Kesadaran seperti apa yang kita harapkan dari ruang-ruang penjara kumuh penuh sesak, dari para sipir yang semena-mena menyiksa namun sekaligus mudah disuap?

Mestinya Sabtu pekan lalu Undang Kosim sedang tersenyum bahagia, dua bulan lagi dia akan kembali menikmati udara kebebasan setelah tiga tahun mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Banceuy, Bandung . Mestinya keluarga dia juga bergembira, mempersiapkan sambutan kepulangan Undang yang telah usai menebus dosa. Tapi, hari itu semua sirna, Undang mati di ruang isolasi penjara yang dingin, ia tergantung dengan jerat tali di lehernya. Pihak penjara mengatakan Undang mati bunuh diri.

Kematian Undang yang janggal itu membuat para tahanan di Lapas Banceuy geger. Apalagi sebelum ditemukan mati, pria 54 tahun itu digiring sipir penjara karena dituding mengkonsumsi narkoba, hal yang hingga kini belum ada buktinya. Mereka menuding petugas penjara sengaja membunuh dan menggantung Undang. Dan entah siapa yang memulai, yang pasti ratusan nara pidana (napi) murka. Mereka menyerang petugas penjara dengan batu dan balok, menjebol pintu, membakar gedung, kantor, dan mobil. Banceuy terbakar.

Kematian Undang memang janggal. Di tubuhnya ditemukan sejumlah luka lebam bekas pukulan. Lebih lagi, sudah jadi pengetahuan lumrah para tahanan bahwa ketika seorang tawanan dimasukkan ke sel pengasingan ia tidak diperbolehkan membawa apa-apa. Bisa dibilang hanya boleh pakai kolor dan kaus. Lantas dari mana tali yang digunakan untuk menggantung diri?

Hasil visum polisi juga menemukan adanya sejumlah luka lebam dan lecet di tubuh korban. Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian Daerah Jawa Barat Komisaris Besar Polisi Priok Kuncoro di sejumlah media mengatakan bahwa kematian Undang diakibatkan trauma benda tumpul dan tersumbatnya jalan pernafasannya. Namun hingga kini polisi masih enggan memastikan apakah Undang mati bunuh diri atau dibunuh.

Tapi yang pasti Polrestabes Bandung telah menetapkan empat petugas penjara sebagai tersangka, salah satunya adalah Kepala Pengamanan LP Banceuy. Mereka diduga telah melakukan penganiayaan terhadap Undang.

Penjara, lokasi terpopuler di dunia bagi si terpidana, diharapkan menjadi tempat perenungan atas dosa-dosanya. Hukum kurungan itu diberlakukan agar orang-orang tidak berani dan jera melakukan kejahatan. Sebuah penjeraan, tetirah lagi kedalam diri akan khilaf. Ruang sunyi tempat mengaku dosa. Namun sering kali yang terjadi lebih dari itu, sudah menjadi rahasia umum para napi, terutama napi miskin, diperlakukan semena-mena. Toh saat mereka digebuki atau dibuat seolah bunuh diri juga tidak ada yang tahu. Publik juga seolah tidak peduli. Lantas kesadaran seperti apa yang kita harapkan muncul pada para terpidana dari penjara-penjara kita?

***

Apa yang terjadi di penjara hanya mereka yang ada di penjara, para sipir  dan penghuni penjara yang tahu. Semua senyap, gelap kita hanya bisa merayap mendengar sayup-sayup apa yang sebenarnya terjadi di sana. Penghuni penjara memang  berisi beragam manusia dengan berbagai tingkat kompleksitasnya.

Saya teringat seorang kawan, ia seorang yatim sejak umur 8 tahun. Ayahnya meninggal kecelakaan, dan Ibunya menjadi gila karena di tinggal mati suami. Sejak kecil ia di urus bibinya, tinggal bersama dalam satu rumah dengan sepupunya yang banyak.

Ia satu bangku dengan saya waktu kelas 5 sekolah dasar. Kemiskinan menyebabkan dia tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMP, bibinya terlalu miskin untuk menanggung sekolah keponakannya. Kawan saya lantas jadi kuli bangunan, kadang ngamen di terminal Rajabasa, Lampung. Ia besar di jalanan sambil mencari uang untuk ngurus ibunya yang tidak kunjung sembuh dari sakit jiwa. Sebuah rumah petak kontrakan kecil di belakang terminal ia gunakan untuk merawat ibunya. Di terminal itu pula ia mulai kenal narkoba, belajar dari kawan seniornya. Bermula dari seorang pemakai, ia terjerumus menjadi kurir narkoba kelas teri.

Suatu ketika ketika saya kelas dua SMA ia tertangkap dengan sebuah timah panas bersarang kakinya. Dalam kondisi luka belum sembuh, pasca vonis ia dijebloskan ke Lapas Rajabasa. Di sana, di usia yang masih kategori anak, ia ditempatkan di penjara dewasa. Karena tidak punya uang “beli kamar” ia terpaksa tinggal berdesakan di sel sempit bersama 30 orang terpidana lain. Ia harus tidur dengan posisi duduk menekuk kaki di dalam sel. Bahkan karena terbatasnya air minum dan tidak punya uang untuk beli, untuk sekedar mendapat segelas air ia mesti memijat kepala kamar.

Kepada saya ia berkisah kehidupan di penjara begitu menyakitkan, banyak terpidana yang menjadi gembel dan budak, makan dengan nasi cadong yang menjijikan, mandi di MCK yang kotor dan jorok di tempat terbuka (tanpa kamar, pintu dan atap) sehingga kalian bisa saling melihat aurat kalian satu sama lainnya. Selain itu tubuh kalian akan dipenuhi dengan penyakit kulit, baik itu panu, kurap, bisul, dan yang paling menderita adalah kutu kupret.

