadi berita. Laksana orkestra, serentak media online, cetak, dan televisi membuat ulasan berita si gadis belia. Netizen, tak ketinggalan, berlomba menghujat Sonya yang menurut mereka arogan.
Malu, sedih, menyesal tentu itu yang di alami Sonya. Ia mengurung diri di kamar. Keluarga Sonya ikut kalut. Arman Depari, sang paman meminta maaf secara terbuka di hadapan pers atas perbuatan keponakan yang kerap memanggilnya Pa uda ini. Sikap Arman yang meminta maaf secara terbuka pada publik itu patut dipuji.
Derita tidak cukup sampai di situ. Saat orang-orang asik menghujat, ayah Sonya, Makmur Sembiring Depari, jatuh sakit. Tidak lama, kakak Arman Depari itu meninggal di Rumah Sakit Mitra Sejati Medan.
Siapa yang salah dalam peristiwa ini? Sonya, polisi yang memberhentikan konvoi mobil Sonya, atau media? Tak ada yang salah dari mereka, tetapi kita. Iya kita, sosok terhormat yang mungkin juga ikut merisak Sonya. Kenapa kita? Apa yang salah?
Sonya hanya refleksi dari para remaja produk modernitas yang di besarkan oleh gadget dan gempita panggung hiburan televisi. Remaja hasil mutasi genetik yang ditularkan sinetron kita. Gaya hidup, cara berbicara, pola hubungan sosial yang dipertontonkan dalam sinetron tersebut bermutasi dalam selaput otak menjadi karakter pribadi. Meledak dalam ritme persis dalam karakter sinetron anak jalanan.
Ini remaja modern kita. Dan kita yang telah membumikan budaya hedonis, angkuh, arogan, dan pamer itu. Jiwa mereka adalah jiwa yang hampa, kita yang mengisinya dengan gemerlap ilusi lewat sinetron. Ini adalah wajah dari perbuatan dosa kita.
Sonya adalah korban dari kejahatan koorporasi media yang mendominasi ruang informasi dengan sampah hedonitas. Ia adalah korban dari kelemahan negara yang tunduk pada pemilik modal. Hedonitas sinetron mengibiri habis keluhuran budi masa lalu kita.
Lihat acara-acara televisi kita, begitu menyedihkan. Mereka menyebar virus perusak yang memangsa pikiran sehat kita. Sesungguhnya, dari sana Sonya dan para remaja kita belajar. Mencontohnya dan menjadikannya sebagai sesuatu yang tidak salah.
Sonya hanya telaga yang memantulkan wajah birokrasi kita yang penuh jelaga. Sebuah birokrasi yang penuh oligopoli dan hierarkis. Birokrasi yang melupakan semangat pelayanan dan menganggap jabatan, posisi, kedudukan, dan beking sebagai sesuatu yang dibangakan dan diagungkan. Wajah Demokrasi yang rabun hingga menjadikan uang dan ‘beking’ sebagai alat ampuh untuk selamat dari masalah. Ketika Sonya berteriak sambil menunjuk-nunjuk bahwa ia punya ‘beking’ pada sang polwan, kita yang semestinya malu.
Dan untukmu dek Sonya, tak perlu aku berkhutbah tentang moral dan agama. Tunjuklah mukaku, tandai aku dek, aku yang berdosa telah ikut gagal mendidikmu. Akulah pendosa itu yang membiarkanmu dibesarkan oleh sinetron.