Seorang kawan yang bekerja sebagai salah satu staf DPR RI mengirimkan swafoto saat Raja Salman usai berpidato di Gedung DPR RI pada Kamis (2/3/2017), beberapa anggota DPR yang wajahnya saya kenal ikut terekam dalam foto tersebut, mereka berebut swafoto.
Publik kita memang mudah tergagap pada sesuatu yang bersifat euforia, bahkan tanpa memandang usia dan kasta ‘eksis dan narsis’ menjadi kata sakti bagi kita, termasuk saya. Sepekan belakangan ini publik kita memang heboh dengan kehadiran sang Khadimul Haramain ini. Kelompok pemuja dan ‘Nyinyirin’ berdebat sengit di media sosial.
Tapi apapun itu Salman menjadi bintang panggung jagat sosial kita sepekan belakangan. Semua berebut ingin berada dalam lingkaran dekat dalam kunjungan pria gaek itu. Politisi memanfaatkannya sebagai panggung kampanye dengan bersalaman, ada tokoh yang begitu berharap ingin bertemu namun malah menelan pil pahit diacuhkan dan meme olok-olok dirinya pun beredar. Belum lagi barisan pengamat adu analisa tampil di televisi.
Foto: Liputan 6
Bagi saya sendiri, kunjungan ini murni urusan bisnis, urusan ekonomi negaranya yang sedang sedikit kolaps karena fluktuasi harga minyak dunia. Bahkan mungkin bukan buat negaranya, tapi untuk kroni keluarga besar Saudi. Bagi saya adalah omong kosong, jika kedatangan Raja Salman dikaitkan dengan solidaritas umat Islam. Anda tahu, uang kematian korban robohnya crane di Masjidil Haram yang di janjikan belum dibayarkan. Bahkan banyak keluarga korban selamat yang harus menanggung sendiri biaya berobat. Anda tahu, Saudi sang Khadimul Haramain ini saat ini sedang “memeras” umat Islam dunia dengan menaikkan harga visa Haji dan Umrah.
Bicara solidaritas negara Islam, kita lihat bagaimana Saudi menutup rapat negaranya dengan kawat berduri untuk pengungsi Suriah, kita lihat bagaimana dengan pongahnya Saudi membiarkan si kecil tampan Aylan Kurdi mati terdampar. Bicara Solidaritas Negara Islam, kita lihat bagaimana bom-bom Saudi di jatuhkan di jantung kota Yaman. Bicara solidaritas kita lihat kemesraan Saudi dengan Israel musuh besar Islam dan kemanusiaan. Tak ada konflik Syiah dan Sunni di Timur tengah, hanya perang kepentingan dan Arab Saudi pintar memainkan kepentingan itu.
Di tengah kunjungan itu, Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi menandatangani 10 kesepakatan (MoU). Tercatat sebanyak 93 Triliun investasi sang raja dan kroninya dalam MOU tersebut, nilainya jauh dari mimpi dan sorak pemuja sang raja yang menyebut nilainya akan mencapai 300 triliun lebih. Kedatangan raja Arab Saudi ke Indonesia memunculkan sambutan yang berlebih dibandingkan dengan kunjungan kepala-kepala negara lain. Dari kesepuluh nota kesepakatan yang akan ditandatangani oleh Raja Salman dalam lawatan kerja dan liburannya ke Indonesia, lebih menekankan pada kerjasama ekonomi, perdagangan, kesehatan, kebudayaan, dan tak satupun menyinggung soal pemajuan demokrasi di dalam konteks Islam dan HAM, khususnya untuk perlindungan hak-hak buruh migran.
Foto: ANTARA
TKI yang Terlupakan dan Terancam Hukum Gantung
Di tengah ingar bingar kehebohan di gedung DPR, parade pamer kemewahan sang raja, gerak alay para publik figur kita. Di sudut kecil, pada tepi jalan di depan Kedutaan Saudi ketika sang Raja Salman mengunjungi DPR. Sekelompok orang melakukan protes kecil mempersoalkan perlakuan Saudi terhadap TKI. Baru beberapa menit berlangsung, protes ini dibubarkan oleh polisi. Administrasi pemerintahan ini taat dengan koreografinya untuk membuat kunjungan Raja Salman sebagai sesuatu yang ‘berkesan dan mewah’. Beberapa orang ditangkap.
Kita tahu Arab Saudi pernah menjadi negara tujuan utama para buruh migran Indonesia atau TKI. Pada 2011, sebelum dimoratorium, jumlahnya sekitar 1,5 juta. Moratorium atau penghentian sementara pengiriman pekerja ke Arab Saudi, rupanya tak membuat calon buruh migran mengurungkan niat ke sana. Ada saja yang nekat bekerja lewat jalur ilegal, misalnya dengan memakai visa umroh. Penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi sepanjang 2016 hanya berjumlah 13.538 pekerja turun 41 persen dari tahun sebelumnya mayoritas bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Arab Saudi hanya berada di urutan ke lima dari 10 daftar negara terbesar penempatan TKI pada 2016. Penempatan TKI ke Arab Saudi di bawah Malaysia, Taiwan, Singapura, maupun Hong Kong.
Kondisi sebanding lurus dengan remitansi tenaga kerja Indonesia (TKI) pada 2016 terbesar berasal dari Arab Saudi. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat bahwa kiriman uang dari para pekerja di Arab Saudi pada 2016 mencapai US$ 2,78 miliar atau sekitar Rp 36,9 triliun atau sekitar 31 persen dari total remitansi TKI yang rata-rata 144 triliun pertahunnya. Jumlah ini mengalahkan remitansi TKI di Malaysia, Taiwan maupun Hong Kong. Sebagai perbandingan, pajak Freeport selama 25 tahun hanya 214 trilliun rupiah atau dirata-ratakan sekitar 8 trilliun rupiah per tahun saja ramai diperjuangkan. Ini yang jelas-jelas besaran pemasukan devisa negara dari TKI sebesar 144 trilliun rupiah per tahun seolah tidak menjadi prioritas pembahasan dalam lawatan.
Sumbangan besar ini apakah sebanding dengan perlindungan bagi pahlawan devisa ini? Coba kita lihat, BNP2TKI mencatat data jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang meninggal di luar negeri pada 2016 mencapai 291 jiwa. Turun dari data tahun 2015 yang mencatat sebanyak 680 orang meninggal dunia. Pekerja Indonesia yang meninggal di luar negeri meningkat mulai 2014, terutama dari penempatan di kawasan Asia Pasifik. Kebanyakan selain sakit, mereka yang meninggal adalah korban kejahatan, Penganiayaan, pemerkosaan hingga pembunuhan. Data Kementerian Luar Negeri menyebutkan sebanyak 548 kasus menimpa TKI pada tahun 2015, meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 326 kasus.Salah satu kasus terbaru adalah perdagangan manusia di Kota Qatif, Provinsi Timur Saudi, dengan korban sebanyak 39 WNI
Tak hanya itu, hingga saat ini, setidaknya masih ada puluhan buruh migran Indonesia yang hidupnya berada di ujung tanduk terancam eksekusi mati. Saat ini dalam catatan LSM Migrant Care, ada puluhan TKI yang masuk daftar eksekusi mati.Tiap kali mereka berhadapan dengan hukum, pemerintah kerap terlambat mendampingi. Saat ini, di Saudi ada 25 WNI yang bermasalah hukum dengan ancaman hukuman mati. Sebanyak 12 orang di antaranya didakwa karena pembunuhan, 5 orang karena dituduh memakai sihir, dan 8 lainnya karena zina. Di luar itu, masih banyak masalah hukum lain yang dihadapi oleh WNI, walaupun tidak sampai didakwa hukuman mati.
Permasalahan buruh migran Indonesia di Arab Saudi menjadi aspek diplomatik yang belum pernah selesai hingga sekarang. Ragam perundingan bilateral dan upaya penguatan perjanjian dilakukan, namun tetap saja buruh migran Indonesia, terutama yang bekerja di sektor domestik, berada dalam situasi yang sangat rentan terhadap pelanggaran.
Pemerintah dituntut untuk bersungguh-sungguh dalam melindungi WNI yang saat ini sedang menghadapi masalah. Adalah kewajiban konstitusional negara untuk melakukan berbagai macam upaya dalam membantu warga negaranya. Termasuk tentunya melalui jalur diplomasi dengan pihak kerajaan Saudi yang menemukan momentumnya saat ini.
Foto: Liputan 6
Saudi sedang dilanda krisis, baru baru ini mereka juga jadi penghutang IMF. Sekali lagi kunjungan ini adalah soal bisnis dan pamer kemewahan. Selebihnya adalah tamasya. Walau kita bersyukur mereka mau berlibur ke Bali ikut mempromosikan wisata kita. Bagi saya, Kapitalis Arab, Kapitalis China, Kapitalis Amerika semuanya sama saja, tetap cari untung yang banyak. Pada poin ini saatnya kita bernegoisasi dengan mereka untuk melindungi TKI kita. Jangan sampai kita jadi bangsa yang tidak tahu malu, mencecap manisnya devisa remittance tapi abai melindungi warganya.
Sedikit melegakan saya adalah sikap PBNU yang nampaknya tidak lupa dan larut dalam ingar bingar lebay ini, lewat Sekjennya, Helmi Faisal Zaini, PBNU menyoroti MoU antara Arab Saudi dan Indonesia yang tidak membahas sedikitpun tentang perlindungan terhadap TKI. Ini adalah poin yang diabaikan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Sikap PBNU ini menjadi sedikit pelepas dahaga harapan dibalik gemerlap kunjungan megah yang sarat berbagai kepentingan ini. Nahdlatul Ulama tetap menunjukan kulitasnya, ruh untuk membela yang benar-benar lemah tetap terjaga.
Negara tidak bisa menghalangi warganya untuk bekerja, yang bisa dilakukan adalah menjamin perlindungan mereka. Melindungi kaum mustadafin adalah bagian dari syariah agama kita dan mereka adalah para TKI kita. (Foto Utama: Suara Pembaruan)