“Aku berani bertaruh, sebulan kamu tinggal di Lapas, kamu akan terkena penyakit kulit, tidak bisa tidak! pasti akan kamu alami” kata kawanku setelah ia bebas, usai lebih 4 tahun ia menghuni penjara.

***

Permasalahan di penjara tidak lepas dari fakta bahwa penjara di Indonesia kelebihan kapasitas dan kurang dana. Data Direktorat Pemasyarakatan, kelebihan penghuni dari total  477 lapas dan Rutan seluruh Indonesia, mencapai 153 persen. Dengan kapasitas 119.706 orang, saat ini lapas dan rutan dihuni 183.635 orang. Dari jumlah tersebut 50.764 orang terpidana narkoba.

Kondisi semakin parah ketika para petugas penjara seolah diperbolehkan berbuat semena-mena, kejam pada terpidana miskin dan menghamba pada terpidana kaya yang punya uang untuk menyuap. Penjara bisa menjadi neraka sesungguhnya bagi para terpidana miskin, sebaliknya bisa menjadi hotel “prodeo” dalam arti hotel sesungguhnya bila Anda punya uang untuk menyuapnya.

Kondisi mengenaskan, ketimpangan perlakuan terhadap terpidana, ditambah maraknya kekerasan oleh para sipir dalam penjara menjadi salah satu pemicu kericuhan di penjara. Dalam setahun terakhir cukup banyak kerusuhan terjadi di sejumlah lapas di penjuru Indonesia, kerusuhan di Lapas Banceuy adalah kerusuhan kedelapan.

Tidak lama sebelum kerusuhan meledak di Lapas Banceuy, kerusuhan juga terjadi di Lapas Kerobokan, Bali (22 April 2016). Kerusuhan dipicu napi yang menuntut agar kepala lapas diganti dan menolak 11 tahanan ormas dititipkan di lapas tersebut. Insiden itu mengakibatkan kerusakan pada bangunan penjara, seperti pintu blok, pintu teralis pembatas areal tahanan, dan kantor sipir. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam kerusuhan itu.

Beberapa hari sebelumnya, pada 6 April 2016 juga pecah rusuh di Lapas Tewaan Bitung, Sulawesi Utara. Kerusuhan dipicu perkelahian napi menggunakan senjata tajam, yang kemudian mencederai seorang napi oleh yang terluka dengan 10 tusukan. Pada 25 Maret 2016, rusuh di Lapas Malabero, Bengkulu. Kerusuhan dipicu amarah napi yang tak terima satu dari rekan mereka digeledah kamar tahanannya oleh Badan Narkotika Provinsi Bengkulu. Insiden itu mengakibatkan kebakaran pada tiga blok hunian rutan dan menewaskan lima orang napi.

Di Lapas Rajabasa, Lampung pada tanggal 18 Maret 2016, pecah kerusuhan yang dipicu masalah gadai ponsel antara napi yang kemudian mengakibatkan perselisihan antarnapi dan berujung pengeroyokan. Sehari sebelumnya juga terjadi kerusuhan di Lapas Muara Bulian, Jambi (17 Maret 2016) yang dipicu lamanya giliran penempatan kamar di lapas yang sebenarnya sudah terlalu penuh itu.

Kemudian pada 6 November 2015 mungkin kita masih ingat kerusuhan yang dramatis di Lapas Lambaro, Aceh. Kerusuhan dipicu amarah napi lantaran tak mendapat pasokan air untuk mandi dan kebutuhan lainnya selama tiga hari. Miris.

Di sistem yang karut marut di mana kenyamanan sangat minim itu uang pun bicara, suap menguar di sana, yang kaya bakal jadi raja. Yang terjadilah kemudian hanyalah pemindahan tempat dan modus baru kejahatan, dan terkadang sipir dan pimpinan Lapas adalah bagian dari kejahatan tersebut. Dengan kondisi LP yang penuh sesak, juga sangat memungkinkan terjadi berbagai transaksi. Antar napi, antar napi dengan penjaga, dan bahkan antar napi dengan masyarakat di luar penjara. Kasak- kusuk maraknya aksi pungli, penyiksaan terhadap penghuni LP, hingga jual-beli remisi seakan sudah menjadi buah bibir yang didongengkan dan dibicarakan berulang kali. Tapi tidak kunjung bisa diatasi.

Hukuman bukan alat untuk membuat orang takut semata. Hukuman seharusnya dipandang sebagai alat untuk mendidik manusia. Hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Semestinya terpidana dididik dengan baik, melalui berbagai perlakuan, agar menyadari bahwa mereka manusia yang harus berlaku layaknya manusia, bukan “serigala” bagi manusia.

Melihat penjara sebagai kawah penderitaan memberi citra buruk bagi rasa kemanusiaan, seolah kehidupan ini gelap semata. Hukuman bukanlah penderitaan dan akhir dari kehidupan, melainkan bagian dari proses memanusiakan manusia, bagian pembersihan dari noda dan dosa, bagian pengurangan siksa dari penderitaan di akhirat.

Sabtu lalu tangis pecah di rumah Undang Kosim. Undang pulang dua bulan lebih awal, tapi dengan kondisi lebam dan tidak bernyawa. Dibunuh atau bunuh diri masih jadi tanda tanya, tapi yang pasti ia telah teraniaya.

 

BERIKAN KOMENTAR