Orang sekarang ini makan dengan pikiran mereka, tidak dengan tubuh mereka.” (Masanobu Fukuoka).

Beberapa waktu lalu, saat sedang scroll smartphone –pertanda galau- tatapan mata saya tetumbuk di grup Whatsapp wartawan, ada gambar yang otomats masuk dalam file manager. Sebuah gambar cover majalah kenamaan, yeah tahulah Anda, itu salah satu majalah yang saya idolakan sejak kecil.

Di halaman depan ada gambar seperti keluarga Khong Guan makan pizza karena tema mereka pekan ini adalah bahan makanan kedaluwarsa yang dipakai dalam pembuatan pizza oleh salah waralaba terbesar restoran pizza di Indonesia. Dan bukan hanya pizza, Udon salah satu masakan Jepang yang saat ini sedang digemari di Indonesia disinyalir juga diracik menggunakan bahan kedaluasa, terduga pelaku juga perusahaan yang satu induk dengan waralaba pizza tadi.

Spontan saya memekik, apah pizza? Itukan salah satu favorit western food dan entah sudah ke sekian kali gak bisa dihitung saya nikmati. Duh, gimana ini, pikiran pun langsung ke mana-mana. Sampai muncul beragam pikiran konyol: jangan-jangan yang bikin nagih dan enak karena pakai bahan kedaluwarsa ya.

Akhirnya setelah cari-cari informasi dan membaca dengan lebih teliti dan gak pakai emosi, berita yang penuh kontroversi itu berawal dari sebuah pesan seorang petinggi jaringan internasional yang sudah resign dan menceritakan ke media lantaran sudah tidak tahu lagi bagaimana menghentikan praktik penggunaan bahan kedaluarsa itu. Ya, ada dugaan praktik penggunaan bahan yang sudah lewat masa pakainya, bahkan dari pihak purchasing yang menempel sendiri label dalam kemasan bahan kalau  masa pakainya diperpanjang.

Lalu, bagaimana tanggapan konsumen? Saya termasuk. Saya dulu suka makan menu di resto pizza yang ramai itu. Salah satu kawan saya yang freak udon awalnya tidak percaya tapi begitu membaca ulang hingga berkali-kali tak bisa menghentikan kekagetannya. “Duh gimana ya udon kan mahal, gue bisa sebulan 2-4 kali makan, kalau ternyata pakai bahan kedaluwarsa gak worth it banget, gue merasa dibohongi” katanya masih sambil marah-marah.

Eits.. jangan salah meski begitu banyak komentar netizen yang tidak percaya. Mereka lantas dengan gigih menyatakan tetap loyal pada kedua produk tersebut. Begitulah, loyalitas kadang menegasikan keadaan, tak peduli mau pakai bahan apa yang penting sudah terlanjur suka, mau apa? “Tokh saya merasa sehat. Saya tidak sakit,” begitu kata sebuah akun yang saya baca di jejaring sosial.

Tapi apa sesederhana itu teman? Ini kita sebagai konsumen yang punya hak dong ya mendapatkan yang terbaik dari apa yang kita beli, kita makan. Kita gak cuma bayar makanan tapi juga bayar pajak setiap makan di dua resto itu. Mau apapun motifnya makan di di resto siap saji, its personal choice! Tapi hak untuk mendapat makanan yang terjamin baik dari kemanan, rasa, dan variasinya juga mesti diperhatikan.

Kasus tentang dugaan perbuatan memperpanjang masa kedaluwarsa atau memperpanjang batas layak untuk dikonsumsi pun membuat gerah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut YLKI jika dugaan praktik itu benar maka konsumen mendapatkan layanan produk yang tidak memenuhi standar pangan. Bila benar ada perbuatan memperpanjang masa kadaluwarsa maka perbuatan itu harus dipertanggungjawab karena melanggar undang-undang.

Teman-teman, bahan dasar makanan perishable merupakan bahan dasar makanan yang sifatnya segar yang tidak memiliki jangka waktu tahan lama. Bahan dasar makanan perishable ini merupakan tipe bahan makanan yang mudah rusak dan mengalami kontaminasi sehingga dapat mengakibatkan menurunnya kualitas bahan pangan hingga mengalami pembusukan. Maka sebab itu, mengikuti prosedur penyimpanan bahan dasar makanan perishable harus diterapkan dengan serius demi menjaga kualitas makanan yang akan dihasilkan.

Sementara itu ada pula bahan makanan yang masa kadaluwarsanya lebih lama dibanding bahan makanan perishable. Antara lain tepung dan bumbu bubuk yang lebih tahan lama masa penyimpanannya. Masuk di bagian ini bisa sangat tricky.

Setelah geger perihal vaksin palsu hingga membuat resah banyak orang tua, membuat pihak pembuat vaksin bekerja keras memastikan bahwa vaksin yang mereka buat adalah asli. Para wartawan juga diundang meninjau lokasi pembuatannya. Hal itu juga dilakukan pihak perusahaan pembuat pizza dan udon itu, mereka mengundang media untuk ikut dalam proses produksi pembuatan pizza mulai dari pemilahan bahan sampai tersaji dengan baik.

Tapi apa cukup itu solusinya? Sebenarnya siapa yang tugas mengawasi hal itu? Bagaimana dengan Balai Pengobatan Obat dan Makanan (BPOM), apakah selama ini sudah concern dalam pegawasan bahan makanan yang tersedia di resto-resto, so takes time. Menyerahkan sepenuhnya pada pengawasan badan berwenang –yang seringnya telat – baru bergerak jika sudah ada kasus, ujungnya merugikan konsumen sendiri.

Mau tidak mau, suka tidak suka kita dituntut menjadi smart buyer, konsumen yang pintar memilih mana makanan yang layak dan sehat untuk kita konsumsi. Paham betul bahan dasar makanan dan minuman yang hendak kita konsumsi, memilih resto atau warung yang bisa kita percaya.

Di mana kita meletakkan social careness untuk mendapatkan hak kita sebagai konsumen yang tidak merugikan kesehatan kita kelak di masa datang? Banyak konsumen yang memilih makan di luar karena tak sempat masak atau sekadar cheating, apapun motifnya, apapun jenis makanan dan restonya, tetap saja konsumen merasa nyaman dalam menikmatinya.

BERIKAN KOMENTAR