No wonder if woman can be heroes….
Ulasan tentang Wonder Woman sudah bertebaran di mana-mana. Amat banyak yang memuji tapi tidak sedikit pula yang mencela. Faktanya,harus diakui Wonder Woman dikemas dengan cukup serius. Dialog-dialog lebih kaya, pendalaman karakter yang baik, serta detail adegan laga yang mengagumkan. Gal Gadot yang selalu dipuja karena parasnya yang rupawan pun tampil maksimal dengan tidak sama sekali menekankan wajah cantik atau tubuh moleknya. Gal sungguh-sungguh menjelma menjadi Diana of Themyscira yang pandai bertarung sekaligus amat impulsif.
Berbekal keyakinan yang ditanamkan sedari kecil bahwa Ares sang dewa perang adalah penyebab segala kebatilan dunia, Diana berangkat ke belahan bumi lainnya untuk menumpas kejahatan. Berangkat bersamanya, Kapten Steve Trevor, seorang Amerika yang menjadi mata-mata Inggris. Beberapa hari sebelumnya Steve terdampar di Themyscira karena pesawat yang dikendarainya jatuh setelah berusaha kabur dari kejaran tentara Jerman. Steve diburu karena membawa kabur sesuatu yang dapat menjadi kunci kemenangan kekuatan Jerman di Perang Dunia I.
Cerita lalu berjalan mengalir dan natural. Diana mendatangi Inggris bersama Steve, tempat di mana Steve harus menyerahkan barang yang ia curi untuk pihak yang mempekerjakan ia. Dari sinilah Diana secara perlahan-lahan menyadari bahwa idealismenya menyelamatkan dunia tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi ia harus direpotkan dengan culture shock yang dia alami saat bersentuhan dengan kehidupan manusia secara umum di Inggris.
Diana yang perkasa itu jadi nampak lugu. Apapun ia tanyakan kepada Steve dengan amat polos, seperti kenapa perempuan tidak bertarung atau kenapa hanya ada lelaki dalam rapat dewan militer, dan kenapa ada pekerjaan seperti sekretaris yang mirip perbudakan di tempat asalnya. Hal ini amat lumrah terjadi di kehidupan nyata ketika seseorang mendatangi sebuah tempat baru. Dengan begitu, dapat menunjukkan sisi manusiawi seorang Wonder Woman.
Setidaknya ada beberapa hal yang menurut saya membuat film ini menjadi terkesan lebih segar dan seru. Pertama, Jenkins mungkin hendak membuat karakter Wonder Woman lebih universal, tidak terlalu keamerika-amerikaan. Menghilangkan motif bintang-bintang putih dari rok wonder woman membuat suasana universal itu terasa. Apalagi warna biru dan merah yang memang jadi warna khas kostum wonder woman (yang juga warna bendera AS), ditampilkan lebih gelap dan jauh dari taste feminine.
Kostum ini sangat tidak girly jika dibandingkan dengan kostum yang Lynda Carter kenakan pada 1970-an. Kedua, porsi yang sangat minim untuk adegan mesra, membuat Jenkins lebih bisa berkonsentrasi pada hal-hal yang penting seperti alur cerita dan adegan laga yang mendetail. Dalam banyak film superhero dengan tokoh utama pria, kita dengan mudah menemukan adegan mesra yang ditampilkan dalam porsi banyak untuk menonjolkan sisi dramanya. Di Wonder Woman, Jenkins hanya meyelipkan sebuah adegan mesra yang lebih terkesan manis ketimbang menggairahkan. Hal ini nampak masuk masuk akal karena karakter Diana diceritakan amat naif menghadapi kehidupan dunia yang rumit.
I Save Today, You Can Save the World
Sang sutradara, Patty Jenkins mengakui betapa sulit memosisikan karakter Steve Trevor sebagai pendamping Wonder Woman. Jenkins tidak ingin memosisikan Steve hanya sebagai kekasih yang lemah dan selalu menunggu untuk ditolong. Sudut pandang yang seperti ini amat sering kita temukan dalam film-film superhero yang tokoh utamanya lelaki.
Perempuan yang menjadi kekasih para superhero selalu diposisikan sebagai makluk lemah yang diperalat musuh agar sang superhero kalah. Jenkins hendak membangun kesetaraan lewat kerja sama karakter Diana dan Steve. Awalnya saya pikir Jenkins berujar demikian karena ia masih memandang laki-laki sebagai makluk kelas satu. Laki-laki hebat, laki-laki kuat, jadi tidak bisa serta merta hanya jadi pendamping superhero. Ia harus terlibat lebih banyak.
Namun dugaan itu salah besar kita melihat detail film ini, khususnya bagian-bagian yang menunjukkan keterlibatan Steve Trevor dalam agenda Diana menyelamatkan dunia. Karakter Steve amat realistis karena ia tidak dibesarkan dengan mitos bahwa dirinya dibentuk dari tanah liat dan dihidupkan oleh Zeus. Ia hidup di belahan bumi yang selalu terjadi perang dan menyaksikan betapa besar kerugian yang manusia dapatkan karena perang. Jenkins memosisikan Steve sebagai rekan yang selalu berada di samping Diana. Awalnya mengarahkan-ketika Diana masih berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru- tapi lalu lebih memosisikan diri sebagai teman yang setara dan menghormati setiap keputusan yang Diana ambil.
Dalam kehidupan nyata kita bisa melihat betapa kesetaraan gender amat sulit diraih karena lelaki selalu menganggap gerakan tersebut sebagai usaha kaum perempuan mendominasi kehidupan. Saya rasa kita bisa belajar menentang pandangan yang demikian dari karakter Steve yang memang cukup baik dimainkan Chris Pine ini. Bahwa agenda menyelesaikan masalah-masalah di dunia harus dikerjakan secara bersama-sama antara laki-laki dan perempuan, dari ras manapun, dari golongan apapun.
Jenkins tidak hanya menceritakan karakter Diana yang berproses-dari puteri petarung yang lugu menjadi pahlawan yang bijak-tapi juga karakter Steve. Steve juga berproses dari yang terlalu mengatur Diana awalnya, akhirnya belajar untuk lebih memberi ruang pada rekannya itu, dan malah membuat sebuah pengorbanan besar. “I can save today, you can save the world”, kata Steve menjelang detik-detik terakhir pertarungan Diana melawan musuh utamanya.
Namun Wonder Woman bukan tanpa cela. Ada beberapa dialog yang sangat potensial, justru sekadar jadi tempelan. Salah satunya adalah saat Diana, Steve dan teman-temannya sedang berkemah di Belgia sebelum berperang keesokan harinya. Chief, lelaki Indian yang juga seorang penyelundup pandai, mengatakan pada Diana bahwa kebebasan kaumnya direnggut oleh orang-orang Amerika sebangsanya Steve. Atau ketika Diana bertanya pada Etta Candy, sekretaris Steve, bagaimana perempuan bisa bertarung dengan gaun yang ia coba di salah satu butik di London, Etta menjawab bahwa mereka tidak bertarung, tetapi menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Seharusnya, Diana yang kala itu masih naif, bisa menanyakan lebih lanjut maksud dari perkataan Chief dan Etta sehingga percakapan akan lebih panjang dan esensial.
Secara keseluruhan, film ini memang lebih menekankan pada proses tumbuh kembang Diana sebagai Wonder Woman, baik secara skill maupun pemahamannya tentang menyelamatkan dunia. Petualangan Diana di kehidupan manusia pastinya akan terus berlanjut dan berdinamika. Dari sana kita bisa lihat apakah perspektif yang dipakai Jenkins kalin ini akan diteruskan secara konsisten atau tidak. (Foto: Pyschology Today&Rogerebert)
Penulis:
Ratih Fernanndez. Alumni LPM EKSPRESI Universitas Negeri Yogyakarta. Seorang periset dan penulis lepas, berdomisili di Yogyakarta.