Wajib ‘Kifayah’ Jurnalisme Warga

529

Verba volant, scripta manent – Pepatah Latin

Pekan kemarin saya diundang berbicara tentang “jurnalisme warga” oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU (Lakpesdam NU) Kota Cirebon. Sebuah lembaga yang pendiriannya pada era NU kepemimpinan Gus Dur tahun 80-an, dimaksudkan untuk mengakselerasi tumbuhnya gagasan  dan pemikiran di kalangan Nahdliyin. Semacam lembaga think tank yang membantu NU dalam kerja riset, kajian, juga pengembangan.

Terus terang, saya agak ragu pada awalnya menanggapi undangan berbicara ini. Bukan lantaran saya warga yang awam sama sekali perihal ini, namun lebih dikarenakan hambatan mental untuk mengusung kembali wacana ini. Membicarakan jurnalisme warga, seolah kita dihadapkan pada tembok tebal berlapis-lapis.

Tantangan yang harus dihadapi jelas di depan mata, yakni masyarakat yang belum bisa membedakan informasi yang benar dan yang salah. Belum mau peduli apakah sumber informasi tersebut datang dari media yang terpercaya atau media abal-abal. Saya sengaja menggunakan kata “belum”, karena dilandasi harapan suatu saat, masyarakat Indonesia akan lebih melek media. Dan kata “peduli”, karena hanya dengan kepedulian hal tersebut bisa diciptakan.

Jurnalisme warga bukanlah barang baru. Konsep ini pada awal kemunculannya hendak memantik partisipasi warga dalam aktivitas jurnalisme, yakni mencari, mengumpulkan, dan mengolah informasi, kemudian menyuguhkannya menjadi berita untuk publik. Mengapa dibutuhkan keterlibatan publik? Karena hanya dengan mengandalkan media dan wartawannya saja, media tidak mampu menjangkau semua peristiwa dan permasalahan masyarakat. Dibutuhkan tangan warga yang berperan selayaknya jurnalis, dengan senjata profesionalismenya, untuk mengolahnya menjadi berita yang bisa disebarkan, sehingga khalayak menjadi well informed.

jurnalisme warga

Masalah yang diberitakan jurnalisme warga jelas menyangkut persoalan publik. Prinsipnya, warga aktif memberitakannya sendiri tanpa menunggu masalah tersebut menjadi pemberitaan media mainstream. Dalam jurnalisme ini, setiap warga akan berpegang pada nilai dasar kebenaran, bahwa setiap informasi harus berdasarkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Media yang digunakan bisa beragam, mulai dari cetak, elektronik, atau internet. Itu semua adalah konsep dasar jurnalisme warga. Indah sekali, bukan?

Bagi saya secara pribadi, jurnalisme warga ini mau tidak mau harus dilakukan. Bahkan dalam era demokrasi sekarang ini, hukumnya bisa dianalogikan seperti menyembahyangi jenazah bagi umat Islam, yakni wajib kifayah. Sebagai gambaran, kalau di sebuah kampung terdapat orang meninggal dunia, dan tidak ada satu pun orang menyembahyangi jenazahnya, maka orang di seluruh kampung tersebut akan mendapatkan dosa.

Demikian juga junalisme warga, idealnya setiap desa memiliki sebuah media yang dikelola secara mandiri oleh warganya. Isinya bisa mengangkat persoalan di lingkungan sekitarnya, mulai dari persoalan jalan rusak yang perlu dibenahi, got mampet, bagaimana memberdayakan pertanian, masalah kesehatan ibu dan anak, penggunaan dana desa, dan sebagainya. Jadi sebaiknya kita perlakukan hukumnya seperti menyembahyangi jenazah, wajib kifayah.Saya teringat, jurnalisme warga ini pula yang pernah saya usulkan, sewaktu Kementerian Desa menyelenggarakan simposium untuk menyusun peraturan pelaksana program pemberdayaan pada akhir tahun 2015. Hasilnya, program ini ditetapkan sebagai salah satu program yang bisa dilakukan oleh desa. Sayangnya, belum ada yang memantau apakah program ini terlaksana di lapangan, atau tidak.

Sebagai sebuah gerakan literasi media, jurnalisme ini sudah berlangsung lebih satu dekade,  mulai awal tahun 2000-an. Saat itu masyarakat mulai berinisiatif memberitakan sendiri peristiwa yang dialami, seperti bencana Tsunami di Aceh dan bencana di daerah-daerah lain. Warga kala itu juga mulai bergairah membuat radio komunitas, bahkan membuat jejaring radio komunitas antar daerah, yaitu Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI). Semangatnya adalah menyediakan sarana bagi warga untuk bersuara, setelah sekian puluh tahun suaranya diabaikan. Muncul beberapa pendekar media komunitas, sebut salah satunya adalah Budi Hermanto dari Combine Resource Institute (CRI) Yogyakarta yang gigih mendampingi pengembangan media komunitas dan pedesaan.

Hingga tahun 2010, ketika pengguna internet di Indonesia mulai menanjak, banyak komunitas blogger bertumbuhan dengan memanfaatkan peluang yang diberikan kemajuan tehnologi informasi. Bahkan di Wonosobo Jawa Tengah, setiap kecamatan ditekankan untuk membuat blog sendiri guna mempublikasikan berbagai inisiatif lokal yang telah dikerjakan. Sampai di sini, jurnalisme warga masih menjanjikan untuk bisa berkembang pada tahun-tahun sesudahnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, musim tehnologi melahirkan media sosial sebagai sarana komunikasi dan berbagi informasi. Setiap orang dapat mengkases medsos melalui smart phone yang digenggam. Media sosial semacam Twitter dan Facebook yang awal mulanya diciptakan untuk membuat update status atau menemukan kembali teman-teman lama yang lama berpisah berubah menjadi sarana seseorang menyampaikan pendapat politik, mengomentari pendirian orang lain.

Pada saat informasi media mainstream tak bisa dipercaya, masyarakat mencari alternatif dari media sosial. Celakanya, mayoritas wartawan saat ini ternyata memilih jalan paling mudah untuk menulis, menemukan ide berita, sekaligus menverifikasi sebuah fakta hanya dengan mengandalkan sumber media sosial. Sementara medsos memproduksi informasi yang dilakukan oleh siapa saja, bisa individual, bebas dengan memanfaatkan kemudahan teknologi, tanpa pertanggungjawaban. Sumber yang digunakan bisa resmi, bisa tidak jelas sumbernya, bisa hasil rekayasa.

Titik tanjaknya pada Pemilu 2014. Menurut ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, banyak berita “gorengan” jelang Pileg dan Pilpres 2014. Sejumlah pemilik media membuat partai, atau masuk partai, lalu menggunakan medianya untuk berkampanye. Sejumlah partai membuat media baru, dan banyak wartawan ikut jadi caleg atau jadi joki politik. Sejumlah wartawan merangkap jadi tim sukses, politisi menarik-narik wartawan, mengunjungi media atau organisasi wartawan.

Pubik kehilangan kepercayaan terhadap netralitas pers dan kebenaran isi media. Inilah derita yang kita tanggung sekarang. Sehingga menurut hemat saya, gerakan jurnalisme warga menemukan titik urgensinya sekarang. Saatnya mengusung kembali kebenaran informasi sebagai basis masyarakat demokrasi. Bahkan jurnalisme warga ini bisa dikatakan sebagai wujud jihad konstitusi, karena dalam UUD 1945 pasal 28F disebutkan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan infomasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

jurnalisme warga 2Akhirnya, dengan mendorong kembali jurnalisme warga, kita berharap masyarakat mampu memproduksi informasi yang benar, kritis terhadap pemberitaan media, sehingga akan tercipta demokrasi yang sehat di masa depan. Semoga!

BERIKAN KOMENTAR

POPULER SEPEKAN

Setiap tanggal 1 Juni, ingatan kita terlintas visual seekor burung garuda bernama Garuda Pancasila, mengenakan perisai di dada yang berisi...

Peserta Media Talk dapat mengikuti Lomba Blogger pada 30 - 4 Novermber 2016.

Tahun lalu 2015 adalah tahun pertama saya mulai rutin olah raga berlari. Sebeneranya memilih olah raga lari ini bukan keinginan sendiri,...

Dengan otonomi khusus yang dimiliki, Aceh menerapkan hukuman cambuk bagi yang melanggar aturan. Mak Ucok menjadi warga non-muslim pertama yang...

Kasus Pelaporan ke Kepolisian Terhadap Wayan Gendo Suardana (Aktivis Walhi, Penolak Reklamasi Teluk Benoa, Bali) dan Haris Azhar (Aktivis KontraS) Merebaknya